Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kamis (26/9) pekan silam, mengungkapkan bahwa para kepala daerah memiliki modus tersendiri untuk mengakali angka inflasi agar tetap rendah di wilayah yang dipimpinnya. Jika pernyataan itu benar, maka ini adalah masalah serius. Data yang menjadi basis pembuatan kebijakan di negeri ini ternyata jauh dari akurat.
Manipulasi data ini juga menambah masalah seputar informasi di negeri ini. Selain dugaan adanya rekayasa data, keterbukaan informasi pemerintah juga semakin memudar. Keterbukaan yang seharusnya menjadi rujukan utama dalam pengambilan kebijakan ekonomi justru dipermainkan demi kepentingan jangka pendek.
Berbagai data penting yang dulu bisa diakses dengan mudah kini tak lagi tersedia. Pemerintah tampak memilih untuk menutup diri, menyisakan banyak pertanyaan di benak masyarakat.
Salah satu contoh nyata adalah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hingga 2020, ikhtisar laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terpampang dengan jelas. Paling tidak, di dalamnya mencakup neraca, laporan laba rugi, dan penjelasan mutasi lain-lain yang memberikan gambaran tentang kondisi keuangan perusahaan negara. Namun, sejak 2021, data ini menghilang dari LKPP, meninggalkan kesenjangan informasi yang besar bagi publik yang ingin memahami kinerja BUMN.
Kasus ini semakin mencolok ketika kita melihat laporan tahunan PT ASABRI, salah satu BUMN yang bergerak di bidang asuransi. Dalam laporan tahunan 2023 yang diunggah di portal perusahaan, laporan angka-angka keuangan tiba-tiba menghilang. Mereka yang ingin mengetahui kondisi keuangan perusahaan tersebut hanya disuguhi laporan naratif tanpa angka konkret. Ini jelas tidak beres. Apalagi, mengingat ASABRI sempat mengalami krisis keuangan, absennya data ini semakin menambah kecurigaan.
Contoh lainnya terjadi di Kementerian Perdagangan. Biasanya, Kementerian Perdagangan, melalui Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), selalu mencantumkan kondisi harga kebutuhan pokok yang dapat dilihat harian, mingguan, dan bahkan bulanan. Contohnya produk Minyakita. Produk ini sudah ada sejak Juli 2022 dan kondisi harganya selalu diperbarui oleh Kemendag melalui portal SP2KP secara harian. Akan tetapi, saat ini tidak lagi demikian. Data yang ditampilkan hanya dari Februari 2024 hingga saat ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Masalah transparansi ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena publik tidak lagi memiliki akses yang cukup untuk memantau dan menilai kinerja pemerintah. Informasi yang seharusnya tersedia untuk umum kini disembunyikan, menimbulkan pertanyaan besar tentang akuntabilitas pemerintahan. Padahal, keterbukaan adalah salah satu indikator utama dari tata kelola pemerintahan yang baik. Tanpanya, potensi terjadinya penyimpangan akan semakin besar.
Seolah-olah ada upaya sistematis untuk mengurangi akses masyarakat terhadap informasi penting. Ini tidak hanya merusak kredibilitas pemerintah di mata rakyatnya, tetapi juga menghambat proses pengambilan keputusan yang berbasis data. Ketika masyarakat tidak mendapatkan informasi yang lengkap, mereka tidak dapat menilai kebijakan secara objektif.
Selain itu, pembatasan akses informasi ini menimbulkan risiko besar bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tanpa transparansi, masyarakat akan semakin sulit mempercayai data dan laporan yang disampaikan oleh pihak berwenang. Dalam situasi seperti ini, munculnya spekulasi dan kabar bohong menjadi tidak terelakkan. Keterbukaan informasi adalah benteng yang melindungi pemerintah dari tuduhan yang tidak berdasar, tetapi ketika transparansi itu hilang, tuduhan tersebut justru mudah berkembang.
Merosotnya keterbukaan informasi juga berdampak langsung pada perekonomian negara. Tanpa informasi yang jelas, investor, baik dalam maupun luar negeri, akan ragu untuk menanamkan modalnya. Mereka tidak dapat menilai risiko dan peluang dengan baik karena data yang mereka butuhkan tidak tersedia. Dalam jangka panjang, ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi daya saing Indonesia di mata internasional.
Transparansi bukanlah sekadar formalitas, tetapi merupakan instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial. Ketika informasi terbuka, masyarakat bisa lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Mereka bisa ikut memberikan masukan yang konstruktif, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran. Namun, ketika data disembunyikan, proses ini tidak bisa berjalan dengan baik. Atau, apakah pemerintah memang sengaja ingin menyembunyikan beberapa informasi? Tampaknya pemerintah perlu menjelaskan hal ini.
Salah satu solusi yang perlu segera diambil oleh pemerintah adalah mengembalikan keterbukaan dalam ikhtisar laporan keuangan BUMN yang sebelum tahun 2021 tercantum di dalam LKPP. Mengembalikan data-data yang hilang dalam LKPP adalah langkah awal yang penting. Publik harus bisa mengakses laporan keuangan ini agar bisa menilai sejauh mana pengelolaan perusahaan milik negara berjalan dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh Veda Bawo (2021), bahwa kita bisa memiliki semua alat yang canggih, namun jika kualitas data tidak baik maka tidak akan berhasil. Betapa pentingnya data yang berkualitas sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menutupi data ini, kecuali memang ada hal-hal yang ingin disembunyikan.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mewajibkan keterbukaan informasi di semua level pemerintahan. Keterbukaan informasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah dan BUMN. Ada mekanisme yang bisa diterapkan untuk memastikan bahwa data yang penting bagi publik disampaikan secara jujur dan terbuka. Regulasi ini perlu ditegakkan dengan tegas, tanpa pengecualian.
Transparansi juga harus menjadi bagian integral dari budaya birokrasi di Indonesia. Pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada aturan tertulis, tetapi juga perlu mendorong perubahan budaya kerja di dalam birokrasi. Setiap pihak yang membantu pemerintahan harus memahami pentingnya keterbukaan informasi dan menjalankan tugasnya dengan prinsip-prinsip akuntabilitas. Tanpa perubahan budaya ini, regulasi yang ada tidak akan efektif.
Kebijakan pemerintah juga harus fokus pada peningkatan akses publik terhadap informasi. Di era teknologi seperti sekarang, publik seharusnya bisa dengan mudah mengakses data melalui portal-portal resmi pemerintah. Sebanyak mungkin informasi harus bisa diakses secara cepat dan mudah oleh semua orang. Sebagaimana dikemukakan Nobelis Joseph Stiglitz (2001), bahwa ketidaksempurnaan informasi dapat merugikan pihak dan hanya menguntungkan segelintir spekulan.
Selain itu, pemerintah perlu melibatkan masyarakat sipil dan media dalam pengawasan keterbukaan informasi. Keterlibatan publik dalam proses pengawasan akan memastikan bahwa pemerintah tidak bisa lagi menyembunyikan data yang seharusnya dibuka. Media, sebagai pilar keempat demokrasi, harus diberikan ruang yang cukup untuk mengkritisi kebijakan dan menginvestigasi data yang tidak transparan.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu menyusun strategi nasional untuk memperbaiki transparansi informasi. Strategi ini harus mencakup reformasi di berbagai sektor, mulai dari pengelolaan keuangan negara, pengelolaan BUMN, hingga laporan keuangan pemerintah daerah dan desa. Semua sektor ini harus diarahkan untuk lebih terbuka, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi dengan lebih baik.
Jika tidak segera diatasi, krisis keterbukaan ini akan berdampak buruk pada stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus menurun, dan ini akan memicu ketidakstabilan politik. Selain itu, investasi asing juga akan terhambat karena investor tidak mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
Keterbukaan informasi harus menjadi prioritas utama bagi pemerintahan yang baru. Pemerintah harus belajar dari negara-negara maju yang berhasil membangun ekonomi yang kuat berkat transparansi yang tinggi. Pentingnya birokrasi pemerintahan memiliki kemampuan profesional yang kuat melalui transparansi dan akurasi data juga dikemukakan Dani Rodrik (1995), yang menyebutkan bahwa birokrasi yang baik juga merupakan variabel intervening yang mampu menghantarkan perekonomian menuju kinerja terbaiknya atau lebih berdaya saing.
Jika pemerintah Indonesia gagal berkinerja seperti itu, dan terus-menerus hobi merekayasa data, bukan hanya kepercayaan publik yang akan terkikis, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan pun hanya akan jadi angan-angan.