Rekomendasi Sesat BMAD Keramik Impor, Siap-Siap Harga Ubin Makin Mahal


Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terkait bea masuk anti dumping (BMAD) keramik porselen.

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, menerangkan, rekomendasi ini didasarkan pada anggapan bahwa kebutuhan dalam negeri untuk produk tersebut belum mampu dipenuhi produsen domestic. Atas rekomendasi tersebut, berdampak kepada naiknya harga jual yang ditanggung konsumen.

“Kami melihat ada ketidakseimbangan antara tujuan melindungi produsen dalam negeri dan kepentingan konsumen. Dengan pemberian BMAD, harga produk porselen di pasar domestik dapat meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan memberatkan konsumen,” kata Andy, Jakarta, Sabtu (13/7/2024).

Selain itu, lanjut Andry, INDEF menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas dan kualitas produksi domestik sebagai solusi jangka panjang.

“Daripada menerapkan BMAD, sebaiknya pemerintah fokus pada upaya peningkatan daya saing produsen dalam negeri melalui berbagai program dan insentif,” tambah Andry.

Di sisi lain, dia mengingatkan, potensi impor ilegal sebagai akibat dari kebijakan BMAD ini, semakin terbuka.

“Dengan meningkatnya harga produk porselen di dalam negeri, ada kemungkinan besar akan terjadi peningkatan impor ilegal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini justru dapat merugikan industri domestik dan menyebabkan kerugian bagi negara,” kata Andry.

Lebih lanjut, Andry menyatakan bahwa pengajuan pemohon BMAD belum merepresentasikan keseluruhan produsen domestik karena hanya merepresentasikan 26 persen dari produksi ubin keramik secara nasional.

Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, juga menyoroti potensi bahaya retaliasi dari negara-negara yang terkena dampak kebijakan anti dumping ini, terutama dari China.

“Pemberian BMAD dapat memicu tindakan balasan (retaliasi) dari negara-negara eksportir yang terkena dampaknya, termasuk China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tindakan balasan ini bisa berupa pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar mereka,” jelas Imaduddin.

Hal ini, kata dia, perlu menjadi perhatian mengingat selama ini Indonesia dan China memiliki hubungan perdagangan yang kuat yang pada 2023, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$64,94 miliar, atau 23 persen dari total ekspor.

Angka ini mencerminkan ketergantungan yang signifikan terhadap pasar China. Oleh karena itu, retaliasi dari China dapat berdampak serius pada industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.

Dalam hal ini, INDEF mendesak KADI untuk melakukan kajian lebih mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum merekomendasikan kebijakan yang berpotensi merugikan banyak pihak.