News

Rektor ITK Sebut ‘Menutup Kepala ala Manusia Gurun’, Ketua MUI: Primitif

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Cholil Nafis menyebut primitif terhadap guru besar perguruan tinggi yang menyinggung soal hijab wanita dengan manusia gurun.

“Dia Terjangkit penyakit hasud dan premitif. Seharusnya dibersihkan perguruan tinggi dari orang rasis itu,” tulisnya di akun Twitter @cholilnafis.

Mungkin anda suka

Ini terkait dengan Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Sentosa Purwokartika atas pernyataannya tentang 12 mahasiswi penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang diwawancarai tidak satupun menutup kepala ala manusia gurun.

Cholil pun berharap agar yang bersangkutan diberi tindakan agar tidak menjadi kegaduhan di masyarakat atas pernyataannya yang dikhawatirkan dapat memicu konflik.

“Harus diberi tindakan dan diberi pelajaran orang semacam ini,” tambah Cholil.

Sebelumnya, Rektor ITK Budi Santosa Purwokartiko mewawancarai kandidat penerima beasiswa LPDP yang diceritakannya melalui media sosial Facebook.

Namun pernyataan yang disampaikan justru dinilai mengandung rasialisme dan mengundang komentar beragam dari warganet. Berikut pernyataan yang diunggah Budi Santosa.

Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri, program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa, jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa.

Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8 dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145 bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100), luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen.

Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang.

Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir, jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind, mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.

Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang
– Membuat hal yang mudah jadi sulit
– Bekerja dari satu rapat ke rapat berikutnya tanpa keputusan
– Mementingkan kulit daripada isi
– Menyembah Tuhan tapi lupa pada manusia
– Menerima gaji dari negara tapi merusak negaranya
– Ingin cepat masuk surga tapi sakit tetap cari dokter dan minum obat
– Menggunakan KPI langit sementara urusannya masih hidup di dunia
Semoga tidak tercemar

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Anton Hartono

Jurnalis yang terus belajar, pesepakbola yang suka memberi umpan, dan pecinta alam yang berusaha alim.
Back to top button