Market

Rencana Jalan Berbayar Ditengarai Upaya Oligarki ‘Palak’ Warga

Pemda DKI Jakarta berencana menerapkan kebijakan electronic road pricing (ERP) alias jalan (dalam kota) berbayar dalam waktu dekat. Kebijakan ini ditengarai sebagai upaya investor dari kalangan oligarki untuk mendapatkan keuntungan dengan memeras alias memalak warga.

Oligarki adalah sistem kekuasaan berbasis sumber daya material alias wealth power. Pelakunya disebut oligark, sebagaimana mengutip Jeffrey A Winters (2011).

Mungkin anda suka

“Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta, Senin (13/2/2023).

Menurut dia, kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil. “Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut,” ujarnya.

Kalau bagi hasil, sambung dia, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta. “Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor,” ungkapnya.

Anthony menegaskan, sejauh ini sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar. “ERP biasanya untuk mengatasi kemacetan. ERP lebih ‘kejam’ dari jalan tol bebas hambatan berbayar,” timpal Anthony.

Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. “Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP,” tukasnya.

Sebenarnya, kata dia, wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. “Apakah ini merupakan ‘proyek’ yang tertunda?” ucapnya mempertanyakan.

Kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, bahkan mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5 ribu sampai Rp19 ribu setiap kali masuk kawasan.

“Mungkin lebih mahal dari tarif per kilometer jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75 ribu. Luar biasa!” tuturnya.

Jam operasional ERP juga sangat panjang. Tidak tanggung-tanggung, itu berlangsung dari jam 05:00 hingga jam 22:00 WIB setiap hari. “Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi?” ujarnya dengan nada heran.

Menurut Pemda Jakarta, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut.

“Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?” kata dia.

Anthony mempertanyakan, apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini. “Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa? Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP,” paparnya.

Untuk itu, ia mendesak, Pemda Jakarta menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya.

“Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal,” ungkap dia.

Selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, menurutnya, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP.

“Sebab, dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek untuk ‘memeras’ warga,” tuturnya.

Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS per tahun (Rp1,1 miliar mengacu pada kurs Rp15.222 per dolar AS), 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS.

“Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS (Rp65,95 juta),” ucap Anthony.

Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. “Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk,” tukasnya.

Anthony pun mewanti-wanti. Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP.

“Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi. Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button