Kanal

Republic of Vampire

Terletak di antara dua lautan besar dan dua benua. Terdiri atas ribuan pulau yang mengambang di Katulistiwa. Diberkahi sumber daya alam tropis yang melimpah. Berpenduduk hampir seperlima milyar dari beragam suku dan budaya…. “Welcome to the Republic of Vampire!’

Loekman Soetrisno, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, membuat bulu kuduk saya berdiri. Menyoroti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian merambah ke mana-mana, dia khawatir Indonesia akan menjadi Vampier State alias Negeri Drakula. Grrrghh…

“Korupsi sudah merambah sampai ke desa-desa,” katanya dalam sebuah diskusi. Begitu parah korupsi di negeri ini, kata dia, sedemikian parah sehingga dana bantuan bencana alam pun ikut dikorup. “Para aparat negara menyedot habis-habisan kekayaan negara sementara rakyat menonton dengan apatis” (Jawa Pos, 5 Januari 1996).

Vampire States adalah salah satu istilah yang dipakai majalah Newsweek edisi akhir tahun lalu ketika menurunkan laporan tentang “Korupsi ala 1996”.

Di Republik Drakula, para warganya tak lagi sadar apakah ia drakula atau bukan. Berbeda dengan drakula tradisional, mereka beroperasi di siang bolong, tanpa malu menyeringaikan taringnya di tempat-tempat terang, di layar televisi maupun di halaman muka koran-koran. Mereka tak takut salib, mantera ataupun doa; mereka bahkan termasuk yang setia memenuhi masjid, mengunjungi gereja, dan berdoa di pura.

Drakula tidak hanya jahat karena mencucup darah korbannya. Dia juga menularkan penyakitnya. Drakula yang besar menjadi predator bagi drakula yang lebih kecil. Dan yang lebih kecil menularkan penyakitnya pada yang gurem, dan seterusnya dalam lindungan “hukum rimba” yang sempurna.

Korupsi, kata Loekman, sulit diberantas karena “makin tipisnya jumlah penguasa Indonesia yang tidak pernah melakukan korupsi.” Di Republik Drakula, konsep pengawasan melekat tak berjalan karena para atasan cukup korup sehingga mustahil mencegah korupsi para bawahan. Para bawahan takut mengkritik atasan yang korup karena mereka sendiri menikmati sistem korup yang diciptakan.

Di Republik Drakula, para penguasa mengutip uang suap atau mengutip komisi dari lisensi monopolistik kalangan bisnisman. Mereka bahkan dengan satu atau dua cara memaksakan kolusi dan nepotisme lewat penguasaan saham perusahaan. Para pengusaha, pada gilirannya, tak mungkin memprotes. Bukan karena tak mau, mereka menikmatinya: lebih mudah buat mereka mereguk “darah” konsumen yang tanpa daya ditinggalkan penguasa negeri yang sudah terlebih dulu mabuk darah.

Kelompok Studi Ekonomi Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Yogyakarta, belum lama ini membeberkan hasil penelitian mereka: Harga 33 komoditas strategis di Indonesia, seperti kertas, semen, terigu, minyak goreng, dan tekstil, rata-rata lebih mahal sekitar 22 persen dari harga di pasaran internasional. Dengan kata lain: untuk memperoleh 33 jenis komoditas yang dibutuhkan sehari-hari tadi, masyarakat harus mensubsidi para pengusaha swasta sebesar lebih dari Rp20 triliun setahun! Dengan cara itu pula, rakyat menyumbangkan darahnya untuk kaum birokrat.

Proses pendrakulaan tak berhenti di kalangan pejabat. “Drakulisasi” menjalar ke profesi-profesi yang selama ini dipandang sebagai pilar-pilar moral: hakim, pengacara, ulama, pendeta, intelektual, dan wartawan. Bahkan rakyat pun—para korban—menjadi drakula-drakula baru yang haus akan korban-korban berikutnya.

“Rakyat tak hanya menonton. Mereka menunggu kesempatan untuk juga merampok kekayaan negara,” kata Loekman. Penyakit “haus darah” kini menyebar secepat epidemi virus AIDS. Seantero negeri tercemar.

Di Republik Drakula, korupsi menyebar tanpa kendali karena setiap warga berpikir bisa menemukan peluang lebih bagus dengan membiarkan tindakan laknat itu berlangsung. Secara historis, gejala seperti ini muncul di bawah sistem tirani, di mana rakyat hanya memiliki kemungkinan kecil untuk melindungi hak-haknya. Sedemikian kecil sehingga membuat mereka tak peduli dan berpikir bahwa cara terbaik yang bisa mereka lakukan hanyalah dengan bergabung dengan perilaku korup.

Loekman Soetrisno membuat bulu kuduk saya menari-nari. Tak hanya itu. Setiap bangun tidur, kini saya terbiasa meraba pipi sendiri, istri saya dan anak-anak saya. Adakah taring-taring yang mulai menonjol….

“Pemerintah yang tak bermoral ditandingi oleh rakyat yang rusak moralnya,” tulis Jose Rizal, sastrawan dan pahlawan nasional Filipina, dalam “El Filibusterismo” (Merajalelanya Keserakahan).

“Tata pemerintahan yang tanpa hati nurani akan dibarengi oleh warganya yang serakah di kota-kota, oleh gerombolan perampok di pegunungan,” tambah Rizal. “Hamba sahaya itu percerminan tuannya. Warga negara mencerminkan pemerintahnya.” Welcome to the Republic of Vampirel!

*Dimuat di Harian Umum Republika, 7 Januari 1996. Banyak disebut-sebut, tulisan ini membuat penulisnya dikeluarkan dari media itu.

FARID GABAN

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button