Hangout

Resesi Seks Melanda Dunia, Bagaimana Indonesia?

Dunia kini tak hanya mengkhawatirkan resesi ekonomi tetapi juga resesi seks. China dan Amerika Serikat tengah serius membicarakan tentang resesi yang satu ini. Apa sebenarnya resesi seks dan apakah bisa melanda Indonesia?

Selama ini kita menganggap seks merupakan hal yang menarik bagi semua orang namun ternyata tidak. Saat ini ternyata terjadi penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual di banyak negara yang menjadi perhatian karena bisa menimbulkan resesi seks. Jurnalis Kate Julian dalam sebuah artikel di The Atlantic, mencoba memahami mencoba mengapa orang melakukan lebih sedikit seks.

Resesi seks merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara sehingga menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran. Julian membeberkan kekhawatiran remaja dan dewasa di AS melakukan seks lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya.

Ia merujuk pada data Survei Perilaku Risiko Remaja yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS. Dalam survei itu, persentase murid SMP dan SMA yang melakukan hubungan seksual di negara itu berkurang dari 54 persen ke 40 persen sejak 1991 sampai 2017. Insider juga melaporkan jumlah warga AS berusia 18 hingga 29 tahun yang tak melakukan seks sejak 2008 hingga 2018 meningkat dua kali lipat.

“Dengan kata lain, di jeda generasi, seks berubah dari sesuatu yang paling sering dilakukan anak SMP dan SMA, ke sesuatu yang paling jarang dilakukan oleh generasi muda sekarang,” tulis Julian.

Pada tahun 1990, rata-rata orang dewasa di AS berhubungan seks 62 kali setahun dan pada tahun 2014 menurun menjadi 54 kali. Di Inggris, antara tahun 2001 dan 2012, usia di bawah 45 tahun berubah dari berhubungan seks lebih dari enam kali sebulan menjadi kurang dari lima kali.

Fenomena yang sama terjadi secara global seperti dengan Australia, Finlandia, dan Belanda semuanya mengalami penurunan yang serupa. Di Jepang, pada 2015, 43 persen orang berusia 18 hingga 34 tahun masih perawan.

Apa yang terjadi di China juga cukup menarik. Resesi seks di China ramai jadi perbincangan usai sebuah laporan dengan judul The Challenges of Law Birth Rate in China rilis di Wiley pekan lalu. Istilah resesi seks merujuk pada keengganan warga China untuk menikah dan angka kelahiran yang rendah.

Dalam laporan itu terungkap, pada 2021, China mencatat rekor angka kelahiran terendah sejak 1949. Jumlah populasi di China menurun secara signifikan pada 2021. Di tahun ini, hanya 7,52 kelahiran per 1.000 orang. Di tahun yang sama, sekitar 11 juta bayi lahir. Jumlah ini menurun dibanding pada 2016, dengan 18 juta kelahiran.

Melihat data-data ini, beberapa pakar menyebut Negeri Tirai Bambu itu tengah menghadapi resesi seks. Banyak penduduk di China yang memutuskan hanya memiliki satu anak karena biaya membesarkan anak yang sangat tinggi, terutama di kota-kota besar.

Mengapa Seks Jadi Tidak Menarik?

Banyak hal yang bisa menjadi pemicu dari resesi seks. Salah satunya adalah pandemi yang berlangsung lama. Di China dan mungkin banyak negara lain wabah COVID-19 yang muncul pada 2019 turut berkontribusi terhadap angka pernikahan dan kelahiran rendah di Negeri Tirai Bambu.

Pandemi memunculkan ketakutan dan ketidakpastian dunia saat ini. Seperti yang dikatakan terapis seks Emily Jamea, ada alasan ‘dua zebra tidak akan kawin di depan seekor singa’. Ketika Anda khawatir tentang apakah anak Anda masih bersekolah, apakah perusahaan tempat Anda bekerja aman dari kebangkrutan, atau apakah bisnis Anda tetap lancar tentu akan membuat lebih sulit untuk mendapatkan mood.

Semuanya mendorong stres, depresi dan kecemasan yang mendatangkan malapetaka pada libido. Faktor lainnya menyalahkan resesi seks ini pada kecanduan smartphone dan media sosial. Orang begitu sibuk dengan aktivitas di media sosial.

Sejumlah besar faktor sosial, budaya, dan teknologi bergabung untuk mengurangi dorongan seks kaum muda. Banyak orang kemudian merasa tidak harus melakukan seks jika mereka tak menginginkannya. Selain itu, juga menyebut kemungkinan beberapa orang lebih mengutamakan sekolah dan pekerjaan, ketimbang cinta dan seks.

Ada yang menarik dari tulisan Kate Julian yang menyebabkan resesi seks yakni anak-anak muda menemukan kesenangan dengan cara lain. Katanya, jumlah pria Amerika yang melaporkan masturbasi dalam minggu tertentu meningkat dua kali lipat, menjadi 54 persen, dan jumlah wanita meningkat lebih dari tiga kali lipat, menjadi 26 persen.

Ini bukan hanya fenomena Amerika. Menurut artikel The Economist baru-baru ini, kaum muda di Jepang memandang seks sebagai mendokusai, atau ‘melelahkan’ sehingga pria lebih memilih bermasturbasi di depan wanita bayaran.

Apalagi dengan munculnya internet, menjadi jauh lebih mudah untuk mengakses pornografi –yang kemungkinan berkontribusi pada lonjakan masturbasi. Belum lagi teknologi peralatan pemuas seks yang sudah semakin berkembang yang bisa ‘menghilangkan’ libido orang.

Bagaimana dengan Indonesia?

Resesi seks bisa terjadi di Indonesia seiring dengan perubahan gaya hidup saat ini. “Sangat bisa terjadi. Terutama trennya sekarang usia menikah anak muda itu makin meningkat, maksudnya mulai jarang yang memilih menikah muda di usia reproduksi,” kata Hasto Wardoyo Hasto, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengutip CNN Indonesia.

Memang, saat ini tidak ada penurunan jumlah kelahiran dan populasi penduduk yang signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) pada 2019, jumlah penduduk Indonesia mencapai 266,91 juta jiwa. Jumlah itu kemudian meningkat pada 2020 menjadi 270,20 juta jiwa. Angkanya kembali naik menjadi 272,68 juta jiwa pada pertengahan 2021. Kemudian meningkat lagi pada pertengahan tahun ini menjadi 275,77 juta jiwa.

Meski demikian, kenaikan jumlah penduduk ini juga dibarengi dengan angka perceraian yang semakin tinggi. Sejak 2015, angka perceraian terus meningkat. Tercatat, pada tahun itu sebanyak 350 ribu pasangan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka. Lalu, pada 2018 perceraian kembali meningkat menjadi 450 ribu. Kemudian pada 2021 angkanya nambah lagi jadi 580 ribu. Dengan tingginya orang bercerai, potensi resesi seks ini bisa terjadi.

Ada beberapa faktor yang bisa mendorong resesi seks di Indonesia. Di antaranya menurut Hasto adalah makin banyak anak muda yang memilih tetap menjadi lajang dan sendirian. Demikian gaya hidup yang sangat berpengaruh terhadap organ reproduksi baik pria maupun wanita seperti merokok, begadang makanan tidak sehat. Ada juga masalah kesehatan mental, serta tingkat perceraian yang tinggi.

Betapa pun seks adalah anugerah dari Sang Pencipta. Karena itu penting menjalin pernikahan dan mempertahankan hubungan seks yang lebih sehat dengan pasangan sebagai wujud rasa syukur dan manifestasi beribadah kepada-Nya. Sekaligus meneruskan keturunan Anda.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button