News

Residu Etilen Oksida dalam Makanan, Sudah Waktunya Atur Standar Internasional

Isu residu etilen oksida dalam produk pangan kembali mencuat setelah penarikan produk mi instan Indomie di beberapa negara karena temuan residu etilen oksida yang melebihi batas aman. Etilen oksida, senyawa beracun yang umum digunakan dalam industri, memiliki dampak negatif pada kesehatan manusia, termasuk berpotensi menyebabkan kanker.

Berikut ini galeri pendapat dari berbagai tokoh mengenai isu ini:

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang

“Kami telah mengirimkan usulan pengajuan EtO dan 2-CE sebagai priority list contaminant for evaluation by Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA)”

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, mengungkapkan bahwa BPOM telah mengatur batas maksimal residu EtO dan 2-CE melalui Keputusan Kepala BPOM Nomor 229/2022. Menurut keputusan tersebut, batas maksimal residu EtO sebesar 0,1 miligram per kilogram dalam pangan olahan dan BMR untuk 2-CE sebesar 85 miligram per kilogram.

Rita Endang menambahkan, BPOM telah mengusulkan kepada Codex Alimentarius Commission sebagai organisasi standar pangan internasional di bawah WHO dan FAO untuk mengatur batas maksimal residu EtO dan senyawa turunannya. Hal ini diperlukan untuk memberikan standar yang jelas secara internasional.

Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University Dr. Hanifah Nuryani Lioe

“Batasan terkait kandungan EtO amat penting untuk diterapkan di setiap negara mengingat dampak bahaya pada kesehatan manusia”

Menurut Dr. Hanifah Nuryani Lioe, batasan terkait kandungan EtO sangat penting untuk diterapkan di setiap negara mengingat dampak bahaya pada kesehatan manusia. Ia menjelaskan bahwa aturan yang diterapkan sebenarnya sudah sesuai jika merujuk pada hasil kajian di Jerman mengenai dosis paparan EtO yang dapat dikendalikan. Penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan juga tidak terlalu banyak, yakni 2-10 persen.

Dr. Hanifah menjelaskan bahwa etilen oksida dalam kadar yang sangat kecil sekalipun tetap dapat membahayakan kesehatan manusia. Ia menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap produk pangan, termasuk mi instan, agar tidak membahayakan konsumen.

Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didi Sumedi

“Produk yang diberitakan mengandung etilen oksida ini diekspor dari diaspora atau distribusi tidak resmi”

Didi Sumedi menyampaikan bahwa produk mi instan yang diberitakan mengandung etilen oksida diekspor dari diaspora atau distribusi tidak resmi. Sehingga, standar yang beredar tidak sesuai dengan standar Taiwan. Didi mengingatkan pentingnya menjaga reputasi produk ekspor Indonesia dengan memastikan keamanan dan kualitas produk yang dihasilkan.

Rina, Ibu Rumah Tangga dan Konsumen

“Saya khawatir dengan isu residu etilen oksida dalam produk pangan, terutama yang dikonsumsi oleh anak-anak”

Rina, seorang ibu rumah tangga, khawatir terhadap isu residu etilen oksida dalam produk pangan, khususnya yang dikonsumsi oleh anak-anak. Ia berharap pemerintah dan produsen pangan dapat bekerja sama untuk menghasilkan produk yang lebih aman dan tidak mengandung bahan berbahaya seperti etilen oksida.

Luki, Pelaku Usaha UMKM

“Kami berharap pemerintah memberikan dukungan untuk UMKM agar produk yang dihasilkan tetap aman dan berkualitas”

Luki, seorang pelaku usaha UMKM, mengatakan bahwa pihaknya juga berperan penting dalam menjaga keamanan pangan. Ia berharap pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pelatihan, fasilitas pengujian, dan sertifikasi bagi pelaku UMKM agar produk yang dihasilkan tetap aman dan berkualitas.

Galeri pendapat di atas menunjukkan beragam pandangan dari berbagai tokoh mengenai isu residu etilen oksida dalam produk pangan, khususnya mi instan Indomie. Hal ini menegaskan pentingnya kepedulian dan kerja sama antara pemerintah, produsen, dan masyarakat dalam menjaga keamanan pangan dan melindungi kesehatan konsumen.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button