Di tengah gencarnya upaya pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi halal bagi pelaku usaha makanan dan minuman, restoran dengan label ‘No Pork No Lard’ masih marak ditemukan. Label ini sering kali digunakan untuk memberi kesan bahwa produk makanan tersebut bebas dari unsur babi, meski tanpa sertifikasi halal.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati, menegaskan bahwa label tersebut tidak bisa dijadikan jaminan kehalalan suatu produk.
“Itu nggak bisa dipakai sebagai jaminan halal. Label ‘No Pork No Lard’ digunakan di masa lalu, sebelum ada sertifikasi halal. Sekarang, itu sudah tidak bisa dianggap cukup,” ujar Muti Arintawati dalam keterangannya, Kamis (3/10/2024).
Muti mengimbau masyarakat agar lebih selektif dalam memilih tempat makan. Ia menegaskan bahwa konsumen seharusnya hanya memilih restoran yang telah memiliki sertifikasi halal resmi.
“Saya mengimbau agar masyarakat tidak memilih makan di restoran yang belum memiliki sertifikat halal, karena kehalalannya tidak bisa dipastikan,” tambahnya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal, semua pelaku usaha makanan dan minuman diwajibkan untuk memiliki sertifikat halal. Batas waktu terakhir bagi mereka untuk memenuhi kewajiban ini adalah pada 17 Oktober 2024. Pelanggaran terhadap peraturan ini akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
“Bagi yang belum memiliki sertifikasi halal, akan diberikan teguran. Untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK), mereka mendapatkan perpanjangan waktu hingga dua tahun ke depan,” jelas Muti.
Ia juga menekankan bahwa pengawasan sertifikasi halal menjadi tantangan besar bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“BPJPH memiliki tugas berat dalam melakukan pengawasan. Tentunya akan ada proses peneguran dan penindakan bagi pelaku usaha yang belum mematuhi kewajiban ini,” kata Muti.
Sebelum adanya kewajiban sertifikasi halal, banyak restoran yang memasang label ‘No Pork No Lard’ untuk meyakinkan konsumen bahwa produk mereka bebas dari unsur babi. Namun, Muti menjelaskan bahwa sertifikasi halal mencakup lebih dari sekadar ketiadaan babi. Proses sertifikasi memastikan seluruh tahapan produksi, mulai dari bahan baku hingga penyajian, sesuai dengan syariat Islam.
“Misalnya, daging sapi, apakah dibeli dan diproses sesuai cara Islam atau tidak, kan tidak ada jaminan tanpa sertifikat halal. Di Indonesia, sudah ada aturan yang menjamin produk halal secara komprehensif,” pungkasnya.
Sertifikasi halal tidak hanya penting untuk memberikan rasa aman bagi konsumen muslim, tetapi juga menjadi tanggung jawab moral dan legal bagi pelaku usaha. Dengan tenggat waktu yang semakin dekat, para pengusaha makanan diharapkan segera mengurus sertifikasi halal untuk mematuhi peraturan dan memberikan jaminan kepada masyarakat.