News

Advocat Lucas: Pencucian Uang Harus Diputus di Pengadilan, Bukan Ranah Menteri atau PPATK

Sengkarut seputar dugaan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp349 triliun sebagaimana dilaporkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, harus segera diluruskan. Selain mencoreng nama intistusi negara, isu TPPU membuat pelaku ekonomi, termasuk para investor takut untuk bertransaksi. Di mata dunia internasional, isu ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia.

“Ini tak perlu terjadi jika semua pihak patuh dan tunduk dengan aturan. Tidak semua transaksi dalam jumlah besar itu pencucian uang. Ini bahaya. Yang bisa memutuskan apakah itu pencucian uang atau bukan, hanya hakim. Bukan Menko Polhukam, bukan pula Menteri Keuangan, apalagi Kepala PPATK,” kata Advocat Senior Lucas saat dihubungi inilah.com di Kyoto, Jepang, Jumat (24/3/2023).

Menurut Lucas, dalam tindak pidana pencucian uang setidaknya terdapat dua varian kejahatan, yakni tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana pencucian uang itu sendiri, yang bisa disebut sebagai tindak pidana lanjutan (follow up crime). Sehingga, kedudukan tindak pidana pencucian uang harus dilihat berdasarkan terjadinya tindak pidana tersebut secara faktual.

“Jadi harus ada predicate crime dulu. Ini yang menjadi sumber asal dari harta haram (dirty money) apakah itu hasil korupsi, perjudian, atau uang narkoba yang kemudian dicuci. Ini harus dibuktikan dulu oleh pengadilan, baru kemudian bisa disebut sebagai praktik pencucian uang,” jelas Lucas.

Dengan kata lain, lanjut Lucas, Kepala PPATK, Menteri Keuangan Sri Mulyani, maupun Menko Pulhukam Mahfud MD tidak bisa serta merta menyebut itu sebagai praktik pencucian uang.

“Jika semua transaksi yang mencurigakan dilihat sebagai sebagai pencucian uang, itu kesalahan besar yang berakibat fatal. Kita akan jadi tertawaan dunia. Indonesia bisa menyandang predikat negara surganya pencucian uang,” tambah Lucas.

Dia menyarankan, agar masalah ini selesai, segera usut dan limpahkan kasusnya ke pihak penyidik.

“Sekali lagi, semua tindakan dugaan perkara pencucian uang harus dikembalikan ke predicate crime terlebih dulu. Barulah jika kemudian jika di pengadilan terbukti bersumber dari suatu hasil kejahatan, bisa disebut pencucian uang. Jadi secara tegas dan tidak bisa terbantahkan bahwa TPPU itu haruslah melalui putusan hakim di pengadilan, dan bukan pada ranahnya PPATK atau Kementerian lainnya,” pungkas Lucas.

Seperti diberitakan, Menko Polhukam Mahfud MD sempat mengatakan ada temuan transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun di Kemenkeu selama periode 2009-2023 dalam konferensi pers pada Pada Jumat (10/3/2023). Mahfud menyebut transaksi itu terindikasi ada dugaan TPPU.

Selain Mahfud, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (20/3/2023) juga memaparkan adanya 300 surat PPATK perihal nilai transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun yang dikirimkan kepada pihaknya pada 13 Maret 2023.

Sementara anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan memperingatkan Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkeu Sri Mulyani terkait soal adanya ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun terhadap pelanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Setiap orang, itu termasuk juga menteri, termasuk juga menko (Mahfud), yang memperoleh dokumen atau keterangan, dalam rangka pelaksanaan tugasnya, menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut,” kata Arteria Dahlan dalam Rapat Kerja dengan PPATK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/3/2023) lalu.

Dalam Pasal 11 Ayat (1) UU itu disebutkan, “pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU 8/2010 wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut UU 8 tahun 2010”.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button