RI Gabung dengan BRICS, Ekonom Wanti-wanti Prabowo Risikonya

Senin, 28 Oktober 2024 – 14:11 WIB

Presiden China Xi Jinping (kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah), dan Perdana Menteri India Narenda Modi (kanan) saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 BRICS di Kota Kazan, Rusia, Rabu (23/10/2024).(Foto: RIA Novosti/Alexei Danichev)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Sejumlah ekonom memperingatkan Presiden Prabowo Subianto tentang adanya risiko yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia, dengan bergabung bersama kelompok negara ekonomi berkembang BRICS.

Salah satu dari ekonom itu adalah Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang menitikberatkan pada makin besarnya risiko ketergantungan ekonomi Indonesia dengan China.

Sebab, menurut Bhima, saat ini saja impor Indonesia dari China sudah melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari US$29,2 miliar pada 2015 menjadi US$62,1 miliar di 2023.

“Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023,” kata Bhima, seperti dikutip Senin (28/10/2024).

Selain itu, China juga sudah menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan porsi 25,56 persen dari total ekspor non migas per September 2024 sebesar US$20,91 miliar.

Advertisement

Potensi semakin besarnya ketergantungan ekonomi Indonesia dengan China ini, menurut pendapat Bhima, bisa membuat perekonomian Indonesia makin rapuh.

“Selain karena ekonomi China yang kian melambat lima tahun ke depan, barang-barang produksi China juga sudah membanjiri ekonomi domestik yang diduga sebagai biang kerok gulung tikarnya sejumlah industri,” ucapnya.

Di antaranya adalah industri keramik Indonesia, yang telah membuat pemerintah harus mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap 32 perusahaan China melalui penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2024.

Bhima mengingatkan, ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4 persen dalam empat tahun ke depan berdasarkan World Economic Outlook IMF. Sehingga, memberi risiko dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian.

“Kondisi ini idealnya direspon dengan penguatan diversifikasi negara mitra diluar China bukan malah masuk menjadi anggota BRICS,” ungkap Bhima.

Ekonom CELIOS itu juga menekankan, aktivitas diplomasi global China terbilang masih belum berkelanjutan. Misalnya saja saat Indonesia merayakan pelantikan Prabowo sebagai Presiden, kapal laut Coast Guard China masuk ke wilayah yuridiksi di Natuna Utara.

Di sisi lain, hubungan India dengan China yang sama-sama negara pendiri BRICS juga memiliki konfrontasi yang intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara meliputi, Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh. Berpotensi mengganggu stabilitas hubungan China dan India, dan secara bersamaan juga akan mempengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS.

Sementara itu Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damhuri juga menilai Indonesia tak perlu masuk menjadi anggota BRICS, karena sudah menjadi anggota G20 yang secara skala ekonomi lebih besar dari BRICS.

“Indonesia itu anggota G20, kita tidak terlalu memerlukan suatu platform baru untuk menjadi saluran di tingkat global,” kata Yose, seperti dikutip Senin.

Menurut dia, kondisi Indonesia itu berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang masuk dalam sebagai mitra BRICS, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Yose mengatakan ketiga negara tetangga itu bukan anggota G20, sehingga perlu mencari corong saluran diplomasi di tingkat global.

Karena itu, ia menilai Indonesia seharusnya mendorong agar negara ASEAN lainnya bisa masuk menjadi anggota G20, bukan mengikuti langkah sejumlah negara ASEAN untuk masuk kelompok BRICS.

“Yang kita harus coba justru bukan menjadi bagian dari satu kelompok yang mungkin belum ketahuan juga tujuannya seperti apa,” kata Yose.
 

Topik

BERITA TERKAIT