Market

Ribuan Nelayan Sulit Dapat Solar, Menteri Kelautan Kerjanya Apa?

Di tengah gaduhnya polemik kenaikan harga BBM subsidi, nasib nelayan terlunta-lunta. Mereka sulit mendapatkan BBM bersubsidi yakni Solar.

Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan mengakui, saat ini, nelayan kesulitan mendapatkan Solar bersubsidi. Alhasil, mereka tak bisa melaut.

Sejatinya, sulitnya nelayan mendapatkan Solar sudah terjadi bertahun-tahun. Padahal, Solar menjadi penentu bagi kelangsungan usaha nelayan, khususnya nelayan kecil. Lantaran, sekitar 60%-70% pengeluaran nelayan untuk melaut, untuk belanja Solar.

Ada sejumlah penyebab sulitnya nelayan memperoleh BBM subsidi. Salah satunya adalah para nelayan kesulitan untuk mengakses pembuatan surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan daerah asal nelayan yang bersangkutan.

“Jarak tempuh nelayan yang ada di desa untuk menuju kota guna mengurus surat rekomendasi terlampau jauh. Belum lagi, ada syarat-syarat seperti dokumen administrasi yang harus disiapkan juga. Kalau tidak ada itu, maka tidak bisa mengurus surat rekomendasi,” ungkap Dani, Kamis (25/8/2022).

KNTI menyebut, sebenarnya pemerintah sudah menjalankan proyek Kusuka atau Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan. Kartu ini sudah memuat berbagai data identitas nelayan dan kapal yang dimilikinya, sehingga memudahkan proses administrasi pembuatan surat rekomendasi penggunaan BBM subsidi. Hanya memang, belum banyak nelayan yang bisa mengakses kartu tersebut.

Selain itu, infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di Indonesia juga masih minim. Saat ini, jumlah SPBN tak lebih dari 347 unit. Sementara nelayan di Indonesia tersebar di 11.000-an desa.

“Seharusnya pengembangan SPBN lebih dipermudah sehingga koperasi-koperasi masyarakat yang dirasa mampu bisa ikut membangun infrastruktur tersebut,” jelas Dani.

Kembali merujuk catatan KNTI, selama periode 2016-2020 jumlah kuota BBM solar subsidi yang diterima nelayan ada di kisaran 1,9 juta kiloliter-2 juta kiloliter. Jumlah ini tak jauh berbeda ketika masuk di tahun 2021 dan 2022. Hanya saja, serapan Solar subsidi tersebut tergolong rendah di tiap tahunnya yakni hanya sekitar 26%.

“Kenyataannya di lapangan masih banyak nelayan yang tidak memperoleh Solar subsidi, meski kuotanya ada,” kata Dani.

Dengan kondisi itu, para nelayan biasanya membeli BBM solar dari pengecer yang harganya berselisih Rp 1.000-Rp 2.000 dari harga BBM solar subsidi. Hal ini tentu bisa menambah beban operasional para nelayan.

Memang, BBM Pertalite juga bisa dipakai oleh para nelayan, namun tidak semua jenis kapal bisa mengkonsumsi bahan bakar tersebut. Lagi pula, ketika Pertalite berstatus sebagai BBM subsidi, para nelayan mesti mengurus surat rekomendasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan. Lagi-lagi, masalah kesulitan akses memproses surat tersebut dialami oleh mereka.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button