Market

Rizal Ramli: Mafia BBM Selalu Bermain dengan Komisi Impor

Ketergantungan Indonesia pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di era Presiden Jokowi diduga sengaja dilanggengkan. Ini lantaran komisi alias imbalan dari impor tersebut sangat menggiurkan.

“Komisi impor itu gede banget. Mafia BBM selalu bermain dengan komisi impor,” kata Ekonom Senior Rizal Ramli dalam wawancara khusus dengan Wakil Pemimpin Redaksi Inilah.com Rahma Sarita di Kantor Inilah.com Jakarta, baru-baru ini.

Tokoh pergerakan ini menilai, Pertamina sangat tidak efisien karena banyak biaya pembelian yang bengkak dan project cost (biaya proyek) yang di-mark up. Bengkaknya biaya pembelian BBM karena sebagian minyak mentah produksi dalam negeri harus diekspor untuk diolah melalui kilang di Singapura.

“Habis itu diimpor lagi. Kebayang enggak? Ongkos kirim ke sana, ongkos kirim pulang, kemudian asuransinya, margin keuntungan di Singapura 10-20 persen. Ya mahal BBM jadi di Indonesia,” ujarnya.

Kurang produktifnya kilang di dalam negeri, salah satunya karena sudah uzur dan terbakar. “Contoh sederhana, dalam satu tahun terakhir, Kilang Pertamina kebakaran empat kali, seperti di Cilacap dan Balikpapn,” papar pria yang akrab disapa RR ini.

Yang terbaru, Kilang Balongan, Indramayu, Jawa Barat kembali terbakar pada Rabu (7/9/2022). Inilah.com mencatat, sedikitnya enam kali kilang Pertamina terbakar selama periode 2021-2022.

Seringnya kebakaran terjadi antara lain Kilang Balongan pada 29 Maret 2021 dan 7 September 2022. Kilang Cilacap pada 11 Juni 2021 dan 13 November 2021, Kilang Balikpapan pada 4 Maret 2022 dan 15 Mei 2022.

RR mengaku tidak tahu apakah kebakaran itu disengaja atau tidak. “(Kalau) sengaja, tapi tidak ada yang dihukum. Enggak ada yang dihukum tuh,” tukasnya.

Akibatnya, sambung dia, kapasitas produksi BBM dari Kilang Pertamina menjadi tidak maksimal. Padahal, tanpa terbakar pun, kapasitas produksinya sudah terbatas. “Akibatnya apa? Harus impor BBM jadi dari Singapura,” timpal dia.

Selama produksi tidak cukup, ia menegaskan, Indonesia harus mengimpor minyak bumi 1,1 juta barel per hari. “Padahal, dulu puncaknya, Indonesia menghasilkan 1,65 juta barel per hari,” ucapnya. Data 1977 itu juga dilansir BP World Statistic pada 2012.

Belakangan, produksi minyak bumi Indonesia turun ke kisaran 850 ribu barel dan turun kembali ke kisaran 600 barel per hari. “Tapi, anehnya tidak ada rencana bagaimana menaikkan produksi. Padahal, cadangan proven yang terbukti, banyak kok minyak di Indonesia,” tukas Rizal Ramli.

Menurut dia, Jokowi sejak awal menjadi Presiden dan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan sudah sesumbar membangun kilang minyak di Cilacap, Gresik, dan Balikpapan.

“Modalnya dari UEA (Uni Emirat Arab), apalah dan segala macam, dari Rusia, kagak ada yang jadi. PHP (pemberi harapan palsu) doang,” tuturnya.

Pada awal periode pertama masa jabatannya, Jokowi mewacanakan pembangunan 5 kilang minyak. Akan tetapi, itu belum juga menunjukan kemajuan. Padahal, kata Jokowi sendiri, sudah lebih dari 30 tahun Indonesia tak lagi membangun kilang minyak baru.

Begitu juga dengan Luhut yang bulan lalu ditugaskan Jokowi melakukan lawatan ke Rusia untuk membahas investasi Rusia di sektor kilang petrokimia di Tuban, Jawa Timur. Sebelumnya, pada Maret 2021 Luhut juga meneken sembilan kerja sama dengan UEA yang salah satunya terkait kilang minyak.

Pada awal 2022, Pertamina berencana mengembangkan 10 kilang: Biorefinery Cilacap (Jawa Tengah), Biorefinery Plaju (Sumatera Selatan), RDMP Dumai (Riau), RDMP Plaju (Sumatera Selatan), RDMP Cilacap, RDMP Balikpapan (Kalimantan Timur), Petrokimia Balongan, Olefin TPPI, Revamp TPPI, dan GRR Kilang Tuban (kilang baru).

Lewat pengembangan ini, kapasitas kilang nasional Pertamina diproyeksikan dapat meningkat menjadi 1,4 juta barel per hari. Produksi BBM juga akan naik menjadi 1,2 juta barel per hari, dari 700 ribu barel per hari.

Namun, rencana tinggal rencana. Pemerintah, kembali Rizal mengkritisi, jangan seenaknya menaikkan harga BBM. “Nyusahin rakyat doang, tapi kamu tidak mengerjakan apa yang harus kamu kerjakan. Tingkatkan efisiensi, naikkan produksi, dan tambah kapasitas kilang. Yang ada janji gombal doang,” ucapnya.

Dalam hitungan Rizal, efisiensi Pertamina dapat menghemat anggaran Rp100 triliun. “Kalau Preskomya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, Komisaris Utama Pertamina), Direksi tidak bisa, ganti. Gitu saja kok repot. Kalau orangnya lurus nih 3 bulan jadi,” imbuhnya.

Pengamat Energi Kurtubi mengatakan hal senada. Menurut dia, Pertamina tidak membangun kilang sebanyak yang dibutuhkan negara dengan alasan macam-macam.

“Bahkan ada oknum, saya tidak usah menyebut nama, orang-orang Pertamina yang berpendapat lebih murah impor BBM daripada bangun kilang. Jadi, ada yang berpendapat begini di Pertamina. Lebih murah impor BBM dari Singapura daripada kita bangun kilang,” ungkap dia.

Karena itu, sambung dia, ada kesan kurangnya pasokan BBM dalam negeri sengaja dilanggengkan terkait demi pemburu rente dari imbalan impor. “Itu untuk impor sudah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Jadi, orang yang mencari cuan dari impor BBM ini dari dulu banyak dari margin impor,” imbuh Kurtubi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button