News

Romo Magnis Beberkan Perbedaan Penembakan Brigadir J dengan Algojo Hukuman Mati

romo-magnis-beberkan-perbedaan-penembakan-brigadir-j-dengan-algojo-hukuman-mati

Selasa, 27 Des 2022 – 00:12 WIB

1672027920415 - inilah.com

Guru Besar Filsafat Moral Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Romo Franz Magnis (kanan) saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli meringankan dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J di PN Jaksel, Senin (26/12/2022). (Foto Inilah.com/Safarian Shah)

Guru Besar Filsafat Moral Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Romo Franz Magnis Suseno membeberkan perbedaan antara terdakwa Richard Eliezer selaku salah satu penembak Brigadir J dengan algojo hukuman mati yang terletak pada tinjauan etis dalam merenggut nyawa manusia.

Hal ini disampaikan Romo Magnis saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli meringankan dalam sidang lanjutan perkara pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jakse), Senin (26/12/2022).

Awalnya, Romo Magnis membeberkan terkait bersalah atau tidaknya Richard Eliezer yang menembak Brigadir J hingga tewas demi menjalankan perintah Ferdy Sambo. Ia berpendapat, terjadi dilema moral dan suara hati Richard saat menentukan detik-detik menembak Brigadir J.

“Apabila seseorang melakukan sesuatu yang menurut norma etika tidak dapat dibenarkan apakah dia harus dianggap secara moral bersalah atau tidak? Bisa saja dia tidak mengerti atau dia bingung,” kata Romo Magnis.

Lebih lanjut, ia membandingkan contoh nyawa manusia yang direnggut dengan latar belakang kasus Brigadir J dengan algojo hukuman mati. Keduanya memiliki akhir sama, yakni hilangnya nyawa seseorang.

“Kita ambil contoh apakah menembak mati orang yang tidak berdaya, yang tidak mengancam, secara etis dapat dibenarkan? Jawaban etika saya kira tidak dapat dibenarkan, tentu ada kekecualian,” ungkap dia.

Semisal, direnggutnya nyawa seseorang dapat dikecualikan jika algojo yang bertugas untuk mengeksekusi terpidana kasus tertentu yang didasarkan pada legitimasi ketentuan perundang-undangan. Kemudian, contoh lainnya yaitu kombatan perang yang harus membunuh musuhnya di medan pertempuran. Contoh berikutnya yakni membela diri karena nyawa terancam dari sebuah serangan maupun tindak pidana.

“Kecuali dalam tiga kasus ini secara etis jelas menembak mati orang adalah pelanggaran berat,” jelasnya.

Namun, dalam perkara pembunuhan berencana ini, Richard duduk sebagai terdakwa karena menembak Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo.

“Masih poin kedua yang penting dalam rangka normatif. Apakah orang yang berhak memberi perintah dapat memerintahkan orang lain melakukan sesuatu misalnya menembak orang tidak berdaya sampai mati atau tidak?” kata Romo Magnis memaparkan

“Di situ juga etika itu jelas jawabannya memerintahkan sesuatu yang secara etis salah berat, tidak bisa dan tidak ada kewajiban untuk menaatinya. Malah perintah yang tidak etis wajib ditolak. Itu yang pertama secara normatif,” ungkapnya.

Richard Seharusnya Menolak Perintah Ferdy Sambo

Namun, di sisi lain, dalam perspektif filsafat moral yang dikemukakan Thomas Aquinas dan Kahn, kualitas moral seseorang yang mengamini untuk mengeksekusi seseorang atas perintah merupakan sesuatu yang salah. Meski, ia hanya menjalankan perintah atasannya.

“Hampir semua filsuf moral sependapat ada pertanyaan lain yaitu mengenai kebersalahan orang yang melakukan sesuatu yang secara etis tidak bisa dibenarkan. Katakan saja misalnya ada orang yang atas perintah orang lain menembak mati seseorang. Secara etis orang itu sendiri kualitas moralnya harus dinilai bagaimana?” kata Romo Magniz menambahkan.

“Jawabannya di dalam etika itu sebetulnya itu tergantung kesadaran orang itu pada saat itu. Misalnya tergantung dari suara hati. Suara hati mengatakan apa pada saat itu, bisa saja dia bingung karena dia berhadapan dengan dua hal. Yang satu itu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya, tidak bisa dibenarkan titik. Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah wajib ditaati supaya melakukannya. Lalu di harus mengikuti yang mana,” sambung Romo Magniz

Untuk itu, secara etika normatif, lanjut Romo Magnis, semestinya Richard menolak perintah Ferdy Sambo sehingga tak dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa Brigadir J.

“Etika normatif tadi mengatakan dia harus menolak melakukan perintah seperti itu. Akan tetapi dalam etika yang memeriksa kebersalahan seseorang dan itu penting, akan ditanyakan apakah dia mempunyai cukup kejelasan,” ujarnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button