Rupiah Lunglai di Level Rp16.018 per Dolar AS


Rupiah terus melemah terhadap dolar AS setelah dibuka Senin (16/12/2024) pagi. Dilansir dari Refinitiv, kurs rupiah turun 0,18 persen ke level Rp16.018 per dolar AS. Ini adalah level terlemah rupiah sejak Agustus 2024.

Mata uang Garuda sudah terkulai di hadapan dolar AS pada perdagangan pekan lalu, 9-13 Desember 2024, bahkan menembus level psikologis Rp16.000.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan pekan lalu, Jumat (13/12/2024), dengan melemah 0,40 persen atau 64 poin ke posisi Rp16.008,5 per dolar AS. Pada saat yang sama, Indeks dolar terpantau naik 0,15 persen ke posisi 107,11.

Di level tersebut, rupiah melemah 1,02 persen dari penutupan akhir pekan lalu di level Rp15.845 per dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya menegaskan bahwa mata uang seluruh dunia mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Namun, kinerja rupiah masih lebih baik dibanding mata uang negara lain.

“Memang seluruh negara mengalami depresiasi, tapi depresiasi rupiah termasuk yang kecil,” paparnya dalam seminar nasional Kafegama, dikutip Senin.

Adapun, Perry mengakui tren penguatan dolar AS terjadi setelah kemenangan Donald Trump di Pilpres AS dan kondisi defisit fiskal AS yang meningkat hingga 7,7 persen.

Defisit ini memicu AS untuk mengeluarkan surat utang yang lebih banyak ke depannya. Kondisi inilah yang memicu capital reversal ke AS.

“Karena utangnya sangat besar dan suku bunga yang sangat tinggi, makanya dolarnya sekarang sedang super strong. Dolar yang sebelum Trump terpilih Itu adalah mata uang dolar dibandingkan negara-negara maju 101 sekarang 107,” ungkapnya.

Di sisi lain, Perry mengingatkan inflasi AS akan kembali meningkat dan Federal Reserve kemungkinan hanya akan memangkas suku bunganya sebanyak dua kali pada tahun depan. Padahal, pasar sebelumnya memperkirakan pemangkasan Fed Fund Rate akan mencapai 4 kali pada 2025.

“Fed Fund Rate akan turun lebih sedikit,” ujarnya.

Kemudian, imbal hasil US Treasury, obligasi AS, meningkat tajam dan memperkuat posisi dolar AS. Kondisi ini memicu investor global berlomba-lomba ingin investasi di pasar AS.

“Itu masalahnya suku bunga tinggi dan dolarnya kuat,” tegas Perry.