Rupiah kembali terpuruk di hadapan dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (17/12/2024). Hal ini terjadi di tengah penantian rilis hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada Rabu (18/12/2024), khususnya terkait kebijakan moneter tingkat suku bunga acuan.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Senin, rupiah melemah hingga 0,41 persen ke level Rp16.060 per dolar AS. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga sentuh level Rp16.000 dan terlemah di posisi Rp16.068. Pelemahan ini adalah yang terdalam sejak 6 Agustus 2024 dengan sebelumnya berada pada posisi Rp16.160 per dolar AS
Seiring dengan pelemahan rupiah pada Senin ini, Indeks Dolar AS (DXY) alami penguatan sebesar 0,04 persen tepat pukul 15.00 WIB di posisi 106,896. Penguatan ini menjadi salah satu faktor utama penekan nilai tukar mata uang Garuda hari ini.
Rupiah tertekan oleh penguatan dolar AS dan sikap ‘wait and see’ pelaku pasar menjelang sejumlah data penting. Pasar tengah menantikan kebijakan suku bunga acuan dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang akan dirilis 19 Desember 2024 serta Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan dirilis 18 Desember 2024.
The Fed diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan bulan ini, yang akan menjadi pemotongan ketiga secara berturut-turut sejak September. Dengan demikian, total penurunan mencapai 100 basis poin dalam beberapa bulan terakhir.
Berdasarkan perangkat FedWatch, probabilitas penurunan suku bunga The Fed mencapai 95,4 persen, yang akan membawa suku bunga dana federal ke kisaran 4,25-4,50 persen.
Di sisi lain, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa pelemahan rupiah masih lebih terkendali dibandingkan mata uang negara lain di tengah tren penguatan dolar AS. Menurutbya, penguatan dolar ini dipicu oleh sejumlah faktor, termasuk kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS dan meningkatnya defisit fiskal AS hingga 7,7 persen.
Defisit yang melebar mendorong pemerintah AS untuk menerbitkan lebih banyak surat utang, yang pada akhirnya menarik arus modal global kembali ke AS (capital reversal). Kondisi ini diperparah oleh tingginya suku bunga di Negeri Paman Sam, yang membuat dolar AS semakin kuat.
“Dolar sebelum Trump terpilih berada pada level 101 terhadap mata uang negara-negara maju, kini telah naik ke 107,” ungkap Perry dalam sebuah seminar nasional baru-baru ini.
Sebagai informasi tambahan, Chief Economist BCA David Sumual mengatakan kondisi rupiah yang melemah hingga di atas level Rp16.000 per dolar AS ini disebabkan oleh kondisi musiman di mana biasanya menjelang akhir tahun akan sedikit mereda karena aktivitas pasar finansial kecenderungan volume yang menurun.
Dengan sentimen tersebut, rupiah ikut tertekan di tengah penguatan dolar AS yang berlanjut, sementara pelaku pasar menantikan arah kebijakan The Fed dan BI yang akan menentukan pergerakan mata uang ke depannya.