Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Larasmoyo Nugroho turut menyoroti Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Ia menilai pasal yang sangat penting dalam beleid ini justru adalah soal penguatan dan modernisasi alat utama sistem senjata atau alutsista.
“Ketimbang mengubah soal supremasi sipil dengan memperbanyak jumlah badan/lembaga yang dapat dijabat anggota TNI aktif,” ucap Larasmoyo kepada Inilah.com, Senin (17/3/2025).
Menurutnya, penguatan dan modernisasi alutsista ini penting untuk diarahkan pada dua hal, pertama adalah untuk pemenuhan Minimum Essential Force (MEF). Kedua, untuk peningkatan kapasitas nasional, khususnya industri pertahanan keamanan dan subsistemnya.
“Revisi UU TNI ini menjadi momentum penting sebagai pintu masuk untuk meningkatkan dan modernisasi alutsista kita, sekaligus untuk membuktikan kemandirian teknologi pertahanan nasional, ketimbang dianggap set back ke arah penguatan dwifungsi TNI,” tuturnya.
Namun ia mengingatkan, pemerintah juga perlu hati-hati terkait kebijakan penguatan dan modernisasi alutsista ini. Jangan sampai kebijakan tersebut menjadi alasan untuk impor alutsista, yang justru akhirnya akan melemahkan kedaulatan NKRI, jika tidak diimbangi dengan penguatan industri domestik.
“Karena itu, kebijakan penguatan dan modernisasi alusista ini, tidak boleh menjadi jalan tol bagi ketergantungan nasional yang semakin tinggi terhadap kekuatan asing,” lanjutnya.
Selain itu, RUU TNI semestinya mengatur dengan tegas peran lembaga seperti Danantara, BUMN strategis dan BRIN dalam pengembangan industri alutsista nasional.
Danantara harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendukung pengembangan industri alutsista dan subsistemnya. Sementara BUMN strategis, seperti PTDI dan PT PINDAD berperan sebagai integrator teknologi utama.
“Industri swasta diarahkan untuk pengembangan subsistem spesifik alutsista. Serta BRIN diarahkan berperan dalam mendukung riset alusista,” ujar Larasmoyo.
Larasmoyo kemudian berkaca dari pengalaman Korea dalam pengembangan Korean Fighter eXperimental (KF-X), membuktikan bahwa kolaborasi luas antara pihak industri, lembaga riset, dan universitas dalam mempercepat pengembangan teknologi canggih sekaligus membangun ekosistem inovasi yang kuat, sangat dimungkinkan.
“Sayangnya, program KF-X di Indonesia sendiri sering dipandang sebelah mata, apalagi jika dibandingkan dengan pengadaan alutsista impor seperti Rafale. Akibatnya pengembangan industri alutsista nasional masih sangat terbatas,” tandasnya.