Sutradara film animasi Jumbo, Ryan Adriandhy, turut angkat bicara soal tren penggunaan AI (Artificial Intelligence) dalam industri animasi yang belakangan ramai, termasuk fenomena “Ghiblification” atau pembuatan gambar bergaya Studio Ghibli oleh pengguna aplikasi ChatGPT.
Dalam sebuah sesi wawancara di kanal YouTube Medy Renaldy, Ryan dengan lugas menegaskan bahwa dirinya masih percaya pada pentingnya sentuhan manusia dalam karya kreatif. Menurutnya, AI bisa digunakan sebagai alat bantu dalam tahap eksplorasi ide, namun bukan untuk menggantikan proses kreatif sepenuhnya.
“Kalau film animasinya full dibuat AI, menurut gue itu tandanya lo nggak berani kreatif aja,” ujar Ryan. Ia menyamakan AI dengan asisten atau alat bantu imajinasi seperti Jarvis dalam Iron Man, namun tetap menekankan bahwa eksekusi akhir haruslah dikerjakan manusia.
Sebagai kreator yang menghabiskan lima tahun membuat Jumbo bersama lebih dari 400 orang tim kreatif, Ryan menekankan nilai proses dalam pembuatan film animasi. Ia bahkan menyebut bahwa Jumbo dibuat dengan apa yang ia sebut sebagai “Alamiah Intelligence”, bukan artificial.
“ADHD gue justru jadi semacam superpower,” ujarnya sambil mengenang proses panjang dan penuh tantangan yang dilalui bersama tim Visinema. “Gue nggak pernah sekalipun mikir buat berhenti.”
Menariknya, Ryan juga membahas pengaruh kuat Studio Ghibli dalam proses kreatifnya. Ia menyebut Ponyo sebagai film yang menyadarkannya bahwa cerita anak-anak pun bisa memiliki kedalaman emosi dan filosofi.
“Ponyo itu yang bikin gue sadar bahwa kita selama ini bikin cerita dengan lensa orang dewasa. Padahal, magical realism itu justru kuat karena menyisipkan keajaiban dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Ryan berharap film Jumbo yang kini sudah ditonton lebih dari 3 juta dan menjadi film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa itu tidak hanya dicintai karena lucu atau menyentuh, tetapi juga bisa menginspirasi generasi animator baru di Indonesia. Ia bermimpi ke depan ada lebih banyak film animasi lokal yang tak hanya laku di bioskop, tetapi juga mendapatkan pengakuan sebagai karya sinematik utuh—bukan sekadar tontonan anak-anak.
“Jumbo ini film untuk anak-anak kita, dan anak-anak dalam diri kita,” pungkasnya.