Kanal

Sadarkah Anda Kemasan Makanan dan Minuman Makin Mengecil?

Apakah Anda pernah memperhatikan kemasan produk makanan atau minuman yang kian mengecil? Atau menu di restoran menjadi lebih sedikit? Ternyata ini adalah kondisi nyata seiring dengan strategi para pebisnis untuk bisa bertahan di situasi ekonomi yang sulit.

Situasi bisnis memang lagi sulit. Ekonom dan para pejabat pun sudah mewanti-wanti ancaman resesi ekonomi. Para pebisnis pun harus putar otak lebih keras di tengah situasi daya beli masyarakat yang tengah melemah sementara harga-harga bahan baku juga makin merangkak naik.

Salah satu strateginya adalah memperkecil kemasan produk untuk menghindari menaikkan harga. Ini yang dikenal sebagai Shrinkflation. Dari kertas toilet, yogurt, kopi hingga keripik jagung, para produsen diam-diam mengecilkan ukuran kemasan tanpa menurunkan harga. Fenomena shrinkflation atau penyusutan yang dengan cepat terjadi di seluruh belahan dunia.

Di Amerika Serikat, sekotak kecil tisue yang beberapa bulan lalu memiliki 65 lembar, kini hanya 60 lembar. Yogurt Chobani Flips menyusut dari 5,3 ons menjadi 4,5 ons. Di Inggris, Nestle memperkecil kaleng kopi Nescafe Azera Americano dari 100 gram menjadi 90 gram. Sementara di India, ukuran sebatang sabun cuci piring Vim diperkecil dari 155 gram menjadi 135 gram.

Inflasi dan harga bahan baku tinggi

Para ahli mengatakan penyusutan bukan hal baru, namun semakin meluas saat inflasi karena perusahaan bergulat dengan kenaikan biaya untuk bahan-bahan produk, pengemasan, tenaga kerja dan transportasi.

Para ahli juga mengungkapkan, shrinkflation bukan hal baru, namun semakin meluas saat inflasi tinggi karena perusahaan bergulat dengan kenaikan biaya untuk bahan-bahan produk, pengemasan, tenaga kerja dan transportasi.

Mengutip VoA, inflasi harga konsumen global naik sekitar 7 persen pada Mei lalu, yang menurut Standard & Poor Global akan berlanjut hingga September nanti.

“Hal ini datang bagai gelombang. Kita kebetulan berada dalam gelombang pasang karena inflasi,” ujar Edgar Dworsky, advokat konsumen dan mantan asisten jaksa agung di Massachusetts yang selama beberapa puluh tahun telah mendokumentasikan penyusutan yang terjadi di situs web Consumer World buatannya.

Dworsky mulai melihat boks-boks sereal yang lebih kecil sejak musim gugur lalu, dan shrinkflation ini kemudian terus membesar. Ia menyebutkan sejumlah contoh, dari kertas tissue Cottonella Ultra Clean Care yang berkurang dari 340 lembar menjadi 312 lembar. Atau kopi Folgers yang kemasan plastinya mengecil dari 51 ons menjadi 43,5 ons, namun masih cukup untuk membuat 400 cangkir kopi.

Inikah cara mengelabui konsumen? Dworsky mengatakan dorongan untuk melakukan shrinkflation ini karena pelanggan akan mengetahui jika terjadi peningkatan harga, tetapi tidak akan menyadari adanya perubahan berat kemasan atau rincian kecil seperti jumlah lembaran tisue yang berkurang.

Perusahaan-perusahaan itu menyadari bahwa mereka juga dapat menggunakan trik untuk mengalihkan perhatian publik dari perampingan kemasan, seperti menandai paket yang lebih kecil dengan label baru yang cerah dengan berusaha tetap menarik perhatian pembeli.

Shrinkflation di restoran Singapura

Di Singapura, baru-baru ini, seorang blogger mengeluh bahwa fillet salmonnya dari kafetaria populer sangat ramping. Bahkan netizen menanggapinya dengan mengolok-olok dan menyebutnya kentang goreng salmon. Ini sebagai bagian dari fenomena shrinkflation dimana pelanggan menerima lebih sedikit porsi dengan harga yang sama yang biasa kita bayar.

Mengutip Channel News Asia, pelanggan di Singapura yang tidak puas telah menggunakan media sosial untuk mengungkapkan unek-uneknya tentang berkurangnya porsi makanan di restoran. Beberapa mungkin merasa mereka telah ditipu atas nama inflasi. Tetapi apakah ini reaksi yang berlebihan, terutama ketika bisnis makanan dan minuman mungkin tidak punya pilihan, dihadapkan dengan biaya yang meningkat? Atau apakah pelanggan selalu benar?

Meskipun menanggung beban keluhan, bisnis makanan dan minuman di Singapura memang menghadapi masa-masa yang menantang. Dengan latar belakang perang Ukraina dan gangguan rantai pasokan, biaya operasi mereka –-termasuk bahan baku, tenaga kerja, sewa dan utilitas-– telah meningkat secara signifikan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bisnis makanan minuman perlu menaikkan harga untuk mengejar kenaikan biaya. Nasib pedagang asongan lokal, di mana margin sudah tipis, bahkan lebih drastis. Menurut Federasi Asosiasi Pedagang Singapura, 80 persen pedagang asongan telah menaikkan harga sejak April.

Dari perspektif bisnis, ada dua opsi bagi untuk tetap bertahan. Menaikkan harga mereka sambil mempertahankan kuantitas yang sama, atau mempertahankan harga yang sama tetapi mengurangi kuantitas. Meskipun opsi yang paling jelas adalah menaikkan harga, mereka yang melayani sebagian besar segmen pelanggan yang sensitif terhadap harga akan memutuskan sebaliknya.

Mereka lebih memilih untuk mempertahankan harga mereka dan mengurangi porsi ukuran porsi karena takut kehilangan sebagian besar pelanggan mereka. Kenyataannya, ada pelanggan yang tidak setuju dengan praktik ini dan merasa kesal karenanya.

Lau Kong Cheen, Profesor Program Pemasaran di Singapore University of Social Sciences (SUSS) School of Business serta Associate Professor Allan Chia, Dekan Sekolah Bisnis SUSS dalam tulisannya di ChannelNewsAsia mengungkapkan, umumnya sebagian besar konsumen sangat menyadari kondisi bisnis saat ini. Tekanan inflasi dan tingginya harga bahan baku bisa secara masuk akal akan berimbas pada penyesuaian harga.

“Masalahnya adalah tentang menghormati pelanggan, mengelola harapan mereka dan cara melaksanakannya. Penting untuk dipahami bahwa pelanggan menginginkan harga dan layanan transparan,” kata Cheen.

Ia pun memberikan dua opsi menarik. Para pelaku bisnis makanan dan minuman dapat mulai menawarkan porsi kecil dengan harga yang tidak berubah, untuk pelanggan yang sensitif terhadap harga yang mungkin tidak mampu membeli lebih banyak. Sementara pilihan porsi sedang atau besar dengan harga yang dinaikkan untuk pelanggan yang ingin memuaskan selera mereka.

Hal berikutnya yang harus dilakukan penjual makanan adalah menjelaskan tindakan mereka kepada pelanggan. Mereka harus menguraikan tantangan untuk mempertahankan bisnis mereka di tengah kenaikan biaya, dan berterima kasih atas pengertian mereka. Komunikasi semacam itu sangat membantu dalam membangun kepercayaan pelanggan, yang memperkuat loyalitas merek.

Selain itu, restoran perlu memperbarui visual pada menu mereka untuk lebih mencerminkan porsi-porsi baru, sehingga pelanggan tidak akan merasa tertipu. Ini bisa mahal jika tanda fisik perlu diubah, tetapi lebih layak untuk menu digital.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Tren shrinkflation berlaku secara global tak terkecuali di Indonesia. Beberapa produk makanan dan minuman dengan kemasan serta ukuran terpaksa diperkecil agar bisa terserap di pasar, terutama bagi segmen eceran.

“Jadi, basket size atau jumlah barang atau produk yang terbeli oleh konsumen tidak berkurang walaupun ukuran produk yang dijual lebih kecil,” kata Roy Nicholas Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), mengutip Bisnis.

Roy mengatakan, menurut cermatannya, produk-produk dengan ukuran kemasan lebih kecil yang didistribusikan jumlahnya mencapai 10 persen sejak pandemi COVID-19 berlangsung. Langkah mengikis ukuran produk tersebut, lanjut Roy, merupakan salah satu strategi industri mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat sejalan dengan terjadinya resesi ekonomi.

Hal itu, sambungnya, mesti dilakukan karena terdapat beberapa komoditas bahan baku impor, seperti gandum dan kedelai, yang memiliki harga relatif tinggi seiring perang dan pandemi yang masih berlangsung.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina merupakan negara importir gandum terbesar kedua bagi Indonesia dengan nilai mencapai US$843,61 juta pada 2021. Importir gandum terbesar ke Tanah Air lainnya adalah Australia senilai US$1,45 miliar, Kanada US$639,9 juta, Argentina US$169,52 juta, Amerika Serikat (AS) US$134,71 juta, dan negara lainnya senilai US$209,2 juta.

Jadi jangan kaget jika kemasan produk yang biasa Anda beli berkurang atau porsi makanan sedikit berkurang dari biasanya. Ini adalah strategi lain untuk menghindari kenaikan harga akibat beratnya tantangan bisnis mereka.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button