Market

Saham ‘Big Banks’ Diunggulkan saat Fenomena January Effect belum Menyapa

Seiring pelemahan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam dua hari terakhir, fenomena January Effect belum kunjung ‘menyapa’ bursa saham. Namun, analis sudah menjagokan saham-saham bank berkapitalisasi besar untuk menyambut fenomena tersebut lantaran potensi kinerjanya yang moncer.

Pada perdagangan Selasa (18/1/2022), IHSG ditutup melemah 30,989 poin (0,47%) ke posisi 6.614,059. Tertingginya di 6.667,405 atau menguat 22,357 poin dan terendahnya di 6.534,270 atau melemah 110,778 poin dari posisi pembukaan di angka positif 6.654,959.

Kepala riset Samuel Sekuritas Suria Dharma mengatakan, pergerakan IHSG menunjukkan pola yang anomali di mana investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net foreign buy) tapi investor lokal justru melakukan aksi jual.

Biasanya, kata dia, saat investor asing melakukan aksi beli, para investor ritel turut melakukan pembelian sehingga IHSG mengalami kenaikan. “Tapi, ini kan sekarang tidak terjadi. Asing dalam posisi net foreign buy, tapi IHSG-nya justru turun,” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (18/1/2022). “Selasa ini seharusnua IHSG menguat.”

Dengan pelemahan tersebut, kata dia, fenomena January Effect belum juga terlihat ‘batang hidung’-nya di bursa saham. Apalagi, secara historis dalam lima tahun terakhir, fenomena January Effect tidak selalu terjadi sesuai harapan.

“Ada 3 tahun January Effect di mana IHSG tidah mengalami penguatan signifikan. Untuk Januari 2022, tanda-tanda dari fenomena itu belum kelihatan,” ujarnya.

Dari dalam negeri, lanjut Suria, pasar mendapat sentimen positif dari surplus neraca perdagangan, meskipun nilainya masih di bawah ekspektasi pasar.

“Meski surplusnya di bawah ekspektasi, itu karena nilai impor yang juga mengalami kenaikan yang menunjukkan adanya aktivitas ekonomi di dalam negeri, ditambah dengan kenaikan harga minyak,” papar dia.

Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat Neraca perdagangan Desember 2021 mengalami surplus US$ 1,02 miliar. Sedangkan secara total 2021 neraca perdagangan mengalami surplus US$35,34 miliar. Jika dibandingkan dengan 2020, 2019 bahkan sampai 2016, surplus neraca perdagangan pada 2021 adalah yang paling tinggi selama lima tahun terakhir.

Lebih jauh Suria menjelaskan, pelaku pasar sempat mengkhawatirkan tren kenaikan kasus Covid-19 varian Omicron. Orang berspekulasi pemerintah akan memberlakukan pengetatan PPKM level 3-4. “Tapi yang terjadi adalah PPKM level 2. Artinya, tidak seketat saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 sebelumnya meskipun angka kasus hariannya masih menunjukkan tren kenaikan,” ungkap dia.

Pelemahan IHSG kemarin, ditegaskan dia, terjadi karena semakin dekatnya tapering off yang dilakukan oleh Bank Sentral AS, The Fed. “Jika dipercepat, pembelian obligasi AS oleh Bank Sentral akan selesai pada Maret 2022 dan disusul dengan kenaikan suku bunga,” ucapnya.

Sentimen negatif lainnya datang dari perlambatan ekonomi China. Akan tetapi, Suria menggarisbawahi, bahwa perlambatan tersebut sebenarnya dipicu oleh pengetatan yang sengaja dilakukan di negeri panda tersebut.

“Pengetatan diberlakukan kepada perusahaan-perusahaan start up di sektor teknologi, pengetatan di sektor properti, dan penurunan suku bunga,” papar Suria.

Kebijakan tersebut dilakukan China agar ekonomi negeri Tirai Bambu itu tidak mengalami overhitting alias kepanasan. China sengaja mengerem pertumbuhan ekonominya. “Kebijakan ini berbeda dengan AS yang baru melakukan pengetatan moneter setelah angka inflasinya tinggi hingga 7% atau sudah overhitting,” tuturnya.

Secara teori, Suria mengakui, perlambatan ekonomi China akan memperlambat permintaan ekspor dari Indonesia ke negara itu. Tapi, jika dilihat lagi, neraca perdagangan Indonesia naik. Pasar juga sudah memperkirakan perlambatan ekonomi China akan terjadi.

“Bahkan angka perlambatan itu lebih bagus dibandingkan perkiraan. Ini tidak masalah seharusnya,” timpal dia.

Kondisi tersebut mirip dengan Indonesia saat adanya lonjakan Covid-19 varian Delta di mana pasar berekspektasi hal itu akan berpengaruh buruk terhadap perekonomian. “Tapi, ternyata tidak. Laporan keuangan emiten-emiten bahkan ternyata masih oke,” tukasnya.

Terkait January Effect, dia menegaskan, secara keseluruhan arah IHSG masih belum jelas. Namun, secara teknikal, support IHSG berada di level psikologis 6.500 dan resistance di angka 6.700 hingga 6.750.

Meski belum jelas, arah IHSG seharusnya sudah mulai menunjukkan penguatan. Apalagi, beberapa bank besar akan merilis laporan keuangannya pekan depan, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan lain-lain.

“Ada kemungkinan, kinerja mereka berada di atas ekspektasi atau perkiraan. Karena itu, saham-saham tersebut sangat potensial mengalami penguatan,” ungkap Suria.

Di atas semua itu, dia merekomendasikan saham-saham berkapitalisasi besar di sektor perbankan, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Disclaimer: Pelajari dengan teliti sebelum membeli atau menjual saham. Inilah.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button