News

Said Didu Dianggap Keliru, KIB Tidak Dibentuk untuk Kepentingan Oligarki

Pernyataan mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu, tentang dukungan Joko dan kaum pemodal (Oligarki) kepada pasangan Ganjar-Erick Thohir sebagai pasangan Capres-Cawapres pada Pilpres 2024 dinilai pengamat politik Universitas Nasional (UNAS) Robi Nurhadi, sah-sah saja, sesuai kacamata analisis yang ia gunakan. Tetapi tudingan Said Didu bahwa oligarki akan menggunakan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk pasangan Ganjar-Erick adalah analisis keliru yang tak jelas pisau analisisnya.

Hal itu menjadi inti pernyataan yang diungkap kepala Pusat Penelitian Pascasarjana Universitas Nasional tersebut. “Pak Said Didu keliru. Koalisi Indonesia Bersatu itu diinisiasi Airlangga selaku ketua umum Partai Golkar. Dia tidak akan mengulang posisi Partai Golkar hanya sebagai ‘joki three in one’ sebagaimana dua Pilpres terdahulu. Mereka yang mendayung, orang lain yang diuntungkan,” ujar Robi, yang mendapatkan doktor filosofi (PhD)-nya dari Center for History, Politic and Strategi, UKM Malaysia, tersebut.

Menurut Robi, pernyataan Said Didu yang menuding KIB sebagai kendaraan politik oligarki untuk usung Ganjar-Erick justru memperlihatkan bahwa mantan Sekjen Kemeneg BUMN tersebut jika tidak luput mencermati bagaimana KIB terbentuk, mungkin malah mengalami apa yang disebutnya ‘rabun senja’ politik.

“KIB itu dideklarasikan tanpa sepengetahuan baik Pak Dhe, Opung LBP, maupun kelompok oligarki. Bahkan para wartawan saat diundang pun tidak diberitahu bahwa yang akan dilakukan di antaranya adalah deklarasi koalisi,” kata Robi, pengajar pasca-sarjana di UNAS itu.

Semangat yang mendasari keberadaan KIB, kata Robi, justru kehendak untuk mengakhiri kontraksi politik yang ekstrem antara kelompok Pak Dhe, Opung dan oligarki, dengan kelompok yang selama ini melakukan sikap oposan kepada kekuatan itu.

“Itulah mengapa namanya Koalisi Indonesia Bersatu. Kalau nggak mendorong bangsa untuk “bersatu”, tak akan dipakai nama itu,” kata dia.

Menurut Robi  dengan banyaknya pihak yang ‘menggoyang’ atau ikut  ‘menggoreng’ KIB, sejatinya hanya menegaskan bahwa koalisi Golkar, PAN dan PPP itu justru dianggap memberi ancaman bagi oligarki. “Biasanya kan yang punya potensi kuat menjadi rival penguasa atau oligarki-lah yang terus digoyang supaya lemah,” ujar Robi, diselingi dengan terkekeh.

Sementara pada kesempatan berbeda, anggapan bahwa peluang Airlangga untuk berlaga di Pilpres 2024 hanya kecil, ditepis pengamat politik Hendri Satrio. Menurut pengamat politik dari Universitas Paramadina itu, peluang Airlangga besar, meski elektabililitasnya saat ini masih relatif kecil. Yang harus dipertimbangkan, justru saat ini pun dirinya sudah punya tiket untuk itu.

“Dia punya tiket (suara PT di KIB–red) untuk itu,” kata Hendri. Yang menurut Hendri harus segera dilakukan Airlangga dan timnya adalah mengumumkan secepatnya tentang pencapresan tersebut.

“Artinya, Airlangga harus belajar dari sejarah dan strategi dari ARB. Nah,  sekarang Airlangga mengubah strategi dengan tidak bicara tentang pencapresan dari awal. Kalau menurut saya semakin cepat Golkar mengumumkan, semakin cepat juga datangnya dukungan dari kader-kader dan simpatisan Golkar untuk mendukung Airlangga,” kata dia.

Tentang elektabilitas Airlangga yang terkesan jalan di tempat, Hendri punya pemikiran tersendiri. Menurut dia, selain memang karena mesin partai belum digerakkan optimal, kerja-kerja untuk menaikkan elektabilitas pun butuh strategi khusus.

“Sampai saat ini belum terlihat ada strategi yang pas untuk Airlangga, sehingga wajar bila elektabilitasnya segitu-segitu saja,” kata dia. Namun Hendri tidak menampik kemungkinan Partai Golkar dan dua anggota koalisinya memiliki pertimbangan dan strategi lain soal itu. [dsy/fadli]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button