News

Saiful Mujani: Tak Terjadi Polarisasi Ideologis di Antara Pemilih Capres

Temuan studi yang dilakukan Prof. Saiful Mujani menunjukkan di tingkat massa pemilih calon presiden, tidak terjadi polarisasi secara ideologis. Temuan terbaru tersebut dipresentasikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertema “Polarisasi di Pilpres 2024?”, yang dikutip Inilah.com di Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Saiful dalam presentasinya menyebutkan isu mengenai polarisasi adalah diskursus global. Di Amerika Serikat, misalnya, isu mengenai polarisasi menarik banyak perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik Amerika sejak awal tahun 2000-an.

“Polarisasi adalah isu yang sudah cukup lama. Namun dalam masyarakat Indonesia mendapatkan satu momentum ketika terdapat beberapa event politik penting yang berskala nasional, terutama pemilihan presiden,” ujar Saiful dalam program tersebut yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV bersama pengamat politik dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad pada Kamis ini.

Dalam pemilihan presiden secara langsung pertama (2004) dan kedua (2009), kata Saiful, isu polarisasi belum muncul atau tidak terlihat banyak. Polarisasi ketika itu belum menjadi keprihatinan banyak pihak, misalnya dari politisi atau para pengamat.

Di Amerika Serikat, lanjut Saiful, yang dimaksud dengan polarisasi adalah keterbelahan elite yang berpengaruh pada keterbelahan massa secara lebih luas. Dalam tradisi politik Amerika, terdapat konsep ideologi kiri dan kanan. Karena itu, polarisasi tersebut bisa diartikan sebagai terbelahnya masyarakat oleh ideologi kiri dan kanan tersebut.

Ia menjelaskan bahwa keterbelahan terjadi ketika sebagian besar masyarakat berada di kutub kanan atau kiri tersebut. Polarisasi terjadi jika yang kanan dan yang kiri membesar, sehingga tercipta ruang kosong di tengah.

“Normalnya justru yang banyak berada di tengah. Sementara yang ekstrem (kiri dan kanan) normalnya adalah sedikit. Yang besar seharusnya yang moderat atau yang ada di tengah. Ini disebut depolarisasi atau polarisasi tidak terjadi,” ungkap Saiful.

Sementara, sambung Saiful, kurva polarisasi lebih menyerupai lonceng terbalik. “Yang berideologi kanan dan kiri lebih besar dari warga yang moderat,“ ucap Saiful.

Polarisasi, menurut Saiful, adalah melemahnya kekuatan moderat dalam masyarakat ketika melihat dua kutub kiri dan kanan dalam konteks Amerika Serikat. Di Indonesia, lanjut Saiful, mungkin tidak relevan bicara kiri dan kanan karena semua atau sebagian besar warga kemungkinan memiliki ideologi kiri karena semua mungkin menginginkan proteksi negara atau menginginkan keterlibatan negara dalam urusan kesejahteraan masyarakat.

Perbedaan ideologi yang memiliki tradisi panjang di Indonesia, kata Saiful, adalah politik Islam dengan politik nasionalis. Studi ini fokus pada salah satu dimensi polarisasi, yakni Islam versus nasionalis atau Islam versus Pancasila.

“Dalam pelbagai studi mengenai polarisasi di pelbagai belahan dunia, biasanya bersandar pada hasil riset opini publik. Apakah betul di Indonesia sudah terjadi polarisasi dan dalam pemilihan presiden 2024 akan kembali terjadi?,” ujar Saiful.

Pertama yang dilihat adalah posisi ideologis masyarakat. Dalam studi ini, publik diminta untuk memberi skor antara 0 sampai 10 pada dirinya sendiri. Skor 10 artinya menginginkan agar Islam berperan besar dalam kehidupan politik. Sementara 0 berarti menginginkan agar negara diatur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Rata-rata skor yang diperoleh dari studi ini adalah 4,61. Angka ini menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan lebih pro pada Pancasila.

“Untuk urusan ngatur negara, kecenderungan skornya di bawah 5, lebih cenderung pada Pancasila dan UUD 1945, bukan pada politik Islam,” terang Saiful.

Saiful juga menggarisbawahi bahwa ada angka yang cukup menonjol, beda dengan yang lain, yakni pada skor 5. Ada 28,5 persen yang menyatakan bahwa posisi ideologisnya ada di angka lima atau tengah.

Gambaran ini, ungkap Saiful, menunjukkan masyarakat Indonesia tidak terpolarisasi atau tidak terbelah. Yang banyak adalah yang moderat. Yang sangat menginginkan Pancasila hanya sekitar 20 persen, demikian pula yang sangat menginginkan Islam. Sisanya berada di tengah, dan mereka secara jumlah adalah yang paling besar.  “Ini mencerminkan kurva normal. Dan itu artinya tidak terjadi polarisasi dalam ideologi,” tuturnya.

Saiful menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tidak terbelah, tidak ekstrim Islam dan ekstrim Pancasila. Di antara titik ekstrim Pancasila dan Islam, ada ruang kelabu di tengah yang mempertemukan dua kecenderungan tersebut. Di sanalah masyarakat Indonesia berada dan menjalani hidup sehari-hari.

“Tanpa intervensi apa-apa, masyarakat kita moderat secara ideologis, walaupun moderatnya lebih cenderung pada Pancasila,” lanjut Saiful.

Saiful menambahkan bahwa secara alamiah, sikap moderat adalah gejala umum masyarakat. Sementara yang ekstrim secara alamiah kecil.

Namun demikian, keadaan normal di mana tidak terjadi polarisasi bisa rusak menjadi terpolarisasi kalau ada intervensi. Salah satu bentuk intervensinya adalah persaingan politik. Studi ini lebih fokus melihat persaingan dalam pemilihan presiden. Apakah Pilpres menciptakan polarisasi, di mana yang sangat pro Islam besar dan sangat pro Pancasila juga besar, sehingga yang di tengah sedikit atau kosong.

Studi ini mengungkap bahwa jika pemilihan presiden terjadi antara Anies Baswedan melawan Ganjar Pranowo, apakah masyarakat kita akan terbelah, di mana pemilih Ganjar hanya dari kelompok yang pro Pancasila dan pemilih Anies hanya dari kelompok yang pro Islam? Survei ini menunjukkan tidak demikian. Pemilih Anies dan Ganjar, dalam soal ideologi, tidak berbeda.

“Tidak terjadi polarisasi ideologis antara pemilih Anies dan pemilih Ganjar,” ucap Saiful.

Hal yang sama terjadi jika pemilihan presiden mempertemukan Anies melawan Prabowo Subianto atau Ganjar melawan Prabowo. Dalam kasus ini juga tidak terjadi polarisasi. Pemilih kedua calon tidak berbeda secara ideologis.

Saiful menekankan bahwa data ini menunjukkan bahwa sejauh ini, polarisasi hanya kekhawatiran kelompok tertentu saja.

Ia memberi catatan bahwa polarisasi biasanya muncul dalam bentuk persaingan di antara elite politik. Namun yang dikhawatirkan bukan persaingan di antara elite tersebut karena memang mereka biasa adu argumen.

“Yang dikhawatirkan adalah apabila perbedaan di antara elite tersebut berpengaruh pada massa yang sangat luas. Yang dikhawatirkan adalah terbelahnya elite membuat masyarakat luas juga terbelah,” jelas Saiful.

Data empiris menunjukkan pembelahan tersebut tidak terjadi. Perbedaan posisi partai atau kekuatan politik tidak membuat masyarakat menjadi terbelah sebagai anak bangsa. Ini, menurut Saiful, adalah kondisi masyarakat yang sehat dan normal.

“Polarisasi di tingkat elite tidak terjadi di tingkat massa. Pemilih Anies, pemilih Ganjar, dan pemilih Prabowo tidak terpolarisasi. Mereka memilih Prabowo, Ganjar, dan Anies bukan karena alasan ideologi, tapi faktor lain,” kata Saiful menyimpulkan.

Lebih jauh dia menambahkan bahwa temuan ini relatif baru karena belum dilakukan dalam pelbagai studi atau literatur politik Indonesia sebelumnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button