Karyawan BUMN PT Timah Tbk, Ali Samsuri menceritakan awal pertemuannya dengan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moies selaku perwakilan PT Refined Bangka.
Pertemuan itu, difasilitasi oleh Direktur Tindak Pidana (Dirtipid) Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Mukti Juharsa yang kala itu masih menjabat sebagai Dirreskrimsus Polda Bangka Belitung (Babel) dan Kasatreskrim Polres Belitung Timur.
Ali menceritakan pertemuan itu, saat dihadirkan dalam sidang kasus dugaan korupsi izin pengelolaan timah ilegal di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2024).
Awalnya, kata Ali, ia dihubungi oleh Kasatreskrim Polres Belitung Timur pada Agustus 2018. Akan, tetapi ia mengaku tidak mengingat nama Kasatreskrim tersebut.
Di dalam komunikasi itu, Ali diajak makan siang oleh Mukti melalui Kasatreskrim di sebuah restoran yang berlokasi disekitaran Tanjung Tinggi, Babel. Di sanalah, dirinya pertama melihat Harvey dan Mukthi.
“Waktu saya datang, saya disambut oleh Kasatreskrim di depan. Pas saat ke dalam ketemu dengan Pak Dirkrimsus (Mukti) dan ada beberapa teman yang lain. Yang saya ingat waktu itu karena memang yang paling tampan Harvey,” kata Ali di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta
“Yang paling tampan? Yang lainnya nggak tampan?” tanya Hakim Eko Aryanto.
“Yang lainnya sudah agak sepuh-sepuh, yang mulia,” sahut Ali
“Berarti bukan paling tampan dong, paling muda?” lanjut Hakim Eko.
“Siap, yang mulia” balas Ali.
“Karena Saudara membandingkan dengan yang lainnya sepuh-sepuh?” ucap Hakim Eko.
“Siap, yang mulia,” timpal Ali
“Berarti terdakwa muda dan kebetulan tampan? Menurut Saudara, tampan tidak?” lanjut hakim.
“Yang pasti tampan,” jawab Ali.
Kemudian, Ali mengungkapkan isi percakapan di meja makan tersebut,
Mukthi memintanya untuk membantu persoalan Timah dengan pihak PT Refined Bangka Tin yang salah satunya diwakilkan oleh Harvey.
“Jadi beliau persilakan saya makan, abis itu ‘Pak Ali, ini kawan kawan kita semua, mungkin akan bekerja sama masalah pertimahan, minta tolong dibantu’ bahasa Pak Dirkrimsus (Mukti) saat itu,” tutur Ali.
Sebelumnya, saksi Mantan General Manager PT Timah Tbk Ahmad Samhadi sebagai saksi terdakwa Harvey Moies. Ia mengatakan, Mukti yang kala itu masih menjabat sebagai mantan Dirreskrimsus Polda Babel membuat sebuah grup WhatsApp bernama ‘New Smelter’.
“Adminnya setahu saya, Kombes Mukti, Polda Kepulauan Bangka Belitung,” ujar Ahmad di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Ahmad menjelaskan, grup tersebut dibuat untuk memantau produksi tambang bijih timah yang melalui perusahaan boneka atau cangkang, PT Timah membeli dan/atau mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
“Jadi yang paling cepat yang mulia, yang untuk meningkatkan produksi adalah program SPH, sisa hasil tambang,” ucap Ahmad.
Setidaknya, kata Ahmad, dalam group tersebut terdiri dari 25 sampai 30 orang yang terdiri dari 20 hingga 22 smelter serta dua orang dari kepolisian.
Dalam kasus dugaan korupsi timah, Harvey bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim diduga menerima Rp420 miliar. Akibat perbuatan korupsi tersebut dan TPPU, Harvey didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Jaksa menjelaskan, menjelaskan bahwa perbuatan korupsi Harvey pada awalnya dengan mengadakan pertemuan bersama Direktur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi dan Direktur Operasi PT Timah Alwin Albar serta 27 pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan Mochtar dan Alwin atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor berbagai smelter swasta tersebut.
Permintaan tersebut karena bijih timah yang diekspor oleh para smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.
Adapun pertemuan dilakukan Harvey sepengetahuan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin Reza Andriansyah.
Harvey lantas meminta empat smelter swasta, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey sebesar 500 dolar Amerika Serikat (AS) sampai 750 dolar AS per ton.
Biaya itu, kata JPU, seolah-olah dicatat sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) yang dikelola oleh Harvey atas nama PT Refined Bangka Tin.
Selain itu, Harvey juga didakwa menginisiasi kerja sama sewa alat processing untuk penglogaman timah smelter swasta yang tidak memiliki orang yang kompeten atau competent person (CP), antara lain, keempat smelter swasta dengan PT Timah.
Harvey bersama keempat smelter swasta tersebut pun melakukan negosiasi dengan PT Timah terkait dengan sewa-menyewa smelter swasta hingga menyepakati harga sewa smelter tanpa didahului studi kelayakan (feasibility study) atau kajian yang mendalam.
Selanjutnya JPU menyebutkan Harvey dan keempat smelter swasta menyepakati dengan PT Timah untuk menerbitkan surat perintah kerja (SPK) di wilayah IUP PT Timah dengan tujuan melegalkan pembelian biji timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah.
Setelah itu, Harvey dan keempat smelter swasta melakukan kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah dengan PT Timah yang tidak tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Timah maupun RKAB lima smelter beserta perusahaan afiliasinya, dengan cara melakukan pembelian bijih timah yang berasal dari penambang ilegal dalam wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ia terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.