Masihkah “Orang Miskin Dilarang Sakit!”, seperti bunyi stiker yang gampang ditemukan di tempat-tempat umum sekitar lima tahun lalu? Ada kemajuan, tapi korupsi pun masih banyak dan meruyak.
“Desember Kelabu” tak hanya pernah dialami Maharani Kahar, pelantun asli lagu lawas itu. Di bulan ke-12 pada 10 tahun lalu, batin Nurahma sesak dan pedih, saat rumah sakit pemerintah di kawasan Koja, Jakarta Utara, menolak merawat bayi merahnya yang terlahir bermasalah, dua hari sebelumnya. “Tak punya Rp 3 juta untuk biaya”, begitu rata-rata pesan kusam yang muncul di halaman utama koran-koran, yang terbit dalam format cetak saat itu.
Namun jangan mengira hal seperti itu lenyap dengan bergulirnya waktu dan datangnya Pemilu yang senantiasa penuh janji-janji manis itu. April 2022 lalu, Wahyudi harus balik menggotong anaknya yang sakit, Muhammad Farid Atallah, bocah delapan tahun yang hanya bisa merangkak karena kelainan kaki, pulang ke rumah. Wahyudi yang menunggak pembayaran rutin BPJS sebesar Rp 9 juta, harus melunasi dulu tunggakan kalau mau anaknya dilayani dan dirawat sebuah rumah sakit di daerah Kendal, Jawa Tengah.
Bersama Nurahma dan Wahyudi, berderet nama-nama lain yang bisa bersaksi betapa kumalnya nasib orang-orang miskin bila diri atau keluarga mereka sakit. Tanyakan itu pada Kurnaesih, ibu hamil yang akhirnya meninggal setelah RSUD Ciereng, Subang, Jawa Barat, menolak menerimanya yang saat itu kejang-kejang. Tanyakan itu kepada bocah balita Rafadan, yang juga hanya bisa meregang nyawa setelah orang tua yang membawanya dipingpong ke sana ke mari, dari satu ke lain rumah sakit. Atau pada Guntur Siahaan, pasien miskin di Jambi yang mati setelah ditolak berobat di RSUD Raden Mattaher, Jambi. Buka mata, jangan berpikir di kota Anda tak ada, hanya karena mereka tidak viral di media.
Namun bukan hanya urusan pelayanan kepada pasien miskin yang menjadi sengkarut utama di dunia kesehatan kita di Indonesia. Banyak masalah masih menjadi urusan krusial, yang sangat terasa di keseharian.
![Ilustrasi fasilitas kesehatan di rumah sakit.](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/Ilustrasi_fasilitas_kesehatan_di_rumah_sakit_Foto_RSUI_15a9c07e05.jpg)
Misalnya, sudah jadi rahasia umum bila kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia masih sangat jauh dari merata. Tidak hanya kekurangan dokter akibat banyaknya lulusan baru Fakultas Kedokteran yang ogah menjalani tugas mulia di tempat terpencil, fasilitas alat kesehatan pun memang mengumpul di Pulau Jawa dan Bali.
Menurut Kemenkes dalam laporan bertajuk Profil Kesehatan 2021, masih sekitar 60 persen Puskesmas di Indonesia belum memenuhi standar pelayanan minimal. Menurut Kemenkes, rasio Puskesmas secara nasional sudah terpenuhi. Namun, distribusi puskesmas di seluruh kecamatan tetap perlu diperhatikan. Persebaran Puskesmas pun masih jomplang. Papua Barat, misalnya, tercatat memiliki rasio Puskesmas per kecamatan terendah nasional, hanya 0,29. Artinya, belum semua kecamatan di provinsi tersebut memiliki Puskesmas.
Masalah lainnya, meski kesehatan adalah urusan pelayanan kemanusiaan dan nyawa, tak sedikit “Dajjal” yang tega melahap dana kesehatan public itu untuk kepentingan diri sendiri. Situs resmi Kementerian Kesehatan menyebutkan, sejak 2020, bujet kesehatan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus mengalami peningkatan. Pada 2020 anggaran itu tercatat Rp 119,9 triliun. Naik menjadi Rp 124,4 triliun pada 2021, dan meningkat pada 2022 menjadi Rp 134,8 triliun. Pada APBN 2023, angkanya mencapai Rp 172,5 triliun. Terakhir, tahun ini pemerintah dan DPR menyepakati angka Rp 186,4 triliun atau 5,6 persen dari total APBN.
Jangan salah, angka itu belum termasuk alokasi anggaran di daerah, karena sejak 2023, untuk penguatan sistem kesehatan di daerah, Kemenkes dan Kementerian Dalam Negeri mewajibkan 514 kabupaten/kota di 34 provinsi menegaskan keharusan alokasi anggaran kesehatan sebesar 10 persen APBD.
Namun, menurut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, semua anggaran itu rawan diembat maling. “Besarnya anggaran kesehatan … di masing-masing pemerintah daerah, memiliki kerawanan korupsi jika tidak dikelola dengan baik,” kata Nawawi. Dan ia benar. Nawawi menyebutkan, kasus-kasus korupsi sektor kesehatan dalam beberapa tahun terakhir telah merugikan negara hingga Rp 821,21 miliar, melibatkan 176 pelaku.
Para maling jenis “Dajjal” ini memang tak pernah alang kepalang. Bahkan manakala negara genting menghadapi pandemi COVID-19 dengan ribuan orang mati bertumbangan pun, permalingan tetap saja berjalan. Menurut KPK, korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) selama Pandemi membuat negara kehilangan Rp 625 miliar. “Kerugian sementara, dari perhitungan dalam proses penyelidikan, sekitar Rp 625 miliar lebih,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Januari lalu.
Di saat pelayanan kesehatan masih dirasa mahal buat kalangan miskin itu, harga obat di Indonesia pun tergolong paling mahal di dunia. Bahkan jauh di atas rata-rata negara dunia ketiga lainnya, seperti India dan Malaysia. Pengalaman Prof Tjandra Yoga Aditama, direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan mantan direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, harga obat di India dan Malaysia jauh lebih murah. “Rakyat kita ini terbebani secara berlebihan,” katanya kepada Inilah.com.
![Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Tjandra Yoga Aditama](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/08/1/0530_122100_2cc8_inilah_com_e7fe18fb13.jpg)
Prof Tjandra mencontohkan beberapa obat, kebanyakan yang biasa ia beli untuk konsumsi pribadi. Ia menunjuk, harga satu tablet Atorvastatin 20 mg di apotik-apotik Jakarta adalah Rp. 6.160. “Harga di India hanya 4,9 rupees, atau Rp 1000,” kata Prof Tjandra. Satu tablet Clopidogrel 75 mg di Jakarta Rp 7.835, sementara di India hanya 7,7 rupees, atau sekitar Rp 1.540; harga satu tablet Telmisartan 40mg, di Jakarta Rp 5.198, sementara di India hanya 7,4 rupees atau Rp 1.500 saja. “Obat hipertensi istri saya, Concord 2,5 mg, harga di Jakarta Rp 10.711, sementara di India hanya 7,8 rupees atau Rp 1.560. “Jadi, rata-rata harga obat di Jakarta lima-enam kali lebih tinggi dari harga di New Delhi.”
Namun ada pula persoalan kesehatan yang seolah masih jadi anak tiri untuk dibenahi: soal kesehatan jiwa rakyat Indonesia. Urusan ini tak hanya digayuti persoalan kurangnya fasilitas, tenaga medis namun juga seolah tak ditoleh sama sekali. Padahal, tengoklah kanan-kiri, dan kita akan menemukan betapa banyaknya para Orang Dengan Gejala Jiwa (ODGJ) dibiarkan wara-wiri di keseharian kita, dibiarkan laiknya “hantu gentayangan”.
Hal yang tentu ironis, mengingat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sudah disahkan sejak dekade lalu. Namun seolah tak ada yang peduli, terlihat dari tidak adanya aturan hukum lanjutan atas undang-undang tersebut.
Padahal, kata Ketua Dewan Badan Kesehatan Jiwa, Nova Riyanti Yusuf, jauh di tahun 2018, UU Kesehatan Jiwa memungkinkan keluarnya turunan aturan dan petunjuk teknis, Itu yang diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Belum lagi masalah jumlah dokter jiwa yang masih terbilang sedikit. Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini tercatat baru ada 987 dokter jiwa di Indonesia. Artinya, seorang dokter jiwa harus menangani lebih dari 250 ribu penduduk. Padahal, standar WHO hanya mengizinkan seorang dokter melayani 30 ribu penduduk.
“Masalah-masalah seperti itu akan menimbulkan efek domino di dunia kesehatan jiwa di Indonesia,”ujar pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, Bagus Utomo, pada 2018 lalu. Wajar bila sulitnya mencari dokter jiwa, langkanya RS Jiwa dan sekian banyak hal itu membuat data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat ada 14 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki anggota keluarga yang dipasung.
Borok kita di sisi kesehatan juga meliputi urusan stunting serta kesehatan ibu dan anak. Global Nutrition Report 2018 mencatat prevalensi stunting Indonesia berada pada urutan 108 dari 132 negara, alias bukan main jebloknya. Di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia tertinggi kedua setelah Kamboja. Data SSGBI 2019 menunjukkan angka stunting Indonesia mencapai 27,7 persen dan balita underweight mencapai 16,3 persen. UNICEF bahkan memperkirakan ada sekitar 31,8 persen anak di Indonesia mengalami stunting pada 2021. Artinya hampir sepertiga anak di Indonesia mengalami masalah dalam pertumbuhan mereka.
Coreng Citra karena COVID
Di tengah masih aktualnya masalah-masalah kesehatan di atas, citra Indonesia di bidang kesehatan pun sempat boyak. Di awal merebaknya Pandemi COVID-19, Indonesia gagal mengurangi jumlah kasus COVID-19, sembilan bulan setelah mengumumkan kasus pertama pada Maret 2020. Hal itu bagi dunia mencerminkan respons yang lambat dan buruk terhadap penyebaran pandemi.
Lambannya penanganan virus tersebut sempat berdampak pada reputasi global Indonesia. Pada artikel “Penanganan COVID-19 yang Buruk Melukai Citra Indonesia di Pentas Global”, 4 Desember 2020 The Conversation menulis bahwa per 3 Desember, Indonesia telah mencatat hampir 550 ribu kasus dan merenggut nyawa lebih dari 17 ribu. Keduanya saat itu menjadi angka tertinggi di Asia Tenggara.
Segera, media luar dan lembaga-lembaga internasional menyatakan buruknya pengelolaan COVID-19 di Indonesia. Memang, sejak Maret tahun itu Presiden Jokowi mengeluarkan banyak kebijakan dalam menanggapi pandemi, seperti memberlakukan Pembatasan Skala Berskala Besar (PSBB), menganjurkan jaga jarak, dan mengalokasikan anggaran khusus. Namun, karena tampak lebih fokus pada stabilitas ekonomi daripada kesehatan masyarakat, kebijakan pemerintah itu justru meresahkan banyak pihak karena terbukti gagal menahan penyebaran COVID-19.
![Kenneth Roth, direktur eksekutif Human Right Watch (HRW) di masa pandemi COVID-19](https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/kenneth_roth_direktur_eksekutif_human_right_watch_di_masa_pendemi_COVID_19_4ecaf16f61.jpg)
Human Right Watch mengatakan pemerintah Indonesia gagal menyediakan akses informasi yang transparan untuk memerangi wabah COVID-19. Alih-alih memberikan data pasti berapa kasus yang ditangani, pihak berwenang justru senang menggunakan pasal-pasal pidana pencemaran nama baik yang usang dan disalahgunakan untuk membungkam kritik publik atas lambannya tanggapan pemerintah terhadap pandemi.
Laporan oleh Carnegie Endowment for International Peace, sebuah organisasi luar negeri non-partisan, menunjukkan prioritas pemerintah Indonesia yang salah tempat dan ketidakpercayaan mereka pada data, telah mengakibatkan kegagalan dalam menahan penyebaran virus corona saat itu. Sementara survei yang dirilis Lowy Institute yang berbasis di Sydney, Australia, menemukan bahwa pengaruh diplomatik Indonesia turun 5,2 persen karena penanganan COVID-19 yang buruk. Lowy Institute telah juga mengkritik cara Jokowi menangani COVID-19. Mereka menemukan 95 persen masyarakat di Australia meragukan kemampuannya menangani isu global seperti pandemi, padahal mereka menganggap Indonesia sangat penting bagi Australia.
Bahkan dampak ekonomi pun terjadi. Saat itu, sedikitnya 59 negara, termasuk Amerika Serikat, telah melarang warga negara Indonesia memasuki wilayahnya. Larangan itu diperkirakan merugikan ekspor Amerika Serikat ke Indonesia sebesar Rp 262 triliun karena para pebisnis dilarang bepergian untuk mencari peluang bisnis baru, sementara rapat online seringkali kurang efektif.
Tak hanya itu, ‘ancooor-nya’ penanganan pandemi COVID-19 saat itu juga membuat investor asing hengkang dari pasar modal Indonesia. Pertumbuhan jumlah kasus yang terus-terusan dan penanganan COVID-19 yang buruk adalah alasan utama mereka keluar dari Indonesia. Pernah pada satyu pekan—akhir November ke Desember 2020, para investor asing mencatat nilai jual bersih saham Rp 45,69 miliar. Sepanjang 2020, mereka telah melakukan penjualan bersih saham Rp 47,5 triliun.
China, investor terbesar kedua di Indonesia, juga melarang ekspor hasil-hasil perikanan Indonesia setelah menemukan beberapa kemasan produk Indonesia mengandung coronavirus. Pada 1 September 2020, pemerintah Malaysia melarang pekerja Indonesia memasuki Malaysia, menyusul pemerintah Jepang dan Taiwan yang memberlakukan larangan serupa sebelumnya. Sementara pengiriman uang (remitansi) yang dikirim para pekerja migran Indonesia di Malaysia, Jepang da Taiwan itu tercatat yang terbesar. Remitansi itu pada triwulan kedua 2020 turun menjadi 2,2 miliar dolar AS, sekitar Rp 31 triliun, dari triwulan pertama senilai 2,6 miliar dolar AS.
Bukan tak ada kritik, tentu. Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, saat itu mengatakan, ide Jokowi untuk menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan masyarakat tidak dieksekusi dengan baik oleh para menterinya. “Di republik ini menteri ekonominya keren-keren, tapi (menteri) kesehatannya lemah banget. Kemenkes dipimpin orang yang selama ini tak bisa memimpin, tak punya action plan apa yang harus dilakukan,”kata Pandu, Oktober 2020.
Sejumput Keberhasilan
Namun tak bisa juga kita mengatakan bahwa dua kali kepemimpinan Jokowi ini sama sekali tak membawa kemajuan di bidang kesehatan. Pada sisi pelayanan kesehatan, pemerintahan Jokowi cukup memiliki peduli, dan terbukti membawa banyak kemajuan.
Salah satu upaya signifikan adalah peluncuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dihela Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pada awal kepemimpinan Jokowi, 2014. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya peningkatan jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan sejak implementasi JKN itu. Pada 2014 tercatat ada sekitar 87,8 juta kunjungan ke Puskesmas dan rumah sakit. Sementara pada 2019 jumlah itu meningkat menjadi 162,7 juta kunjungan. “Ini menunjukkan bahwa program JKN berhasil meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat,”kata situs Kementerian Kesehatan.
Dengan adanya JKN, situs itu menulis, masyarakat miskin memiliki akses ke layanan kesehatan tanpa harus khawatir tentang biaya perawatan. Mengutip data BPJS Kesehatan, situs itu mengatakan, sekitar 96,8 juta orang Indonesia yang tergolong miskin atau rentan miskin, mulai 2019 sudah terdaftar dalam program JKN. “Ini mencakup sekitar 36 persen dari total populasi Indonesia,”tulis situs Kemenkes tersebut.
Ketersediaan rumah sakit dan fasilitas medis juga disebut-sebut mengalami peningkatan dalam dua dekade terakhir. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah rumah sakit di Indonesia meningkat dari 1.574 pada 2000, menjadi 2.925 pada 2020. Jumlah tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk juga meningkat, dari 0,8 pada 2000 menjadi 1,2 pada 2020.
![Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin.](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/Whats_App_Image_2024_07_12_at_16_32_28_961c104cef.jpeg)
Bukan hanya itu, Jokowi juga layak diacungi jempol seiring inisiatifnya meningkatkan anggaran kesehatan. Pada 2015, anggaran kesehatan Indonesia baru sebesar 3,8 persen dari total APBN. “Sementara pada tahun 2020 anggaran kesehatan meningkat menjadi 5 persen dari total anggaran negara. Peningkatan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan sektor Kesehatan,” tulis situs Kemenkes.
Persoalannya memang pada distribusi dan persebaran. Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 30 persen populasi Indonesia masih tinggal di daerah yang sulit dijangkau layanan kesehatan.
Yang masih harus ditangani dengan sungguh-sungguh, selain disparitas yang urgent itu, juga mengusir sejauh-jauhnya penyakit lama: terlambatnya dana BPJS Kesehatan mengalir ke lembaga-lembaga pelayanan Masyarakat, semisal Puskesmas, klinik dan rumah sakit. Hal itu yang sering kali menyebabkan tertundanya pembayar-an kepada rumah sakit, yang berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan.
Setelah itu, kita layak untuk mempertimbangkan serus pernyataan Adib Khumaidi, ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang sempat menyatakan bahwa pemetaan kesehatan yang melibatkan semua pemerintah daerah, telah mendesak. Berbicara pada acara “Update Kondisi Dokter dan Strategi Upaya Mitigasi Risiko Mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan”, pertengahan 2021 lalu, dr Adib menyoroti kejadian di pelbagai daerah terkait fasilitas kesehatan yang semakin sulit diakses masyarakat.
“Parameternya sudah jelas, jika ada penumpukan pasien di UGD sampai membuka tenda di rumah sakit, kondisi itu menunjukkan keterbatasan fasilitas tempat tidur,”ujar Adib. “Belum lagi ada problem kekurangan oksigen, masalah kebutuhan obat dan alat kesehatan.”
Masalah itu, kata Adib, tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah jumlah tenaga medis dari luar negeri. Namun salah bila orang mengira ia seorang xenophobia (anti asing). Ia bahkan mengaku telah menyampaikan pemetaan, kolaborasi internasional dan penggunaan teknologi untuk memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia itu sebagai hal yang sangat penting. “Saya telah sampaikan di berbagai kesempatan, termasuk dalam acara WHO World Health Assembly dan pertemuan para menteri kesehatan di Jenewa, Swiss,” kata dia.
[dsy/vonita/clara/reyhaanah/harris]