Memasuki 2025, semakin banyak pabrik yang merupakan investasi asing minggat dari Indonesia. Mereka memindahkan bisnisnya ke negeri asal atau negara lain. Misalnya PT Sanken Indonesia dan PT Yamaha Music Indonesia memilih pulang kampung ke Jepang dan relokasi ke China. Alhasil, jumlah PHK menebal pada tahun ini.
Guru Besar Universitas Paramadina, Ahmad Badawi Saluy melihat, sejumlah industri asing yang sebelumnya memiliki pabrik di Indonesia, memilih pindah ke negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, China hingga India.
“Ini pertanda negara kita tidak baik-baik saja. Kalau Indonesia baik-baik saja, mereka tidak akan hengkang. Kalau mereka cuan, pasti etah. Sederhana saja mereka,” kata Badawi dalam Diskusi Indef, Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Badawi mengatakan, minggatnya sejumlah investasi dari Indonesia itu, tak lepas dari kondisi dan situasi bisnis di dalam negeri. Di mana, investor melihat Indonesia sudah tidak prospektif lagi.
“Investasi itu kan bukan uang pribadi, bisa dari lembaga keuangan yang punya risiko artinya kembalikan tepat waktu dan mengitung suku bunga. Kalau birokrasi kita sangat tidak menguntungkan bagi mereka, pajak dan sebagainya ada perlakuan diskriminatif itu juga sangat menjadi bahan pertimbangan mereka,” terang Badawi.
Tak hanya itu, dia juga menilai kebijakan terkait ketenagakerjaan yang membuat investor maju mundur. Sebab, belanja tenaga kerja juga menjadi pertimbangan besar sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia.
Badawi menuturkan bahwa pemerintah harus memiliki perhatian besar terhadap investasi-investasi yang datang dari asing maupun dari dalam negeri, utamanya terkait dengan jaminan keamanan dan kenyamanan dalam berusaha.
“Misalkan Vietnam, di sana itu pemerintahnya kan lebih memberikan rasa nyaman, perlindungan kepada investasi asing, kemudian aturan main tentang perburuhan kemudian birokrasi yang humanis yang bisa diterima dan membuat mereka nyaman di situ,” terangnya.
Hengkangnya investasi industri asing dari Indonesia, lanjutnya, dapat memengaruhi penyerapan tenaga kerja manufaktur. Apalagi, dalam catatannya, serapan tenaga kerja industri pengolahan stagnan di kisaran 13,83 persen pada 2024 dari total penduduk bekerja 144,64 juta orang.
Di sisi lain, Badawi juga menyoroti perkembangan industri dalam negeri yang butuh perubahan, khususnya terkait pemanfaatan teknologi industri di Indonesia yang masih rendah di kisaran 4,5 persen. Beda jauh dengan Vietnam yang penggunaan teknologi tingginya mencapai 41 persen, Malaysia 43,2 persen dan Thailand 25 persen.