News

Saudi yang Kini Menghijau, Indonesia yang Kian Gundul

Dengan limpahan rejeki minyak, sejak dua dekade lalu upaya reboisasi pun digalakkan.  Pada 2010, Perdana Menteri dan penguasa Dubai, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, meluncurkan inisiatif penanaman “Satu Juta Pohon”.  Namun, menurut Hamza Nazzal, perwakilan Green Land, perusahaan yang mengembangkan proyek dalam kemitraan dengan Yayasan Lingkungan Internasional Zayed yang didukung pemerintah, “Seratus persen pohon telah mati dan inisiatif tersebut gagal total.”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Usai melipat sajadah setelah menyelesaikan shalat syuruq-nya, Muchlis Hasyim terperanjat manakala pandangannya bertumbukan dengan lanskap dataran tinggi yang mengelilingi Mekkah di Senin pagi, 9 Januari itu. Saat ia datang ke Masjidil Haram di dini hari, kegelapan masih menyaput kota, menyembunyikan fakta. Kini, matahari yang berangsur terang menyingkap semuanya, membuat tak hanya Muchlis yang takjub terpesona, melainkan hampir semua jamaah Al-Haram. Buktinya, ucapan “Masya Allah!” bergema di sekeliling masjid tersuci umat Islam itu.

“Masya Allah! Kaki-kaki gunung sekeliling Mekkah terlihat hijau, dipenuhi rumput dan pepohonan,”kata jurnalis tersebut, mengungkap ulang apa yang ia rasakan pagi itu melalui pesan WA. “Di sebagian kawasan Mekkah-Jeddah-Madinah, tampak padang pasir berubah jadi padang rumput,” tulis Muchlis, beberapa waktu kemudian.

Siangnya, kabar itu mendunia melalui nyaris semua media, dari situs berita hingga media sosial pribadi. Dari laman media massa seperti Saudi Press Agency, Arab News, New Arab, Middle East Monitor, Anadolu Agency, hingga Twitter dan beragam media sosial lain, turut memberitakan hal tak biasa itu. Twitter resmi pengelola wilayah Mekkah, @mekkahregion, juga turut mengulas kejadian itu. Mengiringi mereka, sekian banyak situs berita Tanah Air ikut menulis. New Arab menulis, hujan lebat yang turun dalam beberapa pekan terakhir di wilayah Saudi menjadi salah satu sebab fenomena itu.

Jangankan jamaah umrah, Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Jeddah, Rivai Abbas, juga tidak menutup rasa keterkesiapannya. “Cuaca Arab Saudi, Mekkah, Jeddah, dan Madinah, tiga-empat bulan terakhir ini anomali, sering hujan. Malahan, November lalu di Jeddah terjadi banjir besar,”kata Rivai. Banjir bahkan merendam dua mobil GMC, kendaraan operasional ITPC yang di Indonesia terbilang sulit dijumpai. “Alhamdulillah, satu  bisa diperbaiki, tapi yang satu lagi belum bisa jalan karena terendam air berhari-hari,”kata dia.

Karena tidak biasanya, tidak sedikit warga Saudi sendiri yang mengaitkan fenomena tersebut dengan hadits Nabi SAW tentang turunnya kiamat. Misalnya akun @muhammad10saqib, yang mengaitkan hal tersebut sebagai pertanda akhir zaman. “It is one of the signs of qayammat that makkah and medina will becom green again,” tulis akun tersebut. “Ini salah satu tanda kiamat, bahwa Mekkah dan Madinah akan kembali menghijau.”

Memang, melalui persaksian Abu Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda,”Kiamat tidak akan terjadi hingga wilayah Arab kembali menjadi tanah yang subur,  banyak padang hijau dan sungai-sungai.”  Nubuat yang seiring menghijaunya Saudi menjadi pertanda menakutkan, bukan?

Namun, dalam pandangan rasional, fenomena tersebut memang tidak terlepas dari ketakutan. Terutama tampaknya ketakutan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS). Sang Pangeran rupanya jeli mengamati negara tetangga, Uni Emirat Arab (UEA). Meski pada 2000 lalu, dalam perjalanan meliput Kartini, TKI yang diancam hukuman pancung di UEA, penulis sempat terpana oleh hijaunya Abu Dhabi dan Al-Ain di bawah kepemimpinan Presiden Syekh Zayed bin Sultan Al Nahyan, ternyata persoalan penggurunan (desertifikasi) tetap merupakan masalah terbesar di negara itu.

Dalam 20 tahun terakhir, hilangnya tanah berharga di UEA sangatlah mencolok. Dalam data Bank Dunia, UEA memiliki 75.000 hektare tanah subur pada 2002, tetapi pada 2018 negara itu tinggal memiliki 42.300 hektare saja. Data juga menunjukkan, dalam jangka waktu yang sama, persentase lahan pertanian di UEA turun dari 7,97 persen menjadi hanya 5,38 persen. Karena itulah, pada 2008 World Wide Fund for Nature (WWF) menempatkan UEA sebagai negara dengan jejak ekologis terburuk per orang.

Tentu saja pemerintah Emirat tidak tinggal diam. Dengan limpahan rejeki minyak, sejak dua dekade lalu upaya reboisasi pun digalakkan.  Pada 2010, Perdana Menteri dan penguasa Dubai, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, meluncurkan inisiatif penanaman “Satu Juta Pohon”, untuk meningkatkan area hijau di kota dan menghentikan penggurunan. Program itu bertujuan menjaga lingkungan yang berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang, serta membangun ekonomi negara yang berwawasan lingkungan.

Namun, menurut Hamza Nazzal, perwakilan Green Land, perusahaan yang mengembangkan proyek dalam kemitraan dengan Yayasan Lingkungan Internasional Zayed yang didukung pemerintah, “Seratus persen pohon telah mati dan inisiatif tersebut gagal total.” Nazzal mengatakan, akhirnya proyek itu “ditinggalkan”.

Christian Henderson, profesor studi Timur Tengah di Universitas Leiden, Belanda, kepada BBC mengatakan, “Secara ekologis, kegagalan proyek itu akibat dari fakta bahwa beberapa pohon tidak cocok dengan lingkungan UEA.” Pemilihan pohon, mungkin sembarangan tanpa mempertimbangkan kekuatannya menjalani iklim UEA yang kering.

Tetapi upaya reboisasi tak pernah sepenuhnya ditinggalkan. Apalagi kian lama dampak desertifikasi pun makin terasa. Satu laporan pemerintah yang diterbitkan pada 2019 menyatakan bahwa, “Akibat peningkatan populasi dan sistem konsumsi makanan, degradasi lahan dan penggurunan makin merajalela”.

Jadi, yang kini dilakukan UEA adalah menanam lebih banyak pohon. Namun tetap saja, menurut banyak ahli, hal tersebut bisa dikatakan upaya minimal. Tujuannya pun bukan untuk menaklukkan gurun, tetapi untuk memulihkan area lahan yang kini tidak produktif karena telah jadi gurun.

“Pohon mengikat tanah, menyerap karbon, meningkatkan kesuburan tanah dan juga meningkatkan infiltrasi dan pengisian air ke dalam tanah,” kata Anna Tengberg, profesor di Pusat Studi Keberlanjutan Universitas Lund, Swedia.

Berkaca dari tetangga yang sama-sama kaya itu, Arab Saudi bergegas menyiapkan pelindung dari desertifikasi. Pada Maret 2021, Pangeran MBS mengumumkan proyek Saudi Green Initiative (SGI), yang segera menjadi proyek penghijauan terbesar yang pernah ada di negara itu. Proyek itu menargetkan penanaman 450 juta pohon pada 2030, sebagai upaya melestarikan dan meningkatkan jumlah vegetasi di seluruh Saudi.

Hingga akhir 2021, sekitar 10 juta pohon telah ditanam di 13 wilayah kerajaan. Wilayah-wilayah yang diharapkan segera menghijau ini, bila sukses, akan menambah sekitar 2,7 juta hektare hutan yang saat ini pun masih tegak di dataran tinggi Abha dan Asir. Memang, secara alamiah Saudi sebenarnya rumah bagi berbagai jenis tanaman, termasuk lebih dari dua ribu spesies tumbuhan liar yang terbagi dalam 142 famili. Meski begitu, menurut Pusat Satwa Liar Nasional Saudi, sekitar 600 spesies tersebut kini terancam punah, bersiap menyusul sekitar 21 spesies yang telah punah lebih dulu.

Tahu berapa dana yang telah digelontorkan Saudi untuk itu? Untuk bagian kecil programnya saja, Public Investment Fund, bagian dari dana pemerintah Saudu, akan menggelontorkan lebih dari 10 miliar dollar AS pada proyek-proyek ramah lingkungan, termasuk energi terbarukan, transportasi bersih, dan pengelolaan air berkelanjutan, pada 2026. Itu belum termasuk proyek NEOM, megacity ramah lingkungan senilai 500 miliar dolar AS yang merupakan bagian tersendiri. Untuk proyek NEOM ini, Kerajaan Saudi menjanjikan 1,5 juta hektare lahan akan direhabilitasi, dan 100 juta pohon, semak, serta rerumputan asli akan ditanam hingga 2030. Secara regional, SGI berencana menanam 50 miliar pohon di seluruh Timur Tengah dan merestorasi area yang setara dengan 200 juta hektare lahan terdegradasi.

Oh ya, sebenarnya ada hubungan langsung urusan penghijauan Saudi ini dengan Indonesia. Dalam buku yang ditulis Roso Daras, “Total Bung Karno : Serpihan Sejarah yang Tercecer”, disebutkan bahwa pada saat melakukan ibadah haji tahun 1955, Soekarno merasakan bagaimana teriknya Arafah. Karena itu, saat bertemu Raja Fahd  bin Abdul Azis As-Saud, Bung Karno mengajukan inisiatif agar Saudi menanami Arafah dengan pepohonan. Tidak sekadar usul, Bung Karno bahkan mengirimkan sekian banyak bibit pohon Mimba (Azadirachtan indica) untuk ditanam. Pohon itu kini tumbuh subur di Arafah dan kota Jeddah, dengan nama Pohon Soekarno.

Persoalannya, sementara Saudi telah berada dalam kesadaran untuk menghijaukan negaranya, Indonesia kini justru terlena seolah akan senantiasa hijau selamanya. Penggundulan hutan kian merajalela, tak bisa disamai dengan ceteknya reboisasi. Bahkan program ambisius seperti Food Estate di Kalimantan Tengah pun, disinyalir Greenpeace semata hanya akan menjadi proyek penggundulan tiga juta hektare hutan, yang dilakukan secara resmi. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button