Seabad Ali Moertopo


Senantiasa ada yang bisa dikenang dari orang besar, salah satu sosok itu adalah Ali Moertopo (23 September 1924 – 15 Mei 1984). Meski sudah lama tiada, karya dan gagasan Ali Moertopo selalu aktual untuk dibicarakan. Ali Moertopo agak berbeda dengan tipikal perwira era Orde Baru pada umumnya, yang biasa bergaya flamboyan dan identik dengan golf. Ali Moertopo jauh dari citra seperti itu; Ali lebih berminat pada gagasan, dan itu didukung oleh “kegilaannya” dalam membaca buku.

Kemunculan partai politik seperti Golkar, PDI (belum memakai label Perjuangan), dan PPP bisa disebut sebagai bagian dari gagasan Ali Moertopo. Utamanya melalui Golkar (di masa Orde Baru tidak memakai sebutan partai), Ali Moertopo memperkenalkan konsep massa mengambang (floating mass) dalam politik. Dalam praktiknya di lapangan, konsep massa mengambang ini kemudian mendorong berdirinya organisasi tunggal bagi golongan atau profesi, tujuannya agar lebih mudah dimobilisasi, seperti wartawan (PWI), guru (PGRI), pemuda (KNPI), pegawai negeri (Korpri), petani (HKTI), buruh (SPSI), dan seterusnya.

Semua organisasi tersebut terafiliasi pada Golkar, sesuai gagasan Ali Moertopo. Golkar sepenuhnya adalah rekayasa rezim Soeharto, dengan dukungan militer dan birokrasi, agar bisa berkuasa secara terus menerus. Secara singkat, skenario yang disiapkan Ali Moertopo adalah, Golkar selalu menang dalam pemilu, sementara PDI dan PPP sekadar partai pendamping, agar memenuhi prosedur demokrasi.

Tandem Penguasa

Golkar adalah kendaraan politik Soeharto saat berkuasa dulu; itu sebabnya Golkar harus menang dalam setiap pemilu era Orde Baru. Bagaimana agar Golkar selalu menang, adalah salah satu proyek politik Ali Moertopo, agar Soeharto memiliki legitimasi dalam melanjutkan kekuasaan. Figur Ali yang demikian dekat dengan Soeharto kemudian menjadi genre tersendiri pada politik kekuasaan, bahwa seorang penguasa selalu memiliki tandem atau pendamping, dalam bahasa yang lebih umum biasa disebut “king maker.”

Posisi Ali Moertopo kira-kira mirip dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP, Akmil 1970) dalam rezim Jokowi sekarang. Begitu pentingnya posisi LBP dalam rezim Jokowi, sehingga LBP sempat mendapat julukan sebagai “presiden bayangan.” Dalam pemerintahan Jokowi periode pertama (2014-2019), secara gamblang bisa dilihat bagaimana kuatnya peran Luhut Panjaitan. Cukup sering Presiden Jokowi memberi jawaban “tunggu Pak Luhut” ketika ditemui awak media pada kasus-kasus yang pelik.

Keberadaan tandem penguasa, yang umumnya adalah figur perwira tinggi, memang warisan politik gaya Soeharto. Era Soeharto boleh saja berlalu, namun warisannya berupa peran para jenderal (termasuk purnawirawan) dalam politik seolah tidak mengenal kata akhir. Jokowi dan presiden-presiden sebelumnya kemudian melanjutkan model relasi dengan figur jenderal karismatik sebagai sandaran politiknya.

Pada diri Megawati misalnya, jauh hari sebelum menjadi presiden, memang sudah dikenal dekat Theo Sjafei (Akmil 1965) dan Hendro Priyono (Akmil 1967). Demikian pula dengan Gus Dur, yang sedianya dulu akan menjadikan Letjen TNI Agus Wirahadikusumah (Akmil 1973) sebagai pendampingnya, namun sayang tidak berlanjut, karena Gus Dur terlalu cepat lengser. Hanya SBY yang relatif tidak terlalu tergantung pada figur militer, bisa dipahami mengingat SBY sendiri berlatar belakang militer.

Dalam soal pertemanan ini, tampaknya Soeharto boleh dikatakan beruntung karena dia didampingi oleh teman dekat, selain kesetiaannya yang nyaris tanpa batas juga memiliki karakter. Benar, Ali Moertopo adalah teman setia Soeharto sejak masih di pasukan (Kodam Diponegoro) hingga Soeharto sudah berkuasa di Jakarta. Salah satu perilaku yang bisa dikenang dari Ali Moertopo adalah bahwa Ali tidak pernah menumpuk kekayaan selama mendampingi Soeharto.

Dalam khazanah tradisi Jawa, ada istilah yang sangat bagus untuk menggambarkan sosok king maker seperti Ali Moertopo, yaitu idu geni. Arti harfiahnya adalah ludah api, maknanya kurang lebih, apa yang menjadi kehendaknya, dengan berbagai cara, pasti akan terwujud. Ali Moertopo termasuk orang yang memiliki kemampuan seperti itu, setidaknya satu dekade pertama era Orde Baru.

Satu catatan penting adalah, dengan kekuatan seperti itu, tidak terlintas sedikit pun pada diri Ali untuk menumpuk kekayaan, meski kesempatan untuk itu tentu terbuka luas. Itulah arti pentingnya karakter bagi orang yang dekat dengan kekuasaan. Jangan mentang-mentang dekat penguasa, kemudian menjadi oportunis, yang hanya memikirkan diri dan kelompoknya saja.

Dijauhkannya Ali Moertopo dari hasrat memperkaya diri merupakan salah satu anugerah bagi bangsa ini, ketika ada seorang yang sangat dekat dengan kekuasaan ternyata lebih tertarik pada gagasan ketimbang kesejahteraan pribadi. Sebuah pembawaan tokoh yang rasanya sudah sulit untuk diulang kembali, terlebih di zaman pragmatis seperti sekarang.

Ali dan Peristiwa Malari

Ali tidak bisa dilepaskan dari Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), sebuah peristiwa yang sampai sekarang masih menyimpan sejumlah misteri. Misteri dimaksud berdasar narasi yang beredar, bahwa Peristiwa Malari dianggap bukan murni gerakan mahasiswa, namun lebih disebabkan adanya konflik elite, dalam hal ini konflik antara dua tokoh militer, yaitu Mayjen Ali Moertopo (meninggal Mei 1984) dan Jenderal Soemitro (meninggal Mei 1998).

Wacana yang berkembang selama ini memang terkesan lebih mengedepankan konflik antara Ali Moertopo dan Soemitro, sementara aspek gerakan mahasiswa seolah dalam posisi sekunder. Setelah sekian lama, baru muncul tafsir bahwa wacana yang seolah “merendahkan” gerakan mahasiswa tidak lepas dari kepentingan rezim Orde Baru. Sebagaimana ungkapan selama ini, bahwa sejarah selalu ditulis pihak yang menang, dalam hal ini rezim Soeharto.

Pada kenyataannya, sejarah memang lebih banyak dikuasai narasi penguasa. Sejarah yang dikuasai penguasa adalah sejarah yang menjadi bagian dari seleksi memori, mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan oleh rakyat. Tujuannya adalah untuk legitimasi penguasa sebagai pemenang (memenangkan opini); penguasa selalu di pihak yang benar. Demikian juga dalam narasi Peristiwa Malari versi rezim Soeharto.

Rezim Orde Baru memiliki kepentingan, lebih tepatnya kekhawatiran, agar Peristiwa Malari jangan sampai menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa generasi berikutnya untuk sama-sama melawan rezim Soeharto. Secara sengaja, warna gerakan mahasiswa disamarkan, diganti dengan konflik elite militer, untuk memberi kesan betapa kuatnya kelompok militer.

Disamarkannya informasi terkait Malari adalah narasi sejarah khas Orde Baru, sebagai cara Soeharto untuk mengintimidasi rakyatnya atau kelompok masyarakat sipil lainnya agar jangan coba-coba melawan rezim yang sedang menyusun kekuatannya, meski pada akhirnya kelak tumbang juga pada Mei 1998. Penguasa memiliki kepentingan agar gerakan Malari tidak menjadi semacam lokomotif bagi gerakan perlawanan (terhadap Soeharto) secara bergelombang.

Pada peringatan 50 Tahun Peristiwa Malari, pertengahan Januari lalu di TIM (Jakarta Pusat), ada ungkapan bernada reflektif dari para pelaku sendiri (Hariman Siregar dkk). Para pelaku sengaja menyamarkan motivasi gerakan sebagai cara menghindari tekanan yang lebih berat dari penguasa. Singkatnya, protes terhadap kehadiran PM Jepang Tanaka sebenarnya hanyalah kamuflase, protes yang sebenarnya ditujukan kepada rezim Soeharto yang dinilai mulai otoriter.

Peristiwa Malari bisa jadi masih menyisakan misteri, namun lewat Malari pula, setidaknya ada dua pelajaran penting yang bisa diperoleh. Pertama, bahwa konflik internal militer adalah hal yang biasa, bahwa Indonesia tidak berbeda dengan kecenderungan negara berkembang lainnya. Kedua, berkaitan dengan pertama, bahwa sebagian besar peristiwa besar di tanah air umumnya dipicu konflik elite militer, sejak Peristiwa PRRI/Permesta dekade 1950-an hingga Peristiwa Mei 1998.

Peristiwa Mei 1998 misalnya, adalah dampak dari konflik elite militer antara kubu Wiranto dan kubu Prabowo (kini presiden terpilih). Sedikit mundur ke belakang, Peristiwa 27 Juli (1996), adalah bentuk perlawanan kelompok perwira lingkaran Benny Moerdani, yang mencoba melawan Soeharto, yang dianggap lebih dekat dengan kelompok perwira hijau (ABRI hijau).