Kanal

Seandainya Saya Menteri Kabinet Pak Jokowi…

Jujur, saat itu pun saya mengagumi watak para menteri yang nama-nama kementeriannya disebutkan itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang terkena serangan jantung, menunjukkan betapa kuatnya mereka. Saya terpikir, hanya keyakinan bahwa menjadi menteri adalah tugas suci untuk mengabdi negeri, atau sebaliknya, jalan tol guna memperkaya dirilah, tampaknya, yang membuat mereka bergeming.

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Hingga pekan kedua momen tersebut terpirsa, saya masih saja membayangkan jika saja saya yang mengalaminya. Andai saya, seorang menteri kabinet saat ini, di sebuah ruang publik seolah ditunjuk-tunjuk pimpinan atas kesalahan yang saya —juga beberapa menteri lain– lakukan.

Tidak tersurat dengan langsung menyebutkan nama. Tapi bagaimana pun nama kementerian saya dan beberapa kementerian lain telah disebut dalam sambutan singkat itu. Lalu kalimat itu pun datang, langsung menghunjam jantung. “Bodoh sekali kita kalau nggak lakukan ini. Malah beli barang impor. Mau diteruskan? Ndak! Ndak bisa!”

Jujur, saat itu pun saya mengagumi watak para menteri yang nama-nama kementeriannya disebutkan itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang terkena serangan jantung, menunjukkan betapa kuatnya mereka. Saya terpikir, hanya keyakinan bahwa menjadi menteri adalah tugas suci untuk mengabdi negeri, atau sebaliknya, jalan tol guna memperkaya dirilah, tampaknya, yang membuat mereka bergeming.

Wajar bila beberapa hari setelahnya, via pesan WA seorang teman bilang,”Menjadi menteri saat ini tampaknya tak menambah kemuliaan apa pun. Presiden Jokowi menimpakan semua salah urus kepada para pembantunya, disiarkan ke seluruh dunia…” Teman saya ini punya banyak hubungan dekat dengan menteri-menteri di kabinet. Jadi maklum kalau ia meradang.

*

Saya masih mengingat jelas pernyataan Istana di tahun-tahun pertama masa jabatan kedua Presiden Jokowi. Saking seringnya, pernyataan itu pun menjadi laiknya jargon: “Tidak ada visi dan misi menteri, yang ada visi dan misi Presiden.”

Itu justru menambah kasihan saya kepada para menteri di kabinet saat ini. Lha iya, kalau yang dijalankan itu visi-misi Presiden, apakah para menteri itu gagal memahami visi-misi sejati dari atasannya? Atau, apakah justru kesalahan sudah datang di awal-awal, dari visi dan misi yang kemudian diturunkan dan dijalankan para menteri itu?

Ada pikiran nakal sehubungan berkalinya Presiden menyalahkan para pembantunya di area publik. Apakah itu tidak berarti Presiden tanpa sadar tengah menghidupkan kembali budaya lama yang tumbuh subur di era Orde Baru? Saat itu di ABRI—Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kini TNI —ada budaya yang mengemuka manakala timbul masalah pertanggungjawaban.

Mereka mengadopsi system pertanggungjawaban air terjun (waterfall system). Seorang atasan atau pemimpin, selalu melimpahkan lagi tanggung jawab ke bawahannya. Bawahan itu melimpahkan lagi tanggung jawab kepada yang lebih di bawahnya. Terus, hingga sampai kepada pelaku di tataran aksi. Makanya, jika skandal Iran-Contra di masa lalu Amerika bisa melontarkan Kolonel Oliver North dari kursinya, skandal apa pun yang melibatkan militer kita, biasanya berujung pada kesalahan personel setingkat kopral saja.

*

Banyak orang percaya, kehidupan kenegaraan Indonesia sebenarnya bisa berjalan sendiri. Pernah di masa Pak SBY negeri ini riuh dengan isu ‘negara autopilot’. Orang banyak sangsi dengan perlunya pemerintah sebagai pengendali. Saat itu mereka merasa tak ada fungsi-fungsi berarti yang dilakukan pemerintah.

Tetapi toh Indonesia berjalan ‘baik-baik saja’. Pertumbuhan ekonomi saat itu mencapai rata-rata 6,5 persen. Angka kemiskinan konon turun empat persen, menjadi 12 persen. “Tingkat pengangguran terus turun, angka harapan hidup terus meningkat. Semua capaian itu menunjukkan adanya intervensi pemerintah,” kata Menko Kesra (saat itu) Agung laksono, dengan nada tinggi.

Artinya, mungkin saja sejatinya sistem-sistem di negeri ini sudah berjalan baik. Jadi, alih-alih bikin regulasi ini-itu, barangkali sebaiknya malah pemerintah tak banyak bikin ulah. Misalnya, gara-gara ingin mengubah dunia pendidikan dengan mengajukan RUU Sisdiknas, pemerintah malah menghilangkan frasa ‘madrasah’ dalam UU Pendidikan 2003. Kontan, bukan tatanan apik, yang didapat malah gempar dan gaduh.

Alhasil, boleh jadi pertumbuhan ekonomi 6,5 persen yang diraih saat itu pun bukan karena kerja-kerja pemerintah (semata). Umumnya orang percaya, pasar berjalan sendiri mencapai sisi terbaiknya, tanpa ada kawalan kebijakan pemerintah. Kalau pun mau cawe-cawe, pemerintah sebaiknya turun tangan langsung manakala mekanisme pasar mulai cenderung merugikan mayoritas rakyat.

Dengan kata lain, belum tentu ‘autopilot’ itu hal yang buruk. Pada saat-saat tertentu, membiarkan sistem itu bekerja sendiri malah menjadi laku bijak. Namun, pemerintah sebagai pilot harus terus mengawal dan segera mengambil alih kemudi manakala badai mulai terjadi. Jika tidak, pesawat negeri akan terombang-ambing tanpa arah yang jelas. Sementara di kabin, penumpang riuh rendah saling menyalahkan. Masih untung tak ada yang coba-coba buka pintu dan terjun bebas sendiri-sendiri.

Di dunia modern, faktanya banyak negara yang praktis menerapkan autopilot selama beberapa waktu. Belgia, misalnya. Pemerintahan Belgia yang kini dipimpin Perdana Menteri Alexander de Croo, hampir 16 bulan tidak memiliki pemerintahan pusat. Pada 2010-2011 Belgia juga tidak memiliki pemerintahan federal selama 589 hari.

Tetapi dengan sistem yang telah mandiri, kehidupan kenegaraan dan ekonomi pun baik-baik saja. Bahkan pada periode tanpa pemerintah pusat itu, performa ekonomi Belgia melampaui negara-negara mata uang Euro lainnya yang disengat krisis.

Okelah, mungkin ada yang bilang, itu sih karena sifat ‘Belgitude’ orang Belgia yang khas dengan sikap masa bodoh mereka akan politik. Tetapi, merujuk sejarah, sikap ‘masa bodoh’ ini pun bukan tak menemukan pembenaran falsafinya sendiri. Lihat saja frasa ‘invisible hand’ yang dikemukakan Mbah Kapitalisme, Adam Smith. Smith percaya, mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat teraih melalui kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand), yaitu tanpa (banyak) campur tangan pemerintah. Mekanisme pasar, ia yakini, akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien.

Belakangan, mazhab Smith itu mendapat penguatan ekonom peraih Nobel, Prof Milton Friedman. Friedman mengatakan, kapitalisme–yang ia percaya akan membawa kesejahteraan–dan kebebasan, terbelenggu oleh negara. Sebaiknya, kata dia, Kapitalisme dan kebebasan hanya menyisakan peran terbatas bagi negara. Namun begitu, peran negara tidak harus jadi nol. “…Pemerintah sangat penting, baik sebagai forum untuk menentukan “aturan main” dan sebagai arbiter untuk menafsirkan dan menegakkan aturan.” Negara juga berperan penting untuk menegakkan jaminan penghormatan terhadap hukum, hak, kepemilikan pribadi, dan melawan dominasi monopolis tertentu.

*

Tetapi, Presiden Jokowi tampaknya tak cocok dengan sistem autopilot ini. Beliau berbeda dengan Vladimir Putin yang menurut tulisan Profesor Daniel Treisman dari University of California, Los Angeles, AS, di The Washington Post, 2018 lalu, menjalankan dua sistem kekuasaan. Sistem pertama, menurut Triesman, adalah normal politics, yang autopilot. Putin tak perlu terlibat di dalamnya.

Sistem kedua, adalah kontrol manual atau ruchnoe upravlenie dalam bahasa Rusia. Dengan sistem ini Putin “mendikte” kebijakan atau arah politik, sesuai yang ia inginkan. Putin bisa melakukannya, mengingat kuatnya posisi politik pria yang berjuluk “The New Tsar” tersebut.

Sementara ‘ketidakterlibatan’ atau diamnya Presiden Jokowi dalam banyak persoalan krusial Indonesia, tampaknya lebih karena tak mampunya Presiden memegang kendali secara optimal. Entah apa sebabnya, mengingat beliau terpilih secara sah melalui Pemilu.

Dalam masa jabatan keduanya, ketidakmampuan itu lebih kentara. Lihat saja, beliau yang di awal-awal kekuasaan bertekad untuk memberantas korupsi hingga akar-akarnya (radikal), pada masa jabatan kedua ini cenderung lunglai. Alih-alih mendulang dukungan parpol untuk itu, sikap Presiden dalam revisi UU KPK dan perlemahan lembaga antikorupsi itu hingga menjadi wajahnya saat ini, menunjukkan Presiden justru seolah terbelenggu parpol.

Yang masih hangat, lemahnya pemerintah dalam kasus minyak goreng, bagi banyak kalangan menunjukkan ketidakberdayaan Presiden menghadapi oligarki.

Masuk akal bila Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel yang terbit dalam “South East Asia Research” 2016, berjudul “Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?” menulis Jokowi tak lagi mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai, yang menjadi klaimnya selama ini.

“Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘profesional’ tanpa tukar guling, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya itu justru dilandasi partai pendukungnya,” tulis mereka di awal-awal artikel.

Rakyat bahkan hanya bisa menelan pahit, saat Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, menyadarkan mereka bahwa langkah Jokowi merangkul Prabowo di awal jabatan keduanya, tak lain pengkhianatan kepada demokrasi.

“Ketika dia memilih Prabowo artinya (demokrasi) sudah selesai,”tulis Bland dalam “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia”, mengutip seorang pejabat. “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi.” [DSY]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button