News

Sederet Janggal yang Mulai Terkuak

Sudah satu bulan perhatian publik tertuju pada Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta. Beraneka peristiwa penting — mulai dari fenomena Citayam Fashion Week, pelbagai agenda Presiden Jokowi, hingga ingar-bingar persiapan Pemilu 2024, tak mampu mengalihkan perhatian rakyat pada kasus kematian Brigadir J, yang ditembak di rumah KadivPropam Polri Irjen Ferdy Sambo.

Sejak awal polisi menyodorkan cerita kematian Brigadir J yang tak diterima nalar publik. Dari mulai rakyat kecil, pengamat hukum, anggota DPR, Menko Polhukam Mahfud MD hingga Presiden Jokowi memberikan atensi terhadap perkara yang menabrak akal sehat itu.

Berikut sederet kejanggalan yang harus diurai kepada publik.

Penyampaian informasi awal yang terlambat

Kematian Brigadir J di rumah dinas KadivPropam Polri, Irjen Ferdy Sambo, baru diumumkan ke publik pada Hari Senin, 11 Juli 2022. Padahal, kematian Brigadir J terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022. Selama tiga hari yang penuh misteri itu banyak hal bisa saja terjadi. Tempat kejadian perkara (TKP) bisa saja mengalami kerusakan tanpa ada pengawasan yang memang diperlukan.

Menko Polhukam Mahfud MD menilai lambatnya informasi awal ini tak masuk akal. “Apakah hari libur tak boleh ada proses pengusutan tindak pidana. Kalau alasannya 3 hari karena hari libur, apakah hari libur masalah pidana boleh ditutup-tutupi begitu,” sindir Mahfud MD.

Keluarga dilarang buka peti mati

Keluarga Brigadir J melalui kuasa hukumnya, Kamaruddin Simanjuntak, menyebut bahwa pihaknya memiliki bukti elektronik adanya polisi yang melarang keluarga membuka peti jenazah Brigadir J. “Kami ada bukti elektronik rekaman video,” ungkap Kamaruddin Simanjuntak.

Dalam video tersebut bahkan terlihat dan terdengar jelas tangisan keluarga yang meminta peti jenazah Brigadir J dibuka. Kamaruddin menegaskan pihaknya akan menyerahkan bukti tersebut kepada penyidik agar kasus ini semakin terang benderang.

“Kami jelas melihat di dalam video itu mereka (keluarga Brigadir J,red) histeris teriak ‘buka, buka, buka’ sambil ada tangisan. Namun, tidak segera dibuka. Jadi, itu bukti yang tak terbantahkan,” tegasnya.

Sementara itu dari Divpropam Polri, Kombes Leonardo Simatupang, membantah jika mereka disebut melarang keluarga membuka peti jenazah. “Tidak pernah saya untuk melarang buka peti. Karena enggak bagus dilihat keluarga, kami punya keluarga juga,” ujar Leonardo.

Pemakaman Brigadir J tak sesuai protokol Polri

Jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang tewas dalam insiden saling tembak di rumah KadivPropam Polri, tanpa ada upacara layaknya pemakaman seorang anggota Polri. Brigadir J dimakamkan di kampung halamannya Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Muaro Jambi.

Suasana pemakaman tersebut dapat dilihat di akun facebook, Rohani Simanjutak. Di sana hanya terdapat beberapa kerabat yang ikut dalam prosesi pemakaman. Suasana sedih dan haru terlihat jelas dalam prosesi pemakaman itu. Suara isak tangis terdengar jelas dan juga ada wajah-wajah tertunduk. Sebuah karangan bunga yang cukup besar ditempatkan di atas makam. Tampak ibu Brigadir J menangis tidak berhenti sembari mendoakan almarhum.

Setelah dilakukan otopsi ulang, jenazah baru dikebumikan sesuai protokol Polri. Tapi pihak Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo, menyesalkan pemakaman ulang Brigadir J atau Nofriansyah Yoshua Hutabarat yang digelar dengan upacara kedinasan. Menurut pengacara, Arman Hanis, Brigadir J diduga melakukan perbuatan tercela sehingga tidak layak dimakamkan secara kepolisian.

HP Brigadir J sempat hilang

Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan dirinya juga sempat mempertanyakan keberadaan ponsel milik Brigadir J kepada penyidik. “Kami bertanya tentang apakah handphone daripada almarhum Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat sudah ketemu atau belum.” ujar Kamaruddin.

Dia mengeklaim awalnya tidak satu pun penyidik yang menjawab pertanyaannya itu. Kamaruddin menyebut Brigadir J memiliki empat ponsel dengan empat nomor kontak. Dia mengatakan, karena keberadaan ponsel dan pakaian yang dikenakan Brigadir J tidak jelas, akhirnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dengan status hilang.

Belakangan, menanggapi lenyapnya HP Brigadir J, Polri menyebut HP tersebut tak hilang. Namun HP telah diamankan penyidik untuk diteliti di laboratorium forensik (labfor). “HP sudah ada di Puslabfor dan penyidik sudah memintakan untuk diteliti oleh labfor Polri,” ujar Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo.

HP keluarga Brigadir J sempat diretas

Sementara itu, sebanyak lima ponsel milik keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Jambi diduga sempat diretas. Ini disampaikan oleh Rohani Simanjuntak, bibi Brigpol Yosua dan ayahnya, Samuel Hutabarat. Dari keterangan keluarga korban, peretasan terjadi secara bertahap.

Pertama kali terjadi pada pukul sekitar 05.00 WIB yakni aplikasi Whatsapp dan Facebook milik ibu Brigadir J, Rosti Simanjuntak. Selanjutnya, terjadi pada handphone milik kakak dan adik Brigadir J. Totalnya ada 5 ponsel yang diretas dalam satu hari ini. Baca juga: Nomor WA Keluarga Diretas, Ayah Brigadir J: Mereka Mau Menyelidiki Kami “Tak lama lagi HP Yuni tidak bisa dibuka. HP Devi juga tidak bisa dibuka. Total 5 HP tidak bisa dibuka,” tutur Rohani.

Aksi penodongan senjata ke istri KadivPropam

Awalnya polisi menyebut pada Jum’at 8 Juli 2022 terjadi tindakan pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J terhadap Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi Susianto berujar, anggota Polri Brigadir J menodongkan pistol ke arah istri Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo saat tepergok melakukan pelecehan. Brigadir J diduga panik sehingga menodongkan pistol lantaran istri Kadiv Propam tersebut berteriak meminta tolong saat dilecehkan.

“Pada saat ibu (istri Kadiv Propam) tertidur, lalu terbangun dan kaget, kemudian menegur saudara J. Saudara J membalas, ‘diam kamu!’ sambil mengeluarkan senjata yang ada di pinggang,” ujar Budhi di Mapolres Jakarta Selatan, Selasa (12/7/2022).

Namun narasi yang dibangun Kapolres Metro Jakarta Selatan itu diragukan pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel. Reza menyebut kejahatan seksual lazimnya dilakukan di tempat tertutup dan di lokasi yang sepenuhnya dalam penguasaan pelaku. “(Di TKP) tidak ada saksi, di situ tidak ada CCTV, di situ tidak ada akses bagi korban untuk melarikan diri,” katanya.

Menurut Reza, jika demikian yang terjadi maka itu sungguh pemilihan lokasi pelecehan seksual yang sangat tidak wajar. “Jadi, ringkas cerita, kita (publik, red) punya alasan untuk bertanya-tanya,” ujar penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia, itu.

Belakangan, Kapolri Jenderal Sigit Listyo mencopot Kapolres Metro Jakarta Selatan. Kombes Budhi Herdi sementara diparkir di Mabes Polri. Bukan tak mungkin dia akan menerima sanksi pidana jika terbukti melakukan pelanggaran serius kode etik Polri.

Kisah baku tembak Brigadir J dan Bharada E

Awalnya disebut Polri bahwa Brigadir J yang terlibat adu tembak dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo terkena tujuh luka tembak dari lima peluru. Karopenmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebut itu bisa terjadi lantaran satu tembakan bisa melukai atau menembus dua bagian tubuh.

“Walaupun lima tembakan ada satu tembakan yang mengenai tangan kemudian tembus ke badan, jadi kalau dibilang ada tujuh lubang tapi lima tembakan itu ada satu tembakan yang mengenai dua bagian tubuh termasuk luka sayatan itu,” kata Ramadhan pada wartawan, Senin (11/7).

Ramadhan mengungkap Bharada E menembak lima kali, sementara Brigadir J menembak tujuh kali. Namun, Bharada E tak terkena luka tembak sama sekali. Ramadhan mengatakan posisi Bharada E berada lebih tinggi yakni 10 hingga 12 meter atau berada di lantai 2 rumah Irjen Ferdy Sambo saat baku tembak terjadi. “Tidak ada (terkena tembakan), kan posisi dia lebih tinggi dan dia posisinya dalam keadaan yang terlindung,” ucapnya.

Narasi yang dibangun Ramadhan diragukan bekas Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duaji. Menurut Susno jika posisi baku tembak berbeda ketinggian, justru yang ada di bawah mendapat posisi yang lebih menguntungkan. “Itu sebab kita kerap menembak sambil tiarap,” ujar Susno Duaji.

Belakangan polisi ‘meralat’ narasi yang dibangun. Bharada E kini ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Dia dikenai pasal 338, juncto 55 dan 56 KUHP. Penetapan tersangka ini menganulir pernyataan Ramadhan sebelumnya yang menyatakan Bharada E menembak karena melakukan pembelaan diri.

Otopsi ulang

Pihak keluarga meragukan hasil otopsi awal yang dilakukan RS Polti Kramat Jati. Dan akhirnya dilakukan otopsi ulang. Bocoran hasil otopsi ulang jenazah Nofriansyah Yosua Hutabarat, diungkapkan oleh kuasa hukum keluaega Brigadir J, yaitu Kamaruddin Simanjutak. Membuktikan adanya kejanggalan dari luka pada bagian tubuh, terutama kepala dari hasil otopsi ulang Brigadir J, berdasarkan Kamaruddin Simanjuntak.

Kamaruddin mengaku mempunyai hasil otopsi ulang di Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, yang telah dilakukan kepada jenazah tersebut. Terlihat ada luka tembak dari belakang kepala yang tembus hingga ke depan, berdasarkan hasil otopsi ulang jenazah tersebut, ungkap Kamaruddin. “Tembak dari belakang kepala tembus ke hidung,” kata Kamaruddin dalam keterangannya seperti disiarkan.

Kamaruddin menyebut, dua dokter yang mewakili keluarga Brigadir J turut terlibat dalam otopsi ulang. Setelah otopsi ulang jenazah Brigadir J selesai dilakukan, kata Kamaruddin, dokter perwakilan keluarga mencatat semuanya dan hasil diberikan ke dirinya untuk diaktakan ke notaris. “Dalam catatan dokter dari pihak keluarga, ditemukan benjolan di belakang kepala yang berasal dari bekas lem,” ungkapnya.

Ketua tim dokter forensik, Ade Firmansyah Sugiharto mengatakan, hasil otopsi ulang jenazah Brigadir J akan keluar 4-8 pekan. Ade mengatakan, hasil otopsi lama keluar karena ada bagian luka yang butuh pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan apakah luka terjadi setelah atau sebelum kematian. Selain itu, pemeriksaan mikroskopis juga dapat mengetahui jenis kekerasan dan efek yang ditimbulkan akibat kekerasan. “Kita temukan banyak luka. Namun belum bisa disampaikan luka itu terjadi setelah atau sebelum kematian. Bahkan penyebab luka juga belum bisa diketahui,” kata Firmansyah.

Saling silang soal CCTV

Awalnya polisi menyatakan CCTV di rumah Irjen Ferdy Sambo rusak disambar petir. Selama tiga pekan narasi itu tetap dipegang polisi. Tapi belakangan Tim Khusus yang dibentuk Kapolri menemukan fakta yang mencengangkan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya sudah mengantongi siapa yang mengambil rekaman CCTV di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.

Sosok tersebut adalah anggota Polri yang kini tengah diperiksa. Sigit juga mengaku sudah tahu bagaimana oknum polisi itu mengambil CCTV yang disebut rusak tersebut. “Kami dalami dan kami sudah dapatkan bagaimana pengambilan dan siapa yang mengambil juga sudah kami lakukan pemeriksaan. Pada saat ini tentu kami akan melakukan proses selanjutnya,” kata Sigit di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8).

Kapolri mengungkapkan bahwa pihaknya memproses 25 anggota Polri yang tidak profesional dalam menangani tempat kejadian perkara (TKP) tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Birgadir J. Salah satunya terkait dengan hilangnya rekaman CCTV di TKP yang menjadi sorotan masyarakat. Hal ini, menjadi perhatian khusus Polri untuk menyampaikan kepada masyarakat. Sigit menyebutkan ke-25 personel itu terdiri atas tiga perwira tinggi pangkat jenderal bintang satu, lima personel berpangkat kombes, tiga personel berpangkat AKBP, dua personel berpangkat kompol, tujuh personel perwira pertama serta lima orang berpangkat bintara dan tamtama.

Istri Ferdy Sambo, saksi kunci yang masih “terguncang”

Kasus pembunuhan Brigadir J ini sebetulnya tak sulit diungkap, jika saja saksi kunci sejak awal bersikap jujur dan transparan. Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo merupakan saksi mahkota untuk mengungkap kasus yang sebenarnya. Banyak rumor miring yang beredar terkait kasus ini. Sayangnya hingga kini Putri tak kunjung menjalani pemeriksaan. Dia disebut-sebut masih ‘trauma dan terguncang hebat’.

Sebetulnya, jika saja mau dilakukan, Polri memiliki alat lie detector yang bisa digunakan untuk menguji kejujuran dari para saksi. [inu]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button