Sejumlah pakar kebijakan publik dari beberapa perguruan tinggi menanggapi tentang kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui seminar nasional yang digelar di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej), Jumat (14/3/2025).
Dosen kebijakan publik Universitas Brawijaya Fadilah Putra menyebutkan ada beberapa poin terkait dengan politik kebijakan anggaran, di antaranya politik sebagai kekuasaan dan kendali anggaran dan evaluasi kinerja politik dalam sudut pandang tindakan kolektif.
“Efisiensi anggaran bukan hal baru karena dahulu namanya refokusing anggaran. Namun, perbedaannya dari sisi tujuan. Efisiensi anggaran di kisaran 10 persen dan masih ada 90 persen yang harus diawasi,” ujar Fadilah.
Sementara itu, dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Sholahudin menilai kebijakan efisiensi anggaran pada era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan sebuah paradoks.
“Kebijakan efisiensi anggaran tahun 2025 diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara dengan mengoptimalkan alokasi anggaran dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu,” katanya.
Hal itu menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengelola belanja negara secara lebih efektif sekaligus menekan defisit fiskal yang diproyeksikan mencapai Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kendati demikian, Umar memberikan catatan kritis terkait dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo karena tidak akan sepenuhnya efektif selama struktur kabinet tetap gemuk.
“Besarnya biaya birokrasi bisa mengimbangi atau bahkan melebihi penghematan yang dihasilkan dari pemangkasan di pos anggaran lain. Kebijakan efisiensi anggaran harus transparan,” ujarnya.
Umar mengingatkan, pemangkasan anggaran yang ugal-ugalan dapat berdampak pada pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Pada kesempatan yang sama, pakar kebijakan FISIP Unej Dr. Suji memaparkan terkait dengan efisiensi anggaran vs pertumbuhan ekonomi karena pemotongan anggaran tanpa strategi seperti mengurangi belanja, menurunkan permintaan agregat dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Pengalihan ke sektor yang jenuh dapat berdampak pada permintaan agregat tetap, tetapi produktivitas menurun karena alokasi tidak optimal,” terangnya.