News

Koruptor di Negara Lain Pilih Mati karena Malu, di Indonesia Unjuk Gigi untuk Pemilu

Pada 28 Mei 2007 silam, Menteri Pertanian Jepang, Toshikatsu Matsuoka ditemukan tewas gantung diri di apartemennya di Tokyo beberapa jam sebelum dirinya menghadapi pertanyaan di parlemen terkait skandal pendanaan dalam pemerintahan.

Kemudian pada tahun 2009, mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun ditemukan tewas setelah melompat ke jurang yang berlokasi tak jauh dari kediamannya. Aksi nekat itu dilakukannya lantaran malu karena terjerat kasus korupsi sebesar USD6 juta yang diterima dari seorang pengusaha.

Selanjutnya, seorang jenderal bintang tiga di China bernama Zhang Yang yang juga Direktur Departemen Politik Tentara Pembebasan Rakyat ditemukan tewas di rumahnya pada 2017 lalu. Diketahui, Jenderal Zhang Yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena malu terlibat kasus suap dan melibatkan dua jenderal lain di angkatan bersenjata China.

Dan pada 19 Juni 2020, seorang hakim asal Iran bernama Gholamreza Mansouri ditemukan tewas bunuh diri di sebuah hotel di Rumania. Mansouri diduga kuat terlibat kasus korupsi yakni menerima suap sebesar 500 ribu Euro.

Beberapa tokoh di atas merupakan sebagian kecil dari kasus korupsi yang menjerat para pejabat pemerintahan di luar negeri. Berita tentang korupsi sekaligus kematiannya pernah meramaikan media massa saat itu, baik di negaranya sendiri maupun media cetak/elektronik di negara lain termasuk Indonesia.

Mereka (para pejabat di luar negeri) memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri lantaran malu atas apa yang diperbuatnya sebagai pejabat publik. Namun fenomena itu justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini.

Jika pejabat di Jepang, Iran, Korea Selatan, dan China memilih bunuh diri lantaran malu karena terbukti korupsi, pejabat di Indonesia justru malah pamer diri di hadapan publik agar terpilih sebagai wakil rakyat menjelang pemilu.

Para pejabat yang telah menjelma sebagai politikus partai politik (parpol) ini maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) setelah menjalani hukuman penjara sebagai terpidana atas kasus korupsi yang menjeratnya.

Boikot Caleg Mantan Koruptor

Menanggapi aturan yang membolehkan mantan napi kasus korupsi maju untuk berkontestasi pada Pemilu 2024, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi, (MAKI) Boyamin Saiman mengaku kecewa.

Karena itu dirinya mengajak masyarakat untuk sadar sekaligus memboikot dan tidak memilih caleg yang merupakan mantan napi koruptor.

“Karena apa? Mereka telah berkhianat kepada rakyat dan berkhianat juga terhadap sumpah jabatannya,” ujarnya kepada Inilah.com.

Menurutnya, para pejabat itu sebelumnya telah berjanji untuk menyejahterakan rakyat dan mematuhi segala produk undang-undang, termasuk untuk tidak korupsi. Janji itu diucapkan saat dilantik memangku jabatan.

“Tapi nyatanya mereka telah melakukan korupsi. Maka ini sangat mengecewakan, ketika masih diperbolehkan (mantan napi koruptor maju caleg),” jelasnya.

Pengkhianatan dan Hukum Tumpes Kelor

Tak hanya itu, Boyamin juga menilai ini adalah salah satu bentuk pengkhianatan, karena melanggar janji-janji yang telah diucapkan atas nama rakyat. Begitu juga parpol yang mengusung mantan koruptor.

Parpol yang mengusung mantan koruptor menurutnya tidak peka dan tidak memikirkan penderitaan rakyat akibat korupsi.

“Pengkhianatan ini sebenarnya sama dengan pemberontakan. Kalau zaman kerajaan itu dihukum Tumpes Kelor, dihukum mati seluruh keluarganya,” tambahnya.

Sementara itu Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Catur Wido Haruni menilai semua kembali kepada para pemilih, dalam hal ini rakyat.

Karena itu rakyat harus cerdas dalam menentukan pilihan, dan ia mengimbau agar tidak memilih hanya karena sekadar fanatik terhadap salah satu parpol.

“Perlu melihat track record dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” ucapnya.

Berkaca pada Korsel

Mestinya Pemerintah Indonesia bisa mengikuti aturan yang ditegakkan di Korea Selatan. Undang-undang yang mengatur tentang korupsi di Korsel dinilai sangat keras, bahkan koruptor akan habis harapan hidup senangnya.

Selain hukuman penjara, mereka juga akan dikenai denda yang besar (dimiskinkan), serta penyitaan aset oleh pemerintah.

Bahkan setelah berlakunya UU Antikorupsi tahun 2016, pemerintah dapat mengumumkan identitas para pelaku korupsi untuk memberikan efek jera, sekaligus mencegah tindakan serupa.

Tak hanya itu, pelaku korupsi juga dikenai sanksi penghapusan hak politik, termasuk hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Pemerintah Korsel juga memberikan perlindungan khusus bagi para pelapor korupsi (whistleblower) untuk mendorong lebih banyak laporan dan pengungkapan tindak korupsi.

Pendidikan dan kesadaran tentang bahaya korupsi ternyata telah ditanamkan sejak dini dalam kurikulum pendidikan serta kampanye pencegahan korupsi dilakukan untuk masyarakat.

Langkah-langkah ini menegaskan tekad pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Hukuman Koruptor di Beberapa Negara

1. Tiongkok: Hukuman Mati

Hukuman bagi koruptor yang merugikan negara di atas Rp215 juta akan langsung dihukum mati. Bahkan realisasinya tidak lama untuk segera dieksekusi, sehingga tidak hanya sekadar peraturan dalam undang-undang.

2. Vietnam: Hukuman Mati atau Penjara Seumur Hidup

Hukuman mati di Vietnam diperuntukkan bagi koruptor yang mengambil uang negara atau uang perusahaan milik negara. Namun pengecualian bagi terpidana wanita yang sedang hamil atau merawat anak di bawah usia 36 tahun. Mereka akan dipenjara seumur hidup.

3. Korea Utara: Hukuman Mati

Hukuman mati bukanlah sesuatu yang asing di Korea Utara (Korut). Pemimpin Kim Jong Un menegaskan semua yang melanggar aturan di negerinya harus siap dieksekusi. Bahkan pamannya sendiri yang bernama Chang Song Thack tak luput dari hukuman mati lantaran terjerat kasus korupsi pada 2013 lalu.

4. Malaysia: Hukuman Gantung dan Penjara

Sejak tahun 1997, Malaysia telah menerapkan hukuman gantung terhadap pejabat yang terbukti korupsi. Sedangkan hukuman lainnya yakni penjara, seperti yang dialami mantan PM Malaysia Najib Razak yang terjerat kasus korupsi 1MDB dan dipenjara selama 12 tahun.

5. Singapura: Hukuman Mati

Hukuman mati yang diberlakukan di Singapura menjadikan negara ini memiliki tingkat korupsi terendah di dunia. Karena eksekusi mati dilakukan sebagaimana mestinya, sehingga memberikan efek takut bagi siapapun yang melanggar.

6. Amerika Serikat: Denda 2 Juta Dolar AS dan Penjara

Hukuman mati tidak berlaku di AS atas dasar hak asasi manusia (HAM), pemerintah memberikan denda tinggi ditambah dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Sedangkan bagi mereka yang terjerat korupsi berat hukumannya mencapai 20 tahun penjara.

7. Jerman: Kembalikan Uang dan Hukuman Penjara

Jerman memilih untuk mewajibkan para koruptor untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi dengan jumlah yang sama persis. Tak hanya itu, pelaku korupsi juga menjalani hukuman penjara 5 tahun.

8. Jepang: Hukuman Penjara

Jepang tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai korupsi. Negara matahari terbit itu memberlakukan hukuman penjara setidaknya 7 tahun. Namun karena budaya malu yang masih sangat kuat, tak sedikit pejabat negara yang memilih bunuh diri.

9. Korsel

Tak jauh berbeda dengan Jepang, koruptor yang melakukan bunuh diri juga tidak sedikit karena korupsi dinilai seperti aib. Mereka akan dikucilkan di masyarakat, termasuk oleh keluarganya sendiri.

Sementara di Indonesia?

Meski pengadilan telah memvonis 20 tahun penjara, namun terkadang kenyataannya tidak diterapkan hingga selesai. Biasanya mereka akan mendapatkan remisi, bahkan ada yang menjalani hukuman penjara selama tiga atau empat tahun.

Bahkan tak malu untuk memamerkan diri di depan publik untuk kembali maju sebagai caleg untuk Pemilu 2024. Mereka akan tampil di tengah masyarakat dengan janji serta visi misi yang diusung demi mendapatkan suara. Apakah rakyat masih percaya? (Reyhaanah/Rizki Aslendra)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button