Semangat Prabowo Meraih Swasembada Pangan


Persoalan apakah kampanye Presiden Terpilih Prabowo, pada saat masa kampanye Pemilihan Presiden 2024 tentang “swasembada pangan” akan tercapai dalam masa kepemimpinannya? Jawaban atas pertanyaan di atas tentu bervariasi, tergantung dari sisi mana kita menjawabnya. Mau tidak menjawab, juga tidak apa-apa. Titik!

Kampanye Pemilihan Presiden, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota), atau Anggota Legislatif dimaksudkan untuk merebut simpati masyarakat sebesar-besarnya, supaya mampu memenangkan pertempuran. Begitu pun dengan apa yang ditempuh pasangan Prabowo/Gibran. Dalam visi dan misinya, memang gamblang tersurat pentingnya meraih swasembada pangan.

Sebagai upaya merebut simpati rakyat, penyelenggaraan kampanye merupakan kesempatan terbaik untuk memberi keyakinan kepada masyarakat bahwa apa yang dibawakan dapat memberi berkah kehidupan bagi rakyat kebanyakan. Termasuk di dalamnya, soal kesungguhan bangsa ini untuk mewujudkan swasembada pangan itu sendiri.

Swasembada pangan penting diraih karena merupakan kata kunci terwujudnya ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Itu sebabnya, sebelum bangsa ini mampu meraih swasembada pangan, maka bangsa yang tahan, mandiri, dan berdaulat pangan tak ubahnya ibarat membeli pepesan kosong. Ada bungkusnya, tapi tidak ada isinya.

Jika kita menggunakan pemahaman sebagaimana diamanatkan UU Pangan, maka jelas tersurat bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Secara akal sehat, swasembada pangan berarti kita sudah mampu berswasembada beragam komoditas pangan seperti yang disuratkan dalam UU Pangan tersebut. Jika dirumuskan dalam sebuah persamaan matematik, maka swasembada pangan adalah perjumlahan dari swasembada beras, swasembada jagung, swasembada kedelai, swasembada daging sapi, swasembada gula, dan lain-lain.

Catatan kritis yang patut kita dalami lebih lanjut adalah mana di antara seabreg komoditas pangan yang ada telah mampu berswasembada? Bukankah baru swasembada beras yang berhasil kita raih pada tahun 1984 dan 2022? Gambaran swasembada beras ini pun tidak cocok lagi dengan suasana kekinian. Sebab, pada tahun ini, pemerintah merencanakan akan mengimpor beras sekitar 5 juta ton.

Swasembada beras adalah cerita masa lalu. Saat itu, swasembada beras yang kita raih hanyalah swasembada beras yang bersifat on trend. Bukan swasembada beras permanen. Artinya, swasembada beras itu dapat dicapai jika iklim dan cuaca memang bersahabat dengan petani. Namun jika tidak, maka kita harus kembali membuka kran impor beras yang selama ini tertutup rapat.

Lalu, bagaimana dengan komoditas pangan lain seperti jagung, kedelai, daging sapi, gula, bawang putih, dan lain-lain? Jujur harus diakui, komoditas pangan tersebut belum mampu kita wujudkan, meskipun hampir setiap pemerintahan, kemauan untuk menggapai swasembada jagung dan kedelai selalu menjadi titik kuat untuk diwujudkan.

Lebih memilukan lagi, swasembada beras yang pernah diraih dan memperoleh Piagam Penghargaan kelas dunia kini mengalami gangguan yang cukup serius. Darurat beras sekarang telah menjemput bangsa ini. Produksi turun dengan angka cukup signifikan. Harga beras di pasar melejit dengan menunjukkan kenaikan yang ugal-ugalan. Menyedihkan jika ujung-ujungnya kita harus impor beras lagi.

Kemudian, bagaimana nasib swasembada pangan seperti yang tertulis dalam visi dan misi saat kampanye Pilpres 2024 lalu? Seorang sahabat malah nyeletuk, boro-boro swasembada pangan, sekadar meraih swasembada beras yang pernah diraih pun sepertinya untuk kurun waktu saat ini sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata di lapangan.

Swasembada pangan jelas berbeda dengan swasembada beras. Jangan sampai kita keliru dalam membuat kesimpulan, sehingga swasembada beras sama saja dengan swasembada pangan. Dalam bahasa teknokratik atau akademik, beras jelas tidak sama dengan pangan. Swasembada beras hanyalah satu bagian dari swasembada pangan.

Tekad dan semangat meraih swasembada pangan tentu harus kita dukung dengan kerja keras dan kerja cerdas. Tidak cukup hanya dengan memberi acungan jempol. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan tindakan nyata di lapangan? Apakah dalam 5 tahun ke depan kita hanya akan menyiapkan kerangka dasar pencapaiannya saja?

Apakah kita baru sampai pada penyusunan Grand Desain Perencanaan Swasembada Pangan beserta Roadmap pencapaiannya? Atau kita akan menggapainya setelah 5 tahun Prabowo menakhkodai perjalanan bangsa dan negeri tercinta? Untuk menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan di atas, jawabannya tegas: tidak mungkin bakal terwujud.

Menggapai swasembada pangan jelas berbeda dengan pencapaian swasembada beras. Bahasa politisnya, swasembada pangan dapat diwujudkan sekiranya pemerintah mampu membangun sinergitas dan kolaborasi yang berkualitas di antara para pemangku kepentingan yang terkait dengan urusan pembangunan pangan.