Terkait dugaan korupsi duit Corporate Social Responsibility atau CSR di Bank Indonesia (BI), penyidik KPK sudah menggeledah ruang kerja Gubernur BI, Perry Warjiyo. Rasa-rasanya, Perry menjadi kandidat kuat sebagai tersangka.
“KPK akhirnya menggeledah kantor BI, termasuk ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo. Tentu saja, penyidik KPK punya informasi sudah sangat tajam. Enggak mungkin digeledah kalau enggak ada informasi atau data yang kuat,” papar ekonom senior, Anthony Budiawan dikutip dari siniar Abraham Samad Speak Up, Jakarta, Senin (27/1/2025).
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini, mengaku heran dengan adanya dana CSR di BI yang jelas-jelas bukan entitas bisnis.
Sebagai bank sentral, BI adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain termasuk DPR. “Intinya, BI wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka menjalankan tugasnya,” kata Anthony.
Alhasil, kata dia, Dewan Gubernur BI yang terdiri dari seorang gubernur, seorang deputi gubernur senior, serta 4 sampai 7 orang deputi gubernur, dilarang menjadi pengurus atau anggota parpol.
Setelah reformasi 1998, BI ditugasi hanya untuk satu tujuan yaitu mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, tertuang dalam pasal 7 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BI memiliki sejumlah langkah. Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga, mengatur dan mengawasi bank.
“Nah ini, BI punya CSR berarti melanggar UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Karena di luar tugas dan wewenang Bank BI seperti yang saya sampaikan tadi,” ungkapnya.
Apalagi, lanjutnya, penggunaan dana BI untuk CSR yang dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, untuk aktivitas politik di daerah pemilihan (dapil), jelas-jelas tindak pidana korupsi.
“Bisa jadi, pemberian CSR BI ke anggota Komisi XI DPR yang menjadi mitra kerja BI, masuk kategori suap. Karena berdampak kepada tugas pengawasan Komisi XI DPR,” imbuhnya.
Pada 2010, kata Anthony, DPR pernah mengusulkan adanya dana aspirasi yang berasal dari APBN, senilai Rp15 miliar untuk tiap anggota DPR.
Namun usulan ini ditolak Presiden SBY, kala itu. Alasannya, dana aspirasi dianggap menyamakan kewenangan eksekutif dan legislatif, sehingga melanggar konstitusi.
“SBY kemudian menyarankan DPR untuk lebih fokus kepada fungsi konstitusinya sebagai pengawas bukan bertindak seperti eksekutif, membuat program pembangunan di dapil,” kata Anthony.
Dia menyebut, keputusan SBY sangat tepat. Di mana, dana aspirasi, atau constituency development fund (CDF) secara substansi masuk kategori politik uang. Karena digunakan untuk mendapatkan dukungan politik dari konstituen. Untuk memenangkan pemilu selanjutnya.
Sayangnya, kata Anthony, usai penggeledahan ke kantor BI termasuk ruang kerja Perry Warjiyo, KPK seperti ‘masuk angin’. Sempat umumkan adanya dua tersangka kemudian diralat dengan alasan sangat tidak profesional.
“KPK mengatakan dua nama yang disebut itu, bukan tersangka kasus CSR BI, tetapi kasus korupsi lain. Saya menilai, KPK terindikasi membohongi publik, dan melindungi koruptor,” tandasnya.
Tidak lama kemudian, KPK memeriksa anggota Komisi XI DPR yakni Satori (NasDem) dan Heri Gunawan (Gerindra). Satori mengakui menerima CSR BI untuk aktivitas di dapil. Satori juga mengatakan, bukan hanya dirinya saja yang menerima CSR BI, tetapi seluruh anggota Komisi XI DPR.
“Pengakuan Satori ini menunjukkan fakta tidak terbantahkan, telah terjadi penyelewengan dana CSR BI untuk kepentingan politik. Ini dugaan korupsi berjemaah yang harus dibongkar tuntas,” pungkasnya.