Sengkarut Kekal di Setiap Tahun; Perlu Revolusi Haji?


“Hanya keledai yang bisa jatuh ke lubang yang sama dua kali,” kata peribahasa. Sementara dalam kumpulan hadits Al-Bukhari, berdasarkan Abu Hurairah RA, Nabi SAW pernah bersabda: “Seorang mukmin itu tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.” Lalu apa namanya kita, bila selama puluhan tahun pelaksanaan ibadah haji tetap saja identik dengan persoalan tahunan dari itu ke itu yang tak kunjung usai?

Juga penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Bahkan, bagi sementara pengamat haji, persoalan tahun ini begitu serius karena tak hanya merusak kenyamanan jamaah, tapi juga mencederai keadilan. Wajar bila Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo, menyampaikan kecaman pedas soal itu. 

“MPR meminta Kementerian Agama dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bertanggung jawab atas kondisi tersebut,” kata Bamsoet, akhir Juni lalu. 

Kritik Ketua MPR itu merujuk pada hasil laporan Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI yang mengungkapkan kondisi jemaah haji Indonesia di Mina sungguh memprihatinkan, terutama terkait fasilitas tenda dan peturasan yang jauh dari memadai.

Persoalan Tahunan

Sejatinya, hal-hal buruk dalam penyelenggaraan haji tahun tahun ini pun tak jauh-jauh dari urusan degil tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, Tim Pengawas Haji DPR RI menemukan buruknya kondisi penginapan jemaah. 

Ketua Timwas Haji DPR RI, Muhaimin Iskandar, menyatakan Tim menemukan fakta bahwa tenda yang harusnya hanya menampung 80 orang Jemaah, dipaksa menampung hingga 120 orang. Hal itu jelas sangat tidak membuat nyaman, selain berpotensi membahayakan kesehatan jemaah.

Selain itu, fasilitas mandi, cuci dan kakus (MCK) juga jaun dari cukup. Akibatnya, selalu ada antrean panjang hingga berjam-jam, yang membuat urusan buang air menjadi penderitaan tersediri. Apalagi bagi kaum difabel. 

“Memang ada kamar mandi untuk difabel, tetapi jumlahnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan rasio jemaah lansia dan difabel,” ujar Muhaimin. 

Ia mengaku heran, seolah penyeleng-gara haji tidak menghitung rasio kamar mandi berdasarkan jumlah lansia dan difabel yang harus difasilitasi.

Persoalan klasik yang masih juga merusak kekhusukan beribadah haji tahun ini adalah kualitas makanan untuk jamaah. Banyak laporan tentang makanan basi dan menyebabkan keracunan. Tercatat insiden sejenis mengakibatkan sekitar 100 jamaah mengalami diare dan pusing. 

Bayangkan, sementara ibadah haji memerlukan fisik prima, sekian banyak jamaah Indonesia justru melakukannya dalam kondisi loyo dan letoy akibat diare dan murus-murus.

Persoalan diperparah dengan minimnya fasilitas kesehatan yang ada. Timwas Haji menemukan, banyak jamaah harus mengantre lama untuk mendapatkan pelayanan medis, sementara kondisi mereka membutuhkan penanganan cepat. Tentu hal itu ironis mengingat besarnya biaya yang sudah dibayarkan jamaah.

Seperti diketahui, hampir setiap tahun pula terjadi peningkatan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Untuk tahun ini, BPIH mencapai Rp93,4 juta, di mana jamaah harus membayar Rp56 juta. Sisanya, Rp37,3 juta, dibebankan dari pengelolaan dana haji. Dengan banyaknya jamaah yang berasal dari kelas menengah ke bawah, yang harus menabung bertahun-tahun, ironis sekali bila justru pelayanan yang diberikan terkesan asal-asalan.

Karena itu, Muhaimin meminta pemerintah lebih cermat memperhitungkan rasio kebutuhan tenda, jumlah toilet dan fasilitas kesehatan, sesuai dengan jumlah jamaah.

“Setiap rapat dengan Kementerian Agama, DPR selalu meminta pemerintah tidak didikte perusahaan. Pemerintah harus mendikte sehingga kita bisa memilih tempat yang layak karena jumlah kita besar dan posisi kita kuat,” kata Muhaimin.

Soal Kuota Tambahan

Namun yang tampaknya masalah yang dinilai sangat serius adalah penyalahgunaan tambahan kuota haji. Timwas DPR menemukan fakta bahwa dari 20 ribu kuota tambahan yang seharusnya dialokasikan untuk jamaah reguler, 10 ribunya diberikan untuk haji khusus.

“Ini sebuah perampokan,” kata pengamat Pelayanan Ibadah Haji, Ade Marfuddin kepada Inilah.com

“Perampokan hak (jamaah haji) reguler yang diberikan kepada Haji-Plus.  Ini (bisa disebut) perampokan karena hak yang sesungguhnya bukan hak Haji Plus melainkan hak jamaah haji reguler.”

Bagi Ade, itu sebuah pelanggaran serius Undang-Undang Haji nomor 8 tahun 2019. Pelanggaran itu pun menurutnya tergolong  pelanggaran berat karena yang dilanggar pasal 64 tentang kuota. Selain itu Keppres nomor 6 tahun 2024 pun dilanggar. 

“Ini otomatis, langsung menjadi sebuah temuan besar dan ada indikasi.Mengapa diserahkan kepada pihak aji plus? Apakah pemerintah tidak sanggup menyelenggarakan?” kata dia, mempertanyakan.

Ade juga menerangkan, untuk kuota tambahan yang besarnya 20 ribu itu sebenarnya ada kesepakatan Kemenag dengan Komisi 8 DPR RI. Disepakati, porsinya delapan persen untuk haji plus dan 92 persen untuk jamaah reguler. 

“Kenyataannya, oleh pemerintah, oleh Kemenag, itu dibagi rata 50-50. Jadi ini sebuah temuan besar karena ada pelanggaran,” kata Ade. 

Dengan alasan itulah, sejak awal Ade mengusulkan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk kasus tersebut. Syukurlah, pada Kamis (4/7) lalu Rapat Paripurna DPR RI telah mengetuk palu pembentukan Panitia Khusus Pelaksanaan Haji 2024.

Ade tak lupa mengingatkan kasus sejenis di masa lalu. Ia menunjuk kasus yang menjerat menteri agama sebelumnya, Suryadharma Ali. Menurut Ade, eks menteri agama itu hanya mengambil kuota 35 milik jamaah reguler untuk memberangkatkan para kerabat dan koleganya. Untuk itu Suryadharma diproses pidana dan masuk penjara.

“Ini bukan 35 kuota, tapi hampir 8. 400 hak orang. Sudah jelas seperti itu mengapa tidak diproses? Harus adil dong!” kata Ade.

Klaim Sukses Menag Yaqut

Menariknya, bertentangan  dengan temuan Timwas DPR RI yang berujung pembentukan Pansus Haji, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas justru mendaku bahwa penyelenggaraan ibadah haji tahun ini berjalan sukses.  Yaqut mengatakan, pelayanan jamaah haji pada fase kedatangan, katering, transportasi, dan akomodasi berjalan lancar tanpa kendala.

Adapun peristiwa yang terjadi di Mina, disebutnya sebagai “tantangan”.  Menurutnya, ketersediaan area di Mina bagi jumlah 213.320 jamaah haji Indonesia membuat ruang yang tersedia kurang dari 0,8 meter persegi per orang.

“Mina dari dulu seperti itu. Sejak kuota kembali normal pada 2017 isunya selalu soal kepadatan,” kata Menag Yaqut.

Seiring pembentukan Pansus Haji, Ketua Timwas Haji DPR, Muhaimin Iskandar, menyerukan dilakukannya revolusi penyelenggaraan haji. Menurut Muhaimin, perbaikan total harus dilakukan sehingga kondisi yang memprihatinkan setiap tahun itu tidak lagi terulang. “Revolusi penanganan haji dimulai dari sini, kita akan benahi total,” ujar dia.

Revolusi Haji versi Muhaimin itu merupakan pendekatan komprehen-sif yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan semua masalah dapat diatasi dengan baik. Aspeknya antara lain transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana haji, alokasi kuota, dan peningkatan kualitas layanan.  

Menurut Muhaimin, dana haji yang begitu besar itu harus dikelola dengan baik dan transparan. “Tidak ada lagi ruang bagi para koruptor untuk melakukan praktik korupsi,” kata Muhaimin.  

Ia juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pengawasan, peningkatan koordinasi antarkementerian dan lembaga, serta lebih banyak lagi melibatkan masyarakat untuk memastikan transparansi.

“Selain itu, tentu saja kita perlu lebih tegas dalam menindak para pelaku korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan haji,” kata Muhaimin. Ia percaya, penegakan hukum yang tegas dapat memberikan efek jera bagi para pelaku, selain mencegah penyimpangan di masa mendatang. [DSY/Harris Muda/Clara Anna]