Kanal

Cinta Terpisah 36 Gerbang Masjid Nabawi

Siang kemarin, Madinah cukup terik dengan suhu udara 42°C dan kelembapan 10%. Usai shalat zhuhur, saya berkeliling di sekitar Masjid Nabawi menuju maktab tempat menginap. Di tengah ribuan orang yang lalu-lalang, tiba-tiba saya mendengar suara isak tangis. Tepat di pintu gerbang 328, seorang ibu menangis tersedu-sedu. Dari penampilannya dan penanda yang dikenakan, saya tahu bahwa ibu tersebut orang Indonesia dan berusia 60an tahun.

“Ibu, kenapa?” tanya saya. “Ibu nyasar?”

Mungkin anda suka

“Bapak, Mas,” hanya itu yang diucapkan si ibu.

“Bapak kenapa?” kejar saya.

“Bapak nggak ada. Tadi janjian di sini. Ketemu di pintu ini. Janjian setelah shalat,” ceritanya.

Saya segera menyadari bahwa ibu tersebut belum bertemu dengan suaminya. Padahal, tempat bertemu seusai shalat sudah disepakati bersama. Tempat shalat jamaah laki-laki dan perempuan memang terpisah.

“Ibu sudah menunggu berapa lama?” tanya saya.

“Satu jam lebih, Mas,” ia terus terisak. “Bapak di mana, ya?”

Saya paham akan kegelisahan dan kecemasan ibu ini. Saya berempati pada kesedihannya. Namun, dalam hati saya, saya tersenyum kecil. Sebenarnya, suaminya yang nyasar. Jika ini tempat yang sudah disepakati, si ibu sudah benar.

“Ibu sudah mencoba telepon Bapak?” tanya saya lagi.

352374080 644875441022011 2830029811148157253 N - inilah.com

Ia lalu menyodorkan handphone-nya. “Sudah,” tapi tidak bisa-bisa. “Saya kurang paham HP, Mas.”

Jamaah seperti ini memang banyak kami temui di tanah suci. Rata-rata mereka berasal dari desa, merupakan “first time traveler,” pertama kali berada jauh dari rumah, tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris, takut dan cemas dengan situasi baru.

Sebetulnya, jika mereka memahami situasinya, mungkin tidak akan panik dan sedih. Namun, perlu dipahami bahwa mereka tidak memiliki pengalaman yang cukup di tengah keramaian dan tempat besar. Jangankan di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, mungkin jika janjian di Masjid Istiqlal atau di mal saja, mereka bisa tersesat juga. Meskipun semua informasi dan penanda ada di sana.

“Ibu aslinya dari mana?” tanya saya.

“Dari Kalimantan Selatan,” jawabnya.

Saya kemudian berusaha menenangkan si ibu sambil memeriksa HP-nya. Ternyata ada beberapa “missed call” dari suaminya. Tidak lama kemudian, ada panggilan masuk. Suaminya menelepon.

“Ini Bapak telepon,” ujar saya.

Si ibu terkesiap. Saya mencoba menjawab telepon WA itu, tapi ternyata tidak bisa. Panggilan selalu gagal dan tidak terjawab. “HP ibu nanti per

lu dicek jaringannya dan disetting kembali kalau sudah bertemu dengan Bapak, ya. Atau tanyakan kepada yang mengerti di rombongan ibu,” jelas saya. Si ibu mengangguk. “Sekarang saya telepon Bapak dari HP saya.”

Saya pun mencatat nomor HP si Bapak, lalu melakukan panggilan dari HP saya. Si Bapak menjawab dengan cemas. Saya menjelaskan bahwa saya bersama istrinya dan menanyakan posisi si Bapak berada di mana. Kami melakukan video call.

“Saya di gerbang 364, Mas,” jawab si Bapak.

Wah, jauh sekali, pikir saya. Kenapa bisa sejauh itu? Ini berbeda 36 gerbang dari tempat yang disepakati, bahkan di arah yang berlawanan. Mungkin si Bapak bingung dan memilih arah yang salah ketika belok.

“Ya sudah, Bapak tunggu di sana ya. Fotokan gerbangnya, kirim ke WA saya. Nanti kami ke sana. Bapak jangan ke mana-mana,” perintah saya.

Si Bapak mengiyakan. Tidak lama kemudian, dia mengirim foto gerbang tempatnya berdiri.

Si ibu kembali menangis, kali ini mungkin tangis bahagia. Memang sulit mencari orang di tengah arus ratusan ribu manusia di Masjid Nabawi. Jika tidak mengerti, bisa panik sendiri. Baik si Bapak maupun si ibu, keduanya akan sama-sama kesulitan mencari jika situasinya seperti ini. Apalagi si ibu tidak tahu hotelnya berada di mana.

“Ibu, tenang dulu sekarang. Saya antar ibu ke sana. Insya Allah. Ibu kuat jalan?” tanya saya.

Ia mengangguk. Tidak lama kemudian, kami pun berjalan.

Sepanjang jalan, kami berbincang. Saya menanyakan ini hari ke berapa mereka berada di Madinah, ternyata hari kedua. Saya menanyakan perasaannya, dan ia menjawab senang luar biasa karena berkesempatan berhaji tahun ini. Saya menanyakan ini dan itu, saya ajak bercerita, si ibu menjadi lebih tenang dan ceria.

“Hikmahnya, ibu jadi tahu Masjid Nabawi, kan? Kita hampir keliling masjid. Ibu jadi tahu pintu-pintunya, gerbang-gerbangnya, kubah hijau, raudhah, dan lainnya. Mungkin di antara jamaah di rombongan, sekarang ibu jadi salah satu yang paling tahu. Kita berjalan melewati lebih dari 30 gerbang. Rasulullah ingin ibu melihat-lihat,” ujar saya.

Si ibu pun tersenyum, manis sekali. Sekarang tidak ada lagi kesedihan dan kegelisahan di hatinya. Ia senang mengetahui seluk-beluk Masjid Nabawi.

“Mas, itu Bapak!” teriak si ibu.

Di dekat al-Baqi, di gerbang 368, seorang Bapak berusia 65 tahunan berdiri tepat di b

awah nomor gerbang. Saya pun melambaikan tangan. Si ibu sudah berlari menghampiri si Bapak. Cinta yang terpaut 36 gerbang akhirnya bertemu.

Saya menghampiri keduanya. Si ibu sibuk menyeka air mata dengan kerudungnya. Si Bapak lalu melihat saya dan mengucapkan terima kasih. “Ya Allah, terima kasih, Mas. Tadi saya sudah bingung dan takut,” katanya.

Saya tersenyum. Tidak lama kemudian, si Bapak berusaha menjelaskan kronologis kejadian dengan nada dan cara seperti menyalahkan si ibu. Jelas si ibu tidak terima, dan mereka pun terlibat dalam sebuah perdebatan kecil. “Ibu, sih…” kata si Bapak. “Ih, Bapak yang salah. Kata Mas tadi, Bapak yang nyasar,” timpal si ibu.

Melihat adegan itu, saya tersenyum kecil. Mungkin ini yang membuat mereka terpisah 36 gerbang. Mungkin ini yang membuat si Bapak tersesat dan si ibu menangis. Hehehe.

“Sudah, Pak, Bu,” ujar saya. “Yang penting kan sekarang sudah ketemu. Hikmahnya, Insya Allah banyak. Sekarang sudah barengan lagi. Alhamdulillah,” sambung saya.

“Iya, Mas,” kata si Bapak. Si ibu masih cemberut, tidak terima disalahkan oleh suaminya.

“Sudah, sudah, Pak,” saya merangkul si Bapak. “Yang penting sekarang pulang ke hotel. Ibu mungkin sudah lapar juga. Belum makan siang.”

Saya pun menunjukkan arah hotel mereka. Tinggal lurus saja dan mudah sekali. Si Bapak pun yakin bisa sampai ke hotel. Kami berpisah setelah si Bapak memastikan hotel yang dituju.

Saya melambaikan tangan untuk salam perpisahan. Keduanya kini berpegangan tangan, berjalan menjauh dari Masjid Nabawi. Burung-burung merpati terbang rendah di lapangan Masjid. Rasulullah memang seromantis itu, kadang mengajarkan cinta kepada para tamunya dengan cara yang tak terduga. Termasuk episode cinta yang terpisah 36 gerbang ini.

Madinah, 16 Dzulqa’dah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button