KabarRamadan

Seperti Berhaji Bersama Baginda Nabi

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863)

Kami tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, Sabtu, 23 April, pukul 03.30 pagi. Sesampainya di lounge, saya dan rombongan langsung mandi dan berganti kain ihram. Fatwa jumhur ulama menyebut bahwa Bandara Jeddah masih termasuk ujung dari ‘miqat’, batas untuk menjatuhkan niat umrah atau haji, yang dimulai di Yalamlam. Lagipula, jarak antara Jeddah dan Makkah melebihi dua marhalah, memenuhi syarat untuk mengambil ‘miqat makani’, sebagaimana telah difatwakan oleh MUI.

Setelah menjatuhkan niat untuk berumrah, sejumlah larangan otomatis berlaku bagi kami. Termasuk larangan memakai pakaian berjahit bagi laki-laki, menggunakan wangi-wangian, menghindari jima’, hingga memotong kuku dan rambut. Dalam perjalanan Jeddah menuju Makkah, ‘mutawif’ (petugas yang membantu kami berumrah) memberi penjelasan mengenai rukun-rukun umrah.

Saat memasuki tanah haram, kami membaca doa dan memperbanyak zikir. “Labbaik allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik…” Kami datang kepadamu Ya Allah, kami datang. Kami datang untuk menegaskan bahwa tidak ada sekutu bagiMu, kami datang memenuhi panggilanMu. Suasana haru mendadak menyeruak di antara kami yang hanya berempat dalam rombongan. Bahkan minggu lalu niat ini belum ada, tetapi seminggu kemudian kami sudah tiba di tanah haram saja. Labbaik Allahumma ‘umratan. Kami datang memenuhi panggilanMu untuk berumrah.

Undangan Istimewa dari Allah

Rasanya benar bahwa rezeki untuk bisa berumrah atau berhaji adalah sebuah undangan langsung dari Allah. Senin tanggal 18 April niat untuk berumrah baru saja tercetus. Waktu itu Pak Zulkifli Hasan menanyakan kepada saya apakah masih memungkinkan untuk berumrah? Setelah mengumpulkan beberapa informasi, ternyata masih mungkin mengurus keberangkatan umrah untuk 10 hari terakhir Ramadan. Hari Selasa tiket pesawat dan persyaratan visa umrah diproses, hari Rabu diputuskan empat orang pergi berumrah: Pak Zul, Bu Zul, Pak Lukman, dan saya.

Bagi saya, ini seperti mimpi. Padahal sebelumnya kami sudah berniat akan beri’tikaf di Bekasi, di tempat Ustadz Adi Hidayat, seperti tahun lalu. Tetapi dalam beberapa saat, rencana itu berubah, tiket keberangkatan umrah sudah siap dan visa sudah keluar. Tinggal memutuskan di mana kami akan tinggal selama di Makkah? Ternyata hotel-hotel penuh semua. Jika pun ada, harga yang ditawarkan selangit. Seperti biaya berhaji saja.

Hari Rabu, 20 April, rencana berumrah ini hampir saja batal. Pasalnya harga kamar untuk 10 hari di Makkah tidak masuk akal. “Rasanya sayang kalau harus membayar semahal itu. Mending untuk membantu anak-anak yatim saja. Tiket umrah bisa kita batalkan.” Ujar Pak Zul sore itu. Kami pun pasrah jika harus batal umrah. Hingga akhirnya saya ingat satu nama: Abdallah Al-Mutairi. Sahabat saya asal Jordan yang mengerti seluk beluk umrah dan haji.

Ajaib. Atas bantuan Abdallah, urusan hotel selesai dalam semalam. Bahkan kami mendapatkan hotel bintang lima yang langsung di pelataran Masjidil Haram. Harganya hanya seperempat dari yang sebelumnya ditawarkan, itupun sudah termasuk layanan VIP yang disediakan Abdallah untuk kami sejak kedatangan hingga kepulangan. Tak berpikir panjang, kesempatan teramat baik ini pun kami sambut. Rasa rindu pada tanah suci, kesempatan berumrah di bulan Ramadhan dan i’tikaf 10 hari di Masjidil Haram tak bisa kami sia-siakan. Kami yakin Allah punya rencana tersendiri untuk semua ini.

Berumrah di Tengah Puasa

Usai menyimpan koper di hotel, kami langsung turun ke Masjidil Haram. Pagi itu, Sabtu 23 April, suasana masjid begitu penuh. “Kemarin, hari Jumat, saya menyelesaikan seluruh rangkaian umrah hingga 5 jam. Dari habis subuh, baru selesai jam 11 siang. Saking penuhnya.” Ujar Ustadz Adlan, muthowif kami.

Memang tahun ini umrah baru dibuka kembali setelah sebelumnya ada pembatasan karena pandemi. Antusiasme dan rasa rindu para peziarah dari seluruh dunia tumpah di Makkah pada Ramadhan tahun ini. “Suasananya sudah seperti saat haji.” Ujar Bang MHJ, sahabat kami, yang tiba dua hari lebih dulu bersama keluarganya.

Tiba di lantai dasar Masjidil Haram, kami melihat lautan manusia sedang bertawaf mengelilingi ka’bah. Bangunan suci berbentuk kubus itu tampak begitu agung. Mengirim sinyal energi tersendiri yang langsung melelehkan air mata kami. Ternyata serindu ini kami pada ka’bah. Melihat ‘maqam Ibrahim’, ‘hijr Ismail’, tiba-tiba terbayang perjuangan dua nabi agung ini meletakkan dasar-dasar ritual ibadah haji dan umrah. Melihat ‘hajar aswad’, terbayang keagungan akhlak Nabi Muhammad saat menghentikan perseteruan para kabilah tentang peletakan batu suci itu.

Tak lama kamipun bergabung dalam lautan manusia yang bertawaf mengeliling ka’bah. Betapa agung ajaran ini, bahkan 14 abad yang lalu, Islam mengajarkan kesetaraan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dari manapun latar belakang suku dan bangsanya, apapun warna kulit dan status sosialnya, semua berbaur dalam ritual tawaf. Menjadi manusia yang hanya menautkan hatinya pada satu tujuan, Allah saja. Allah yang Maha Agung.

1650836207 Picsay - inilah.com

Setiap selesai satu putaran umrah, kami menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang serta mengagungkan namanya, “Bismillahi Allahu Akbar!” Lantai Masjidil Haram yang dingin menyejukkan hati kami. Kaki-kaki berjejalan dengan warna yang berbeda-beda, semua bergerak, menyemut melakukan tawaf. Memang lebih berat berumrah di bulan Ramadhan ini, saat sedang berpuasa, apalagi dengan situasi sepadat ini. Karena pengorbanannya yang lebih besar, wajar jika Nabi Muhammad mengatakan bahwa pahala umrah di bulan Ramadan setara dengan berhaji. Bahkan berhaji bersama baginda Nabi.

Tangis dan Doa Seorang Hamba

Di sela-sela tawaf dan sa’i, saya mendengar isak tangis penuh haru. Tangis yang menular, membuat suara saya bergetar saat membacakan talbiyah atau doa tawaf dan sa’i. Saya melihat Pak Zul tak kuasa menahan air mata saat bertawaf, bahkan hingga menutupi mulutnya dengan punggung yang berguncang. Doa dan harapan apapun yang diucapkan dalam hatinya, saya yakin itu doa yang baik. Demikian juga Bu Zul dan Pak Lukman. Ada momen yang membuat kami semua tak kuasa menahan air mata saat melantunkan doa-doa.

- inilah.com

Dalam hati, selain mendoakan keluarga dan orang-orang terdekat, diam-diam saya mendoakan juga Pak Zul, Bu Zul, dan Pak Lukman. Saya bersaksi mereka orang-orang baik yang terpaut hatinya kepada Allah dan Rasulullah. Di depan multazam, pintu Ka’bah tempat Rasulullah meminta, setelah shalat sunnah dua rakaat, kami semua berdoa, menengadahkan tangan. Curhat tentang banyak hal kepada Allah. Menyandarkan segala harapan. Menyebut nama orang-orang yang kami cintai. Konon segala doa yang dilafalkan di tempat ini akan dikabulkan, dibawa langsung oleh para malaikat menembus langit.

Dalam waktu kurang lebih dua jam, seluruh rangkaian umrah pun selesai kami laksanakan. Ditutup dengan tahalul, ritual memotong sedikit ujung rambut, tanda berakhirnya ‘ihram’ atau larangan-larangan. Suasana haru, lega, bahagia, semua bercampur jadi satu. Tak terbayang sebelumnya tahun ini saya bisa berumrah. Betapa istimewa kesempatan dan rezeki yang datang tiba-tiba ini.

Berapa di antara kita yang ingin pergi ke tanah suci, berumrah atau berhaji? Berapa di antara kita yang bermimpi melakukannya di bulan Ramadan, yang konon keutamaannya seperti berhaji bersama Baginda Nabi? Saya berdoa semoga undangan yang sama juga segera menghampiri teman-teman pembaca semua. Saya pun berdoa, semoga kelak bisa mengulangi lagi semua ini bersama istri dan anak-anak.

Ada banyak doa yang perlu dicurahkan. Termasuk doa-doa untuk Indonesia.

Salam dari Makkah. Sebentar lagi waktu berbuka.

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button