Kanal

Setelah Jokowi Isyaratkan Rambut Putih; Andai KIB Capreskan Ganjar…

Dengan melakukan semua itu, wajar bila ada sebagian publik yang berpikir apakah semua itu terjadi karena Presiden sudah kehabisan cara untuk melakukan dukungan kepada politisi pilihan yang ia idamkan menggantikan dirinya? Istilah bahasa Sunda-nya, apakah memang sudah “beak dengkak”?

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

Kecenderungan Presiden Jokowi menjagokan Ganjar Pranowo untuk menjadi calon presiden yang potensial menggantikan dirinya pasca-Pilpres 2024 mendatang, kian menyeruak kuat.  Setelah sempat memberikan sinyal pada Rakernas Projo di Magelang, Jawa Tengah, Mei lalu, sinyal itu kembali Jokowi gaungkan pada acara relawan pendukungnya di Stadion GBK, Senayan, Sabtu (26/11).

Dengan kata-kata sarat symbol yang khas Jawa, Jokowi bicara tentang sosok pemimpin berambut putih yang dinilainya ideal menjadi presiden di Indonesia. “Pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan. Dari mukanya, penampilannya itu kelihatan banyak kerutan di wajahnya karena mikirin rakyat. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua, ada itu,”kata Jokowi di hadapan para relawan pendukung yang terlihat antusias mengelu-elukan dirinya.

Dengan segera ‘rambut putih’ itu diinterpretasikan media sebagai symbol plus dukungan Jokowi buat Ganjar Pranowo. Karena, selain Hatta Radjasa yang jauh dari kontestasi Pilpres 2024, politisi terkemuka lain yang berambut putih adalah Ganjar. Apalagi, selain memang potensial berlaga di Pilpres mendatang, Ganjar pun bukan hanya sekali ini seakan mendapatkan dukungan Jokowi.

Soal etis dan tidak etis

Jokowi memang seorang warga negara RI, dan untuk itu ia memiliki hak politik yang utuh, termasuk mendukung seseorang untuk memegang jabatan politik di negeri ini. Sayangnya, di depan namanya sejak Oktober 2014 lalu terpampang posisi dan jabatan sebagai seorang presiden. Jabatan yang telah memberinya sejumlah hak dan previlese itu, di sisi lain mengurangi kebebasannya. Karena itu, alih-alih menguar-uar dukungan kepada tokoh yang dekat dengannya, akan lebih bijak bila Presiden menahan diri.

Karena jabatan itulah, Jokowi tidak lagi bisa dengan bebas dan—maafkan istilah ini—seenaknya mendukung seseorang. Apalagi dengan menguarkannya dalam pertemuan publik yang terbuka. Dengan jabatannya sebagai presiden, ikut cawe-cawe dalam urusan—kata publik awam—“copras-capres” hanya mengundang kecurigaan bahwa Presiden Jokowi berusaha mengintervensi.

Dari sisi etika politik, dukungan terbuka seperti itu barangkali sama kurang etisnya dengan pernyataan yang sempat disampaikan Presiden di Puncak Peringatan HUT Golkar, 21 Oktober lalu. Saat itu Jokowi meminta Golkar tidak berlama-lama untuk mendeklarasikan siapa capres mereka untuk Pilpres 2024. Sementara, meski jarang digembar-gemborkan, Partai Golkar sejauh ini secara resmi memegang sikap untuk mencalonkan Airlangga Hartarto sebagaimana hasil Munas dan Rakernas partai itu.

Apakah makna untuk tidak berlama-lama tersebut, yang dimaksudkan sebenarnya adalah sebagaimana kecurigaan ahli hukum tata negara Refly Harun? Melalui kanal podcast-nya yang popular, Refly mengatakan,”Yang dimaksud tidak berlama-lama itu (adalah) Golkar dan koalisinya mendeklarasikan Ganjar Pranowo.”

Dengan melakukan semua itu, wajar bila ada sebagian publik yang berpikir apakah semua itu terjadi karena Presiden sudah kehabisan cara untuk melakukan dukungan kepada politisi pilihan yang ia idamkan menggantikan dirinya? Istilah bahasa Sunda-nya, apakah memang sudah “beak dengkak”?

Kecurigaan seperti itu wajar, apalagi karena Presiden Jokowi pun seolah menggunakan cara berpolitik yang sudah tidak semestinya ia pakai sebagai seorang presiden. Dengan justifikasi melalui kehadiran puluhan ribu pendukungnya, Presiden rentan akan tudingan memakai politik massa. Selain jenis politik yang disebut-sebut pertama kali meluas dalam Reformasi Protestan di abad ke-16 itu sudah terlalu ‘konvensional’, dalam tulisannya untuk Foreign Exchange, Daniel Bessner, associate Professor di University of Washington, mengatakan, saat ini adalah masa “The Ends of Mass Politics”, sebagaimana judul tulisannya. Sisi baiknya, bagaimana pun demokrasi yang sehat tentu saja adalah demokrasi yang diisi dengan kontestasi dan persuasi gagasan, bukan dengan adu massa. Apalagi politik massa pun seringkali gampang terhanyut dan menjadi identik dengan logika otot dan psikologi gerombolan.

Bisa saja wacana soal seringnya Jokowi (seolah) memihak dan menggadang-gadang Ganjar ini dikaitkan dengan tarik-menarik dan adu kuat antara kepentingan Jokowi dengan kubu elit PDIP, dalam hal ini Ketua Umum Megawati, para pimpinan DPP, dan para  pendukung pencapresan Ketua DPR RI, Puan Maharani. Namun, itu bukan fokus tulisan ini.

Saya lebih suka melihat seruan berulang, pengungkapan simbolis, atau apa pun namanya dari Jokowi itu, sebagai tekanan Jokowi kepada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Namun tidak pada tempatnya bila saya menduga-duga, ada kesepakatan apa antara (para elit) KIB dengan Jokowi? Apalagi, kecurigaan bahwa KIB memang dibentuk dengan latar belakang kepentingan Jokowi, yang muncul bahkan sejak hari-hari pertama munculnya KIB, juga tak pernah memperoleh pembuktian yang solid.

Hanya, andai saja KIB, dengan tekanan dan ‘utang budi politik’ apapun bentuknya, pada akhirnya mencapreskan Ganjar, saya kira bayarannya bagi para anggota koalisi KIB sangatlah mahal.  Terutama buat Partai Golkar.

Bila tudingan yang sebenarnya sejak awal berdirinya KIB pun sudah mengemuka–yakni KIB sejatinya kendaraan politik buat kepentingan Jokowi-Ganjar—, lalu semua itu terjadi, entah berapa banyak warga Golkar yang akan melihat fenomena itu sebagai upaya elit Golkar menjual partai dengan harga murah. Saya kira efeknya akan jauh lebih dramatis dibandingkan persepsi para pendukung fanatik Prabowo di 2014-2019 kepada ‘idola’ mereka itu, di saat menghadapi kenyataan Prabowo bahwa ternyata mau bergabung di kabinet.  Prabowo tentu punya alasan rasional. Para (mantan) pendukung fanatiknya punya alasan yang pondasinya mencengkeram kuat di hati.

Mungkin saja tidak sebagaimana Prabowo, para pendukung Airlangga di internal Golkar tidaklah didasarkan pada fanatisme. Sebagaimana karakter kader Golkar umumnya, mungkin mereka lebih rasional, dan karena itu lebih pragmatis. Tetapi bisa jadi, sikap pragmatis itu hanya ada di jajaran elit Golkar. Sementara bagi para pendukung di akar rumput, hal-hal yang lebih ideal, seperti konsistensi kepada  hasil Munas dan Rakernas, percaya dan memperjuangkan sekuatnya kader sendiri jadi presiden,  jauh lebih berharga dibanding sekadar “(Pak) Turut menang Pemilu”. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button