Dukungan Washington terhadap Ukraina mulai kehilangan momentum. Pergeseran kebijakan Presiden Donald Trump itu memunculkan kemungkinan Amerika Serikat memberi Rusia kemenangan ganda yang strategis, satu di wilayah Eropa Timur dan satu lagi di Timur Tengah.
Meskipun sudah lama berseteru dengan Moskow, Amerika Serikat mempertimbangkan langkah yang dapat membangun kembali kehadiran militer Rusia di Suriah, mungkin atas perintah Israel. Menurut sumber yang dikutip Reuters, Israel telah melobi Washington untuk mengizinkan Rusia mempertahankan pangkalan militernya di Suriah, sebuah upaya yang bertujuan untuk melawan meningkatnya pengaruh Turki di wilayah tersebut.
Dorongan ini muncul pada saat kritis bagi Suriah, karena rezim Islam baru, yang didukung Turki, berupaya mengonsolidasikan kekuasaan dan meyakinkan AS untuk mencabut sanksi.
Ashish Dangwal dalam tulisannya di Eurasian Times mengungkapkan, Israel secara terbuka menyuarakan kekhawatirannya terhadap Hayat Tahrir al-Sham (HTS), faksi Islamis yang memimpin kampanye untuk menggulingkan Bashar al-Assad. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menyatakan bahwa Israel tidak akan menoleransi HTS atau pasukan apa pun yang berafiliasi dengan rezim baru Suriah di dekat perbatasannya.
Menurut Ashish Dangwal, Israel telah lama memandang ketidakstabilan Suriah sebagai ancaman keamanan dan telah mengambil sikap agresif terhadap kepemimpinan baru. Israel bahkan telah melancarkan serangkaian serangan militer di dalam wilayah Suriah, yang menargetkan lokasi militer utama dan depot senjata.
Sumber-sumber juga mengungkapkan bahwa Israel menyampaikan pendiriannya kepada para pejabat senior AS selama pertemuan di Washington pada bulan Februari dan dalam diskusi lanjutan di Israel dengan perwakilan Kongres AS. Juga dicatat bahwa poin-poin utama dibagikan kepada beberapa pejabat tinggi AS melalui sebuah “buku putih” Israel.
“Namun, sejauh mana Presiden AS Trump akan mendukung usulan ini masih belum pasti. Pemerintahannya sebagian besar menghindari pernyataan yang jelas tentang Suriah, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang apakah pasukan AS akan tetap berada di sana atau apakah sanksi akan dicabut,” tulis Ashish Dangwal, yang memegang gelar Master dalam studi Asia Timur.
Sementara itu, pejabat Israel telah menyatakan kekhawatiran mendalam atas meningkatnya peran Turki sebagai sekutu dekat pemimpin baru Suriah. Presiden Turki Tayyip Erdogan telah menjadi kritikus vokal Israel, yang menganjurkan aliansi Islam untuk melawan apa yang disebutnya “ekspansionisme” Israel.
Pernyataan terkini dari Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menunjukkan bahwa Israel khawatir Turki mungkin membantu Iran memperkuat Hizbullah, yang secara efektif menciptakan front lain melawan Israel.
Kemungkinan Kemenangan Besar Bagi Rusia?
Jika AS pada akhirnya mendukung Rusia dalam mempertahankan pangkalan di Suriah—entah karena kebutuhan strategis atau sebagai hasil sampingan dari lobi Israel—hal itu dapat memberikan Moskow kemenangan geopolitik di saat upaya bantuan Washington untuk Ukraina juga sedang tertekan.
Runtuhnya rezim Suriah, lanjut Ashish Dangwal, telah memberikan pukulan telak bagi pengaruh regional Rusia. Pergeseran kekuasaan telah menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan pangkalan militer utama Moskow—Pangkalan Angkatan Laut Tartus dan Pangkalan Udara Khmeimim.
Tartus, khususnya, memiliki posisi strategis bagi Rusia. Fasilitas angkatan laut ini merupakan pintu gerbang Moskow ke Mediterania, yang memungkinkan akses ke Libya, Laut Merah, dan dukungan logistik lebih luas untuk kegiatan militernya di Afrika, termasuk operasi di Sudan dan Afrika Barat.
“Hanya saja, tanpa kesepakatan yang jelas dengan pimpinan baru Suriah, Rusia terpaksa mengurangi kehadirannya, dan secara bertahap menarik pasukan maupun aset militer dari wilayah tersebut,” tambahnya.
Meskipun Rusia memiliki pangkalan alternatif di Libya dan Aljazair, lokasi-lokasi ini memiliki kerumitan logistik dan politik. Selain itu, kendala geografis dan persyaratan pemeliharaan akan membuat pangkalan-pangkalan ini kurang efektif dibandingkan infrastruktur militer Suriah yang sudah mapan.
Masa depan kehadiran Rusia di Suriah sebagian besar berada di tangan Presiden sementara Ahmed Sharaa. Tidak seperti pendahulunya, Bashar al-Assad, yang memberi Rusia hak sewa selama 49 tahun untuk Tartus dan hak sewa tak terbatas untuk Khmeimim, Sharaa berupaya merundingkan kembali perjanjian ini untuk mengamankan persyaratan yang lebih menguntungkan bagi Suriah.
Akan tetapi, alih-alih memutuskan hubungan sepenuhnya dengan Moskow, ia tampak terbuka untuk mengizinkan Rusia mempertahankan pijakan militernya dengan imbalan dukungan diplomatik dan insentif finansial.
Mengingat Rusia telah terlibat erat dalam sektor ekonomi dan pertahanan Suriah selama beberapa dekade, jauh sebelum secara resmi melakukan intervensi dalam perang saudara Suriah pada 2015, kompromi seperti itu akan memungkinkan kedua pihak untuk melindungi kepentingannya masing-masing.
Meskipun ada upaya baru-baru ini oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk meringankan sanksi terhadap Suriah, negara itu masih berada dalam kondisi ekonomi yang buruk, dengan pembatasan yang terus berlanjut sehingga mempersulit perdagangan internasional. Aliran baru peralatan militer, bahan bakar, dan gandum Rusia dapat menyediakan jalur kehidupan ekonomi yang sangat dibutuhkan.
Jika Washington memutuskan untuk mengikuti rekomendasi Israel dan menyetujui kehadiran Rusia di Suriah, Moskow dapat dengan cepat membangun kembali jejak militernya secara penuh di wilayah tersebut. Namun, skenario ini membawa implikasi geopolitik yang lebih luas.
Kehadiran Rusia yang semakin kuat tidak hanya akan menambah pengaruhnya di Suriah tetapi juga akan berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan AS di kawasan tersebut. Saat ini, Amerika Serikat tetap menjadi penghalang utama bagi ambisi HTS yang lebih luas untuk menguasai seluruh Suriah, karena Washington terus mendukung kelompok Kurdi dan suku di utara dan timur.
Pada saat yang sama, Israel berfokus pada penghancuran infrastruktur militer Suriah yang tersisa untuk mencegah senjata jatuh ke tangan pemberontak Islam. Dalam situasi ini, Ashish Dangwal menyebut, Rusia dapat berperan sebagai perantara utama, yang membentuk keseimbangan kekuatan antara kekuatan-kekuatan yang bersaing ini.