Mantan Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo merasa prihatin dengan jebloknya penerimaan negara dari sektor pajak. Tercermin dari rendahnya rasio pajak atau tax ratio yang berada di kisaran 9-10 persen.
Wajar Hadi kecewa. Saat memimpin Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2001-2006, tax ratio bisa terjaga di level 11-12 persen. Bandingkan dengan tax ratio 2022 tercatat 10,4 persen (audited). Setahun kemudian turun 10,2 persen (unaudited).
Tahun ini dan ke depan, proyeksi pajak Sri Mulyani lebih bikin miris lagi. Karena tax ratio anjlok ke level 9,53 persen. Alhasil, sepuluh tahun Jokowi berkuasa, tax ratio hanya berada di kisaran 9-10 persenan.
Pada 2025, Sri Mulyani meramalkan adanya kenaikan tipis tax ratio menjadi 10,12 persen. Selanjutnya pada 2026 sebesar 10,31 persen dan 2027 menjadi 10,41 persen.
“Dari data-data di atas bisa dipertanyakan mengapa tax ratio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal seperti periode pemerintahan sebelumnya,” kata Hadi dalam sebuah diskusi daring yang diinisiasi Universitas Paramadina, Jakarta, dikutip Rabu (7/2/2024).
Asal tahu saja, tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB). Tax ratin merupakan parameter untuk mengukur penerimaan pajak dari total perekonomian suatu negara.
Rendahnya setoran pajak, kata Hadi, karena yang dihitung adalah surat pemberitahuan pajak atau SPT. Artinya, petugas pajak tidak bisa melakukan monitoring untuk menguji benarkah jumlah, item, sumber-sumber keuangan di SPT.
“Dari situlah timbul terus persoalan seolah-olah terjadi macam-macam. Padahal itulah kesempatan yang diberi UU, untuk tidak ditutup,” ujarnya.
Dampak jebloknya pajak membuat anggaran semakin berat. Potensi defisit anggaran melebar yang ditambal dengan cara mudah. Yakni menimbun utang.
Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr Handi Risza mengkhawatirkan nasib Indonesia seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka. Gara-gara utang jumbo, negara-negara itu mengalami krisis keuangan.
Sebut saja Venezuela, negara di Amerika Latin yang dikenal kaya minyak bumi. Perekonomiannya runtuh juga gara-gara utang. Indonesia juga punya potensi yang sama. Apalagi, banyak proyek di era Jokowi yang dibiayai utang dari China.
“Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta – Bandung semula dianggarkan 7 miliar dolar AS, kemudian membengkak signifikan menjadi 11 miliar dolar AS. Jika tidak hati-hati dan segera melunasi utang, maka khawatir kasusnya sama dengan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka,” kata Handi.
Pada 2018, pemerintah Sri Langka harus merelakan Pelabuhan Hambantota jatuh ke China. Gara-gara tak kuat melunasi utang US$1,5 miliar ke negeri tirai bambu itu.
Masih kata Handi, kunci utama pengelolaan utang. Indonesia patut meniru Jepang, Korea dan Cina, yakni penegakan hukum yang kuat. Serta budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara serta pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.
“Terhitung sejak 2017, utang Indonesia memiliki kecenderungan naik signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan utang terlihat jelas pada 2020-2023,” kata Handi.
Leave a Reply
Lihat Komentar