Ada yang membandingkan kecepatan dan keanggunannya di atas kanvas dengan seniman striking kawakan. Ada pula yang menyebutnya mengingatkan pada kombinasi ketenangan ala Khabib Nurmagomedov—Khabib Nurmuhammad– dengan skill striking unik a la “Wonderboy” Thompson. Kehebatan ini semakin memesona jika diingat bahwa ia melakukannya dengan satu mata normal saja.
Pada malam 21 Oktober 2023 di Etihad Arena, Abu Dhabi, seorang pendatang baru di UFC kontan mencuri perhatian dunia. Sharaputdin “Shara Bullet” Mogamedov—dalam bahasa Indonesia mungkin Syarafuddin Muhammad–petarung middleweight asal Dagestan, tampil fenomenal ketika ia menaklukkan Bruno Silva. Di atas kertas, Silva adalah lawan tangguh dengan pengalaman matang, tapi Shara—dengan striking agresif dan takedown yang solid—membuatnya tampak tak berdaya.
Para penggemar bela diri campuran (MMA) dunia, yang semula mungkin tak akrab dengan Shara, terpaku menatap layar: siapa gerangan pria yang meliuk lincah di atas kanvas, mengendalikan ritme, seolah tak hendak melewatka setiap celah kesempatan menghajar lawan itu?
Menariknya, Shara tidak berjuang dengan kedua mata seperti para petarung lain. Fakta yang jarang diketahui: petarung 29 tahun itu hanya mengandalkan satu mata yang berfungsi penuh. Mata kirinya rusak akibat kecelakaan saat remaja. Menurut cerita yang berkembang di lingkaran dalam timnya, Shara mengalami insiden tragis ketika masih belasan tahun. Ia terjatuh dalam sesi latihan kickboxing di sasana lokal, lalu mengenai benda tajam yang melukai mata kirinya dengan parah. Setelah operasi dan rangkaian terapi, dokter menyatakan fungsi penglihatan mata kirinya tak dapat kembali normal. Satu-satunya pilihan bagi Shara adalah beradaptasi.
Bagi sebagian orang, hal itu mungkin jadi akhir mimpi. Namun, Shara menjadikannya motivasi. Ia melatih indra lain dengan ketat, meningkatkan kemampuan memprediksi gerakan lawan melalui insting, “feeling” jarak, dan respons refleks sempurna. Salah satu pelatihnya, Ruslan Gadzhaev, pernah berseloroh saat melihat Shara muda bertarung, “Dia bergerak seperti peluru, cepat, presisi, dan mematikan.” Dari sanalah julukan “Bullet” melekat. Nama asli “Sharaputdin Magomedov” memang terdengar khas Dagestan, tetapi di sirkuit MMA, nama “Shara Bullet” kini lebih dikenal. Julukan itu bukan sekadar hiasan, tapi cermin gaya bertarungnya yang secepat letupan peluru—meski hanya dengan satu mata optimal.
Debut di UFC itu bagai momen pembuktian. Di tengah sorak-sorai penonton, ia bersikap tenang. “Ini baru awal,” katanya dalam wawancara pasca-pertarungan. “Saya senang bisa menunjukkan sedikit dari kemampuan saya. Silva lawan tangguh, tapi saya sudah lama mempersiapkan diri. Ke depan, saya berharap menampilkan lebih banyak dan menghibur para penggemar.”
Karier Shara tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh di Dagestan, kawasan yang telah melahirkan banyak petarung dunia berkualitas. Tradisi gulat, sambo, dan bela diri lain telah mendarah daging di sana. Namun, Shara lebih dulu meniti langkah di dunia kickboxing profesional sebelum akhirnya hijrah ke MMA. Dari Eropa hingga Asia, ia mengumpulkan kemenangan impresif dan highlight brutal. Saat UFC akhirnya mengetuk pintu, nama Shara sudah diperhitungkan oleh pengamat regional.
“Dia bukan hanya striker murni,” ujar analis MMA asal Rusia, Viktor Lebedev, dalam sebuah wawancara televisi. “Dia memiliki pemahaman ruang dan jarak yang cerdas. Dia tahu kapan maju dan mundur, seakan punya radar di kepalanya. Reaksi cepatnya lahir dari latihan disiplin dan bakat alami.” Pernyataan ini terdengar lebih istimewa jika kita ingat bahwa Shara melakukannya dengan keterbatasan penglihatan. Ia harus mengandalkan mata kanan sepenuhnya, sembari mempertajam indera lain.
Sebelum masuk ke UFC, Shara dikenal di berbagai promosi MMA Eropa dan Timur Tengah. Ia mengalahkan sejumlah petarung lewat KO spektakuler—tendangan tinggi, pukulan straight yang tepat menghantam rahang, atau kombinasi serangan yang tak terduga. Ketika UFC mengumumkan kontraknya, forum-forum MMA mulai membahas sosok misterius ini. Namun, tak ada yang menyangka debutnya akan sesensasional itu.
Bicara soal persiapan, Shara dikenal sangat disiplin. Kamp latihannya di Dagestan kerap diwarnai menu latihan kardio ekstrem. Ia berlari di pegunungan, sprint menanjak, latihan kekuatan dengan beban tubuh, serta mengatur pola makan ketat: rendah gula, daging tanpa lemak, sayuran hijau, dan suplemen terukur. “Anda tidak bisa masuk oktagon dan berharap menang jika tidak serius merawat tubuh—mesin utama Anda,” katanya dalam sebuah wawancara.
Selain fisik, Shara juga menekankan aspek mental. Salah satu rekan latihannya, Bekhan Magomaev, menceritakan anekdot: sebelum sebuah pertarungan regional, Shara datang pagi-pagi ke sasana dan duduk tafakur setengah jam, mata terpejam, napas teratur. Setelah itu, barulah ia berlatih keras tanpa jeda. “Itu seperti ritual baginya,” kata Bekhan. “Dia menenangkan pikiran sebelum ‘menyerang’.”
Ketenangan ini memancar di oktagon. Shara jarang gegabah. Ia menunggu saat tepat melepaskan serangan berbahaya. “Ini seperti catur,” ujarnya suatu kali. “Setiap langkah harus diperhitungkan. Salah sedikit, Anda bisa berakhir di atas kanvas dengan wajah penuh luka.” Filosofi ini selaras dengan latar belakangnya. Di Dagestan, disiplin dan kehormatan adalah nilai yang dipegang teguh. Keluarga Shara selalu mengingatkan: kekuatan fisik bukan segalanya, moral dan kehormatan juga penting.
Kini, setelah debut gemilangnya, mata para penggemar MMA di seluruh dunia tertuju padanya. Video highlight beredar luas, forum-forum online ramai membahas nama “Shara Bullet.” Ada yang membandingkan kecepatan dan keanggunannya di atas kanvas dengan seniman striking kawakan. Ada pula yang menyebutnya mengingatkan pada kombinasi ketenangan ala Khabib Nurmagomedov dengan skill striking unik a la “Wonderboy” Thompson. Kehebatan ini semakin memesona jika diingat bahwa ia melakukannya dengan satu mata kuat saja.
“Dia telah menunjukkan bahwa keterbatasan tidak menghalangi prestasi,” ujar seorang penggemar di media sosial. “Dengan satu mata, dia bisa melihat peluang yang banyak petarung lain tak lihat dengan dua mata.”
Tantangan berikutnya telah menanti. Divisi middleweight UFC bukanlah tempat yang ramah bagi siapa pun. Rival tangguh, spesialis gulat tak kenal ampun, dan striker mematikan akan siap menantangnya. Namun, Shara tampak tak gentar. “Saya petarung. Fokus saya adalah berlatih, menjadi lebih baik dari hari ke hari,” katanya singkat. “Fans boleh berekspektasi, media boleh berspekulasi, tapi ketika pintu oktagon ditutup, hanya ada saya, lawan, dan teknik yang telah saya asah.”
Sebagai “pendatang baru” di UFC, Shara memang belum masuk 15 besar. Namun, ia bukan sekadar petarung jalanan yang tiba-tiba melejit; Shara datang dengan rekam jejak prestasi yang mentereng di berbagai ajang striking. Salah satu turnamen yang pernah ia jajal adalah Wu Lin Feng (WLF) di Tiongkok, sebuah liga kickboxing yang dikenal ketat dan kerap mengundang nama-nama besar dari Asia maupun Eropa.
Di ajang-ajang seperti WLF Tiongkok, Shara mampu menorehkan performa yang meyakinkan—menang atas sejumlah lawan kuat, beberapa di antaranya lewat KO yang bersih dan penuh teknik.
Setelah mengukir prestasi di arena striking, Shara mulai beralih ke MMA. Ia mengadu nasib di promosi-promosi regional Rusia, Chechnya, hingga Timur Tengah. Salah satu jalur yang pernah ia masuki adalah AMC Fight Nights, sebuah promosi MMA di Rusia yang melahirkan banyak petarung berbakat. Di situ, Shara memperpanjang rekor tak terkalahkan dengan mengalahkan lawan-lawan kompetitif melalui KO maupun keputusan angka mutlak.
Dengan satu mata yang berfungsi penuh, ia menembus sekat-sekat keterbatasan. Datang dari kerasnya lingkungan Dagestan, membawa disiplin dan keheningan spiritual ke medan pertempuran UFC, Shara kini menjadi sosok yang patut dicermati. Ke depan, perjalanan kariernya bisa menjadi inspirasi: bahwa ketangguhan lahir bukan hanya dari fisik sempurna, tetapi juga dari tekad, kecerdasan, dan keberanian menghadapi apa pun yang dianggap mustahil.