Kanal

Siapa Capres yang Akan Diusung Koalisi Indonesia Bersatu?

Oleh: Darmawan Sepriyossa

‘Terbentuknya’ koalisi tiga partai politik, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam ikatan koalisi Indonesia Bersatu, segera saja membuat jagat politik Indonesia menghangat. Aneka prediksi, telaah, kajian, bahkan sentimen kelompok berbalut analisis politik pun merebak dalam dua hari terakhir ini.

Yang tampak paling gerah adalah lingkaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal itu sangatlah wajar dan masuk akal. Bagaimana pun, gabungan suara ketiga partai tersebut serta merta membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak lagi menjadi satu-satunya kekuatan politik resmi di Indonesia yang mampu secara sah menentukan calon presiden yang akan mereka jagokan untuk Pemilu 2024.

Sebagaimana ditetapkan pasal 222 UU Pemilu 7/2017, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, yang dapat mengajukan capres/cawapres. Dengan menguasai 128 kursi dari total 575 kursi DPR RI, maka PDIP selama ini menguasai 22,26 persen kursi DPR. Artinya, sendirian pun partai Banteng ini bisa mengajukan pasangan capres-cawapres.

Hampir tiga tahun ini PDIP menikmati posisi khusus yang hanya mereka sendiri miliki itu. Tidak heran kalau kehadiran koalisi Indonesia Bersatu, ibaratnya, membuat mereka terpana dengan mulut menganga. Tak ada lagi kini previlese itu, pada saat yang bahkan orang-orang belum lagi siap untuk membicarakan, apalagi ‘berniaga’ dengan urusan tersebut. Pada sisi ini, siapa pun otak yang berada di balik manuver koalisi tersebut, layak untuk dikasih tabik.

Sikap gerah lingkaran PDIP itu ditunjukkan, misalnya, oleh dua kader PDIP, Mochtar Mohamad dan Masinton Pasaribu, dalam dua kesempatan berbeda. Mochtar, ketua relawan Laskar Ganjar-Puan, langsung menyebut koalisi itu akan layu sebelum berkembang dalam usia seumur jagung. Koalisi Golkar,PAN,PPP tersebut, kata Mochtar, tak lain hanya alat bargaining politik di tengah menguatnya isu reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Jokowi.

Alasan Mochtar, terutama seputar elektabilitas masing-masing ketiga pimpinan parpol tersebut yang sangat rendah. Koalisi semacam ini berpeluang tidak tahan lama dan bisa bubar di tengah jalan,” kata Mochtar, mantan wali kota Bekasi itu. Ia lupa akan kemungkinan bahwa ketiga ketua umum parpol itu bisa saja tak berhasrat untuk maju, melainkan hanya ingin menjadi ‘King Maker’ yang pada saatnya memiliki pengaruh kuat kepada pasangan presiden-wapres terpilih.

Sementara kegerahan Masinton ditunjukkan oleh wanti-wanti yang ia lontarkan soal tak eloknya partai dan koalisi partai politik yang sekadar “jualan tiket” kepada calon non-kader.

“Jangan berubah jadi partai dagang atau koalisi dagang, gitu loh. Jadi, orang yang mencalonkan tadi harus (dulu) masuk parpol,”kata Masinton dalam diskusi polemik Trijaya ‘Kasak Kusuk Koalisi Partai dan Capres 2024’, yang digelar Sabtu (14/5).

Masinton mengatakan, jika masih ada partai atau koalisi partai yang berkiblat menjadi pedagang tiket untuk calon dari luar partai politik, sama saja dengan merusak marwah dan warna politik di Indonesia. Dirinya, kata Masinton, tidak ingin partai politik bisa dibeli para oligarki pemodal, yang arah dan tujuannya berbeda dengan niat para parpol yang-–dalam klaim dia–selama ini memang demi kepentingan rakyat. Anda tentu saja bebas untuk tersenyum simpul dengan segala pernyataan tersebut.

Suara koalisi untuk siapa?

Lepas dari sikap skeptis banyak pihak di luar warga ketiga parpol koalisi, kita tentu boleh-boleh saja menerka siapa calon yang akan diajukan pihak baru yang jelas-jelas telah memiliki tiket sah untuk mendukung pasangan capres-cawapres di 2024 tersebut.

Sampai saat ini—apalagi usia koalisi sendiri belum lagi sepekan–Partai Golkar selalu menjawab diplomatis tentang siapa capres yang akan mereka ajukan. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hassan Syadzili, saat ditanya usai pertemuan  pertama koalisi, Kamis malam lalu, mengatakan bahwa soal capres itu mengacu pada amanat Munas Golkar—yang menyatakan mendukung Airlangga sebagai capres.

Demikian pula Ketua DPP Partai Golkar Firman Soebagyo, yang senantiasa  menyatakan partainya tetap bertekad mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres.

“Pandangan orang macam-macam, tapi kami konsisten, calon [presiden] kami Ketua Umum [Airlangga] itu amanat Munas Golkar 2019. Kami harus all out. Kami tidak boleh kendor dan tidak boleh berspekulasi dan main-main,”kata Firman pada 23 Februari lalu.

Tetapi semua orang di Indonesia tahu, urusan ini tidak sekadar karena dalam soal kekuasaan, semua hal didasarkan kepada entitas paling abadi dalam dunia politik, yakni kepentingan.

Tidak hanya itu. Tetapi juga karena semua orang Indonesia tahu pasti bahwa (warga) Partai Golkar adalah makhluk-makhluk politik yang tak bisa hidup tanpa kekuasaan di tangan. Dan tampaknya, sejatinya di sini itu tak hanya menjadi watak Partai Golkar, meski hal itu menguar paling kuat di partai tersebut.

Lihat saja pasca-Pemilu 2014, yang menempatkan Partai Golkar secara resmi sebagai partai—maaf—pecundang. Yang kita lihat, segera saja anasir-anasir dalam tubuh partai terpecah, masing-masing mencari pegangan dan pijakan untuk ikut tergabung dalam gerbong kekuasaan dan kecipratan menikmatinya.

Watak yang tampaknya genuine inilah yang akan menghalangi Golkar untuk konsisten pada hasil Munas 2019, terutama dalam soal pencalonan presiden. Salah? Tentu saja tidak, karena berpolitik hakikatnya lebih pada urusan mencari peluang secara cantik, pintar penuh taktik, mungkin pula sedikit licik, dan sama sekali bukan bagaimana menjadi keras kepala.

Perlu diingat, bagaimanapun Golkar sudah cukup lama tidak mengusung capres-cawapres sendiri, sejak mereka mengusung JK sebagai capres dan Wiranto sebagai cawapres pada Pemilu 2009. Jadi, sebenarnya pada Kamis malam lalu, manakala Airlangga berhasil membujuk dua rekannya sesama ketua parpol untuk membangun koalisi politik yang jelas-jelas mereka katakan ‘guna keperluan 2024’, sejatinya sudah tak ada lagi lawan Airlangga di internal partai. Seharusnya, para politisi Golkar yang hendak menggoyang Airlangga dari dalam, tahu posisi ketua umumnya kini kokoh dan berakar.

Keberhasilan itu tentu saja membuat tak hanya Airlangga, melainkan seluruh warga Golkar besar hati dan penuh bangga diri. Itu memungkinkan mereka yakin untuk bisa mencoba meraih keberhasilan kedua, yakni mengusung kadernya sendiri menjadi calon presiden atau calon wapres. Tetapi, satu hal sangat jelas pula, Partai Golkar tidak akan menyia-nyiakan alias menjadikan modal koalisi itu menjadi mubazir dengan salah pilih calon karena –misalnya—ngotot mempertahankan pilihan.

Setelah kita mempertimbangkan hal itu, maka kita akan lebih clear untuk melihat, bahwa yang paling dikehendaki Partai Golkar—dan tentu saja partai-partai anggota koalisinya—adalah kemenangan. Itu akan membuat koalisi mencari formula paling ideal yang memungkinkan Pemilu Presiden 2024 mereka menangkan.

Di sinilah, dari segala formulasi pasangan capres-cawapres, menurut saya, tampaknya koalisi akan memilih Anies Baswedan. Sebagai calon presiden? Belum tentu. Opsi pertama tentu saja AH-AB. Ini formulasi paling dikehendaki Golkar sebagai pemilik suara 12-an persen dari 20 persen presidential threshold.

Tidak hanya memenuhi ambisi dan komitmen Munas 2019, formulasi itu pun paling menjanjikan kemenangan. Sementara bagi Anies, dalam cara berpikir Partai Golkar, posisi wapres memungkinkan dirinya kian mematangkan diri sebagai pemimpin nasional, setelah teruji di tingkat wilayah sebagai gubernur. Toh, ia masih muda dan berpeluang besar maju sebagai capres pada Pemilu berikutnya. Bahkan boleh jadi, itu pula yang akan dijadikan persyaratan Anies untuk mau mengambil tawaran tersebut.

Tetapi, formula AB-AH pun—bila pihak Anies begitu percaya diri dan ngotot—sejatinya tidak merugikan Partai Golkar dan anggota koalisi lainnnya. Partai Golkar dan anggota koalisinya, dengan kemenangan yang di atas kertas begitu kuat itu, tetap menjadi pemenang yang sah untuk tak hanya kecipratan kue kekuasaan, melainkan mendapat potongan signifikan.  Kemenangan itu akan membuat Partai Golkar tak lagi menjadi pihak íkutan’ yang menikmati kemenangan hanya sebagai pihak medioker.

Dengan pengalaman mengenalnya sejak masih sama-sama mahasiswa, saya sih percaya AB tak akan terlalu ngotot untuk menjadi orang pertama dalam formulasi itu. Tetapi saya juga percaya perubahan. “Panta rei,”kata Heraklitos,”semua mengalir, segala berubah.” Termasuk tentu saja, perubahan Anies dari seorang muda yang dulu cukup mempertimbangkan keputusan sendiri, serta saat ini yang harus banyak mempertimbangkan suara, pesan, nasihat, dari kanan-kiri.

Dengan latar belakang watak AB dan posisi AH yang tidak akan rugi bahkan jika menjadi orang kedua dalam formulasi yang nanti diajukan, saya yakin koalisi ini paling mungkin mengajukan nama AH dan AB, yang bisa dipertukarkan posisinya dengan relative mudah. Jika kemarin ada pengamat yang begitu koalisi Bersatu terbentuk mengatakan bahwa koalisi tersebut sejatinya “Koalisi Penyelamat Ganjar”, tampaknya ia perlu menjelaskan hujjahnya itu dengan lebih argumentatif kepada publik.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button