News

Sidang Parlemen Dunia, DPR RI Tekankan Perlindungan atas Kekerasan Siber terhadap Perempuan

Organisasi Parlemen Dunia atau Inter-Parliamentary Union (IPU) menyelenggarakan Sidang ke-146 di Manama, Bahrain, pada 11-15 Maret 2023. Sebagai delegasi DPR RI yang hadir pada forum ini, Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Puteri Komarudin mengungkapkan upaya Indonesia untuk melindungi perempuan dari kejahatan dan kekerasan siber.

Puteri menyampaikan, perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan siber. Di Indonesia, satu dari sepuluh perempuan bahkan telah mengalami salah satu bentuk kekerasan siber sejak usia 15 tahun. Dari tahun 2020-2021, misalnya, Komnas Perempuan mencatat peningkatan jumlah aduan kekerasan siber hingga 83 persen.

Mungkin anda suka

“Angka ini bahkan belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan maupun masuk proses peradilan. Artinya, jumlahnya bisa lebih besar lagi,” ungkap Puteri dalam pidatonya pada Sesi ke-35 Forum Perempuan Parlemen IPU.

Puteri mengingatkan kepada anggota parlemen negara sahabat bahwa legislator berperan penting untuk memastikan diadopsinya kerangka hukum yang komprehensif dan holistik, utuh atau tidak terpisah-pisah. Peraturan yang diterbitkan harus memberikan perlindungan hukum bagi perempuan, yang dimulai dari upaya pencegahan, penanganan, hingga pemulihan bagi korban.

Ia mencontohkan, di Indonesia pihaknya sudah mengesahkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengkriminalkan berbagai bentuk kekerasan siber sebagai kekerasan seksual yang disebut Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi. Serta mengatur pula “pasal jembatan” yang menghubungkan kekerasan seksual dalam UU lain, seperti KUHP, UU Pornografi, sebagai tindak pidana kekerasan seksual.

“Sehingga, dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih luas bagi korban,” tutur Puteri yang juga menjabat sebagai Anggota Biro Perempuan Parlemen IPU mewakili Grup Asia Pasifik.

Lebih lanjut, politisi dari Fraksi Golkar ini juga jelaskan keistimewaan UU TPKS yang memberikan kewenangan bagi pemerintah pusat untuk menghapus atau memutus akses konten kekerasan seksual.

“Kita tahu kekerasan siber itu sifatnya mudah menyebar secara cepat melalui internet. Bahkan, dapat meninggalkan jejak digital yang dapat mengganggu proses pemulihan bagi korban. Sehingga, melalui kewenangan ini kita dapat menjaga kepentingan korban untuk menghentikan jejak digital tapi tetap menjaga akses untuk proses hukum,” ungkap Puteri.

Karena itu, tambah Puteri, pihaknya mendorong parlemen negara-negara sahabat untuk juga segera membentuk undang-undang terkait kekerasan siber terhadap perempuan dan segera mengevaluasi kerangka hukum masing-masing. (*)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button