KanalNews

Simbolik! Ridwan Kamil Jadi Sopir Taksi Online? Penumpangnya Ternyata Sosok Istimewa

Maaf kali ini saya menulis dengan judul bergaya clickbait. Masih bingung mau memberi judul apa untuk tulisan ini. Yang jelas saya ingin menceritakan sebuah pengalaman istimewa yang tak akan saya lupakan. Rabu malam (8/12) Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendadak jadi sopir taksi online. “Saya, Ridwan Kamil. Kalau siang jadi Gubernur, malam jadi sopir Grab!” Candanya.

Malam itu cuaca Bandung sangat bersahabat. Sejuk dan terasa tenang. Saya berkesempatan menjadi ‘navigator’ yang duduk di samping Pak Sopir Ridwan Kamil. Berkeliling Bandung sambil diceritakan kisah bangunan-bangunan bersejarah di sana. “Ini sopir merangkap tour guide,” kata Kang Emil. Kami tertawa kecil.

Yang lebih istimewa adalah tamu yang kami antar malam itu. Dua sosok teladan yang sangat penting bagi Republik ini. Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan istrinya, Bu Noordjannah Djohantini, Ketua Umum PP Aisyiyah. Keduanya sedang di Bandung malam itu, Alhamdulillah bisa meluangkan waktu berjumpa dan berkeliling kota.

Setelah ngobrol dan diskusi di Savoy Homann, kami bergerak ke Gedung Pakuan untuk mengikuti prosesi penyerahan bantuan warga Jawa Barat untuk korban bencana erupsi Semeru di Lumajang. Kang Emil menitipkan bantuan warga Jabar itu melalui Muhammadiyah, khususnya Lazismu, untuk digerakkan oleh para relawan MDMC di lapangan. Tentu bekerjasama dengan relawan Jabar yang tergabung di JQR. Secara simbolis, Kang Emil menyerahkan bantuan itu melalui Pak Haedar.

Bagi saya, ini pemandangan yang istimewa. Dua tokoh Sunda, Pak Haedar dan Kang Emil, senior dan junior, ulama dan umara, bergerak bersama untuk kepentingan bangsa. Saya masih ingat kalimat Pak Haedar yang disampaikan kepada Bupati Lumajang yang saat itu tersambung secara online, “Pak Bupati, kami membersamai warga Lumajang. Kami sekuat tenaga membantu dan mendoakan.” Katanya. Sejuk sekali mendengar kalimat itu. Bupati Thoriqul Haq sampai terisak haru mendengar doa Pak Haedar.

Inilah esensi dari diskusi hangat antara Pak Haedar dan Kang Emil sebelumnya. Tentang sikap yang mengedepankan perbuatan, berbuat untuk kepentingan umat dan bangsa secara luas. Dengan karakter yang moderat, tengahan, tidak ekstrem kiri atau kanan. Indonesia sejatinya perlu lebih banyak energi untuk berkolaborasi, bekerjasama, bergotong royong, bukan terus bertengkar.


Saya kira momen Kang Emil menyetiri Pak Haedar dan Bu Noordjannah ini sangat simbolik maknanya. Pertama, Kang Emil menunjukkan sikap tawadhu-nya sebagai seorang pemimpin, sikap rendah hati. Di hadapan ulama seperti Pak Haedar, sikap Kang Emil bukan hanya tentang ‘handap asor’ kepada yang lebih tua, tetapi sekaligus rasa menjaga dan melayani seorang guru bangsa. Sosok seperti Pak Haedar adalah kompas nurani bangsa ini yang harus selalu kita jaga dan kita dengar nasihatnya.

“Saya ini alumni TK Aisyiyah, Bu. Tidak mungkin bisa menjadi seperti sekarang tanpa Aisyiyah.” Ujar Kang Emil kepada Bu Noordjannah. Saya ikut mengamini, sebagai sesama alumni TK ABA, tentu saja. Jawab Bu Noordjannah, “Alhamdulillah sekarang alumni TK ABA sudah ada yang menjadi Gunernur. Ibu-ibu guru di TK ABA pasti bangga.” Katanya. Malam itu kamipun bernostalgia pengalaman belajar di TK AB dulu. Menggambar, bercerita, menjadi anak-anak yang bahagia.

Kedua, bagi saya, Kang Emil menyetir adalah simbolisme dari sikap menjaga kesetimbangan. Menyetir itu harus selalu tengah, tenang, stabil, tidak belok-belok kiri-kanan secara ekstrem. Memang ada kalanya harus belok, ke kiri atau ke kanan, tetapi memegang kendali haruslah tetap tengahan. Saya kira memimpin masyarakat harus seperti menyetir itu, apapun level masyarakatnya.

Momen malam ini tak akan saya lupakan. Duduk di samping Kang Emil yang mendadak jadi sopir ‘taksi online’ khusus untuk Pak Haedar dan Bu Noordjannah, dua guru bangsa yang penting untuk kita jaga. Di mobil listrik itu, Kang Emil juga bercerita tentang pentingnya menjaga ‘masa depan’. Berusaha merawat bumi yang tanpa polusi. Kalau Indonesia dirawat oleh dua pikiran untuk ‘menjaga masa lalu’ dan ‘menjaga masa depan’ sekaligus, saya kira hasilnya akan tengahan tadi. Kita tak mudah terprovokasi oleh narasi-narasi pembelahan lagi.

“Termasuk mitos kesukuan,” Kata Kang Emil, “Udah nggak zamannya lagi melarang orang Jawa menikah dengan orang Sunda. Ini Pak Haedar dan Bu Noordjannah adalah buktinya. Pasangan teladan yang sakinah mawaddah wa rahmah.” Sambungnya. Saya lagi senang simbol-simbol, jadi bertanya-tanya apa maksud Kang Emil bahwa sekarang orang Jawa bisa mencari jodoh orang Sunda? Hehehe. Apapun itu, mungkin agar kaum jomblo yang masih kebingungan mencari pasangan, tidak disibukkan dengan mitos-mitos kesukuan.

Salam baik dari Bandung. Terima kasih Kang Emil, Pak Haedar, dan Bu Noordjannah atas pengalaman luar biasanya. Sehat selalu dan penuh berkah, senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.

FAHD PAHDEPIE, warga Jawa Barat, kader Persyarikatan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button