Awan mendung dan kelabu sepertinya masih akan menyelimuti dunia pertanian dan kehidupan para petani di negeri ini. Sektor pertanian, yang dianggap cukup perkasa dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan, seperti sergapan Pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, ternyata kini tengah menghadapi tantangan serius dalam “dunia petani” itu sendiri.
Hasil Sensus Pertanian 2023 memberi gambaran memilukan terkait potret petani di negara kita. Selama 10 tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani gurem (petani berlahan sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25 hektar) membengkak dengan angka yang signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem sebanyak 16,89 juta.
Dengan kata lain, terjadi kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang berjumlah hanya 14,25 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia. Atau bisa juga dikatakan telah terjadi penggerusan terhadap lahan pertanian dengan angka yang cukup terukur.
Meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 2,64 juta rumah tangga bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Kenaikan ini pun bukan target yang ingin dicapai. Mengapa? Sebab, petani gurem adalah potret petani di Tanah Merdeka yang kehidupannya cukup memprihatinkan. Mereka sedang terjebak dalam suasana hidup miskin.
Dilihat dari kualitas hidupnya, petani gurem dan petani buruh tergolong dalam jajaran anak bangsa yang rentan terhadap kemiskinan. Sebagian besar dari mereka merupakan kelompok masyarakat yang terjebak dalam kondisi kemiskinan ekstrem. Potret mereka betul-betul memilukan, menuntut kita untuk segera merubahnya.
Dengan kepemilikan lahan pertanian rata-rata 0,25 hektar, para petani gurem sangat sulit untuk mengubah nasib. Dalam suasana semacam ini, mereka hidup hanya sekadar menyambung nyawa dari hari ke hari.
Akibatnya, wajar jika banyak pihak menyebut mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal.
Membengkaknya jumlah petani gurem dengan angka yang signifikan tentu harus kita cermati dengan seksama. Apa sebetulnya penyebab utama meningkatnya jumlah petani gurem tersebut? Apakah benar, hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian yang dalam tahun-tahun belakangan ini terekam semakin membabi buta?
Atau ada faktor lain yang hingga kini masih tersembunyi dan sulit untuk diungkap ke publik? Untuk membuat hal ini menjadi terang benderang, kita berharap kalangan akademisi dapat melakukan penelitian mendalam untuk menjelaskannya. Penelitian tersebut tentu harus disertai upaya penanganan, sehingga dalam 10 tahun ke depan, jumlah petani gurem tidak semakin meningkat.
Kepemilikan lahan pertanian rata-rata 0,25 hektar bagi sebuah rumah tangga petani gurem (istri satu, anak dua) tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan hidup secara layak.
Mereka masih bertahan hidup karena banyaknya bantuan sosial yang dikucurkan Pemerintah. Bahkan, bantuan langsung beras sangat membantu kehidupan mereka.
Catatan kritisnya adalah bagaimana nasib dan kehidupan mereka jika kebijakan bantuan sosial dan bantuan langsung tunai dihentikan oleh Pemerintah? Jujur harus diakui, bagi petani gurem, aneka macam bantuan yang digelontorkan Pemerintah adalah “dewa penolong” kehidupan. Mereka dapat menyambung nyawa karena bantuan sosial tersebut.
Bantuan Langsung Pangan, khususnya beras yang diterima para penerima manfaat sebesar 10 kg per bulan, benar-benar sangat menolong kehidupan petani gurem.
Terlebih sekarang ini harga beras di pasaran melesat cukup tinggi. Bisa dibayangkan, dari mana petani gurem akan mendapatkan beras jika Pemerintah tidak mengucurkan bantuan pangan.
Penghasilan petani gurem yang relatif rendah, ditambah dengan merosotnya daya beli masyarakat akibat kondisi perekonomian nasional yang belum pulih, membuat petani gurem semakin sulit dalam menjalani kehidupannya. Itu sebabnya, kita berharap agar Pemerintah mampu melahirkan solusi cerdas terkait perbaikan nasib dan kehidupan petani gurem.
Sebetulnya, bangsa kita telah memiliki regulasi sekelas Undang-Undang yang bicara tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU No. 19/2013).
Sayang, dalam penerapannya, Pemerintah terkesan lambat menerbitkan Peraturan Pemerintahnya. Akibatnya, perlindungan petani pun hingga saat ini belum jelas arah dan tujuannya.
Petani gurem sendiri mestinya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah. Mereka perlu dibela dan dilindungi. Petani gurem jangan ditindas atau dimarginalkan. Berbagai masalah yang selama ini mendera kehidupan petani gurem diharapkan mampu secepatnya dituntaskan. Pemerintah perlu kreatif dan inovatif untuk memberi jalan keluar perbaikan nasib dan kualitas kehidupan mereka.
Membengkaknya jumlah petani gurem dalam 10 tahun terakhir ini merupakan masalah serius yang butuh penanganan segera. Pemerintah dituntut proaktif untuk mencarikan jalan keluarnya. Petani gurem bukanlah status yang membanggakan. Kita berkewajiban untuk menguranginya. Semoga sisi gelap petani gurem dapat kita ubah menjadi terang benderang.