Sisi Gelap Pilkada: Mahal, Penuh Drama, dan Melahirkan Pemimpin Korup


Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Pilkada adalah bab yang penuh warna, tapi sayangnya lebih sering kelabu. Pesta demokrasi ini seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah, tapi yang sering terjadi justru menjadi panggung untuk menghasilkan pemimpin yang lebih sibuk mengisi kantong pribadi ketimbang melayani rakyat.

Sejak pertama kali digelar pada 2005, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di Indonesia kerap dipuji sebagai tonggak penting dalam demokrasi lokal, bahkan menuai apresiasi dari dunia. Namun, di balik gegap gempita pesta demokrasi yang menyentuh hingga pelosok negeri, sisi gelapnya justru lebih sering mencuat ke permukaan.

Ini terkait fakta bahwa Pilkada langsung yang mengeluarkan ongkos politik tinggi, hanya menciptakan kepala daerah yang berakhir di penjara, dan pembangunan daerah yang jauh dari harapan. Mungkin bisa menjadi ironi di mana “Rakyat memilih pemimpin untuk membuatnya menderita.”

Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 2024, sebanyak 167 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, 22 adalah gubernur, sisanya bupati atau wali kota. Bahkan di Pilkada tahun ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan setidaknya ada 138 orang calon diduga terlibat kasus korupsi. 

Publik mungkin masih ingat di Kabupaten Bandung Barat di bawah Bupati Aa Umbara menjadi salah satu contoh terjadinya drama pahit hasil Pilkada. Pada 2021, ia ditangkap karena kasus korupsi bantuan sosial COVID-19. Sementara itu, warga mengeluhkan jalanan yang tetap berlubang dan pelayanan publik seperti layanan Wi-Fi desa hanya jadi wacana.

Papua pun punya cerita. Mantan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, terjerat kasus korupsi proyek gereja miliaran rupiah. Meski dana otonomi khusus terus mengalir, kesejahteraan masyarakat Papua masih jadi dongeng di siang bolong.

Lampung Tengah, yang digadang-gadang punya potensi besar, malah dikenal sebagai ‘museum jalan rusak’. Mantan Bupati Mustafa ditangkap KPK pada 2018 karena suap dan gratifikasi. Nasib rakyat? Tetap sama, terjebak dalam lingkaran kesulitan.

Biaya Politik yang Menguras Dompet

Melihat dari pengalaman, calon kepala daerah di Indonesia bukan hanya butuh visi dan misi, tapi juga ‘amunisi’. Menurut ICW, rata-rata mereka menghabiskan Rp20-100 miliar untuk kampanye. Ongkos politik yang tinggi mencakup biaya kampanye, alat peraga, ‘serangan fajar’, hingga lobi-lobi politik dengan berbagai pihak.

Biaya ini membuat mereka harus mencari pemodal besar. Implikasinya, setelah terpilih, banyak kepala daerah merasa perlu mengembalikan modal dengan menggunakan dana publik, termasuk menerima suap atau melakukan korupsi proyek.

Pilkada langsung juga sering kali diramaikan politik uang yang merusak proses demokrasi. Masyarakat memilih bukan berdasarkan kapasitas dan integritas kandidat, tetapi karena insentif jangka pendek. Pemimpin hasil pilihannya pun bisa ditebak yakni yang menghalalkan segala cara untuk menang. 

Mantan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pernah mengungkapkan biaya politik yang tinggi pada akhirnya memicu perilaku korupsi. Modal puluhan miliar rupiah yang dikeluarkan para calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada mengakibatkan proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis. “Kenapa banyak kepala daerah yang terjerat korupsi? Karena biaya politik kita yang sangat mahal,” kata Alexander, beberapa waktu lalu.

Namun harus diingat, korupsi selain untuk mengembalikan modal politik ada juga karena modus kebutuhan pejabat itu (by need) serta korupsi atas dasar keserakahan atau by greed. Biasanya para kepala daerah ini orang yang sudah kaya dan berkecukupan tetapi masih ingin lebih kaya, kurang puas dengan apa yang ia miliki atau masih ingin menyimpan kekayaan hingga tujuh turunan, kalau bisa.

Pilkada secara langsung juga membutuhkan anggaran dari pemerintah sebagai penyelenggara. Kementerian Keuangan melaporkan telah menyiapkan dana Pilkada serentak 2024 mencapai Rp37,52 triliun, yang disalurkan melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Biaya ini meliputi logistik, pelatihan dan sosialisasi, honor penyelenggara, teknologi informasi dan keamanan. 

Hanya saja, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa alasan biaya mahal bisa jadi hanya upaya untuk mengalihkan pemilihan langsung menjadi tidak langsung. “Ini dapat memperkuat kontrol elit dalam proses pemilihan kepala daerah,” katanya.

Selain soal korupsi dan ongkos politik yang tinggi, salah satu indikator kegagalan Pilkada langsung adalah minimnya kemajuan di berbagai daerah. Korupsi berkontribusi pada stagnasi pembangunan. Di Papua, misalnya, meskipun dana otonomi khusus terus mengalir, pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat tetap menjadi masalah besar. Kasus mantan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, yang terjerat korupsi proyek gereja senilai miliaran rupiah, menunjukkan bagaimana dana yang seharusnya digunakan untuk rakyat malah disalahgunakan.

Begitu pula di Lampung Tengah, yang dikenal sebagai salah satu daerah dengan angka kemiskinan tinggi. Jalan-jalan di daerah ini masih rusak parah, dan layanan kesehatan serta pendidikan jauh dari memadai. 

Padahal banyak daerah di Indonesia seperti di Papua dan Lampung tengah kaya dengan sumber daya alam tapi tak bisa dikembangkan oleh para kepala daerahnya yang malah memikirkan keuntungan pribadinya dengan melakukan korupsi. Kata orang bijak, ‘bagai ayam mati di lumbung padi’, begitulah nasib masyarakat di bawah pemimpin korup.

Pilkada langsung juga kerap memicu perpecahan di masyarakat, terutama di daerah dengan kompetisi politik yang ketat. Polarisasi terjadi karena pendukung calon tertentu saling berhadap-hadapan, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari. Konflik horizontal ini sering kali berlanjut bahkan setelah pilkada selesai, yang memperburuk kohesi sosial di masyarakat.

Wacana Pilkada Melalui DPRD

Pilkada langsung seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah, tapi yang sering terjadi justru ‘kambing makan jagung, rakyat malah kelaparan’. Pilkada menjadi panggung untuk menghasilkan pemimpin yang lebih sibuk mengisi kantong pribadi ketimbang melayani rakyat.

Banyak pemimpin hasil Pilkada seperti mengikuti jejak Duryodana dalam kisah Mahabharata yang penuh intrik dan korupsi. Ia rela mengorbankan banyak hal demi kekuasaan, menjadikan Pilkada bukan arena pengabdian, tapi perebutan “harta, tahta, dan bahkan wanita.”

Tak heran, melihat berbagai persoalan dalam Pilkada langsung baik dari mulai proses hingga hasilnya, muncul kembali wacana agar proses pemilihan kepala daerah kembali ke era sebelum 2005. Artinya, kepala daerah dipilih melalui DPRD. Sistem ini dianggap lebih sederhana dan efisien. 

Namun, banyak juga yang mengkritik bahwa sistem ini bisa mengurangi hak rakyat dalam memilih pemimpin dan memperbesar dominasi elit politik. Solusi yang paling ideal adalah memperbaiki pelaksanaan pilkada langsung dengan menekan biaya politik, memberantas politik uang, dan memperketat pengawasan. Apakah itu bisa terwujud? 

Meskipun hal itu sulit tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Pemerintah punya segalanya untuk menjadikan proses Pilkada langsung sesuai harapan dengan menghasilkan pemimpin yang bebas dari korupsi dan peduli kepada nasib warganya.

Di antaranya dengan melakukan penegakan hukum yang tegas, lebih aktif mengawasi para kepala daerah, khususnya dalam penggunaan anggaran serta melakukan evaluasi sistem pemilihan kepala daerah ini. Masyarakat juga perlu melek politik agar tak lagi memilih pemimpin karena popularitas atau uang sehingga tidak terjadi lagi, ganti pemimpin tapi masalahnya tetap sama.