Market

Soal Ekonomi Hijau, Inilah Komitmen RI yang Jadi Perhatian Dunia Menurut Bos OJK

Ekonomi hijau merupakan sebuah upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan di masyarakat. Pada saat yang sama, upaya mengurangi risiko lingkungan dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap terjaga.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, dalam pengembangan ekonomi hijau dan penanganan perubahan iklim, Indonesia menjadi negara yang sangat penting.

“Sebab, Indonesia kaya akan sumber daya mineral dan potensi keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Terkait hal ini, Bapak Presiden telah menekankan peluang Indonesia di bidang ini,” kata Wimboh saat menyampaikan keynote speech pada webinar “Tantangan Milenial Merebut Peluang Akses Pembiayaan dalam Ekonomi Hijau” di Solo, Selasa (28/12/2021).

Seminar diselenggarakan secara hybrid dan dihadiri Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, Direktur Kepatuhan BRI Ahmad Solichin Lutfiyanto, Ketua Umum Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja dan Petani Milenial Hendi Nur Seto.

Penyelenggaraan acara ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk mengembangkan sumber ekonomi baru di masa pandemi Covid-19 yang didorong oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan ekosistem keuangan berkelanjutan berbasis ekonomi hijau.

Untuk itu, lanjut Wimboh, komitmen Indonesia akan menjadi perhatian dunia terutama terkait target pengurangan emisi gas rumah kaca, sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030 sesuai Perjanjian Paris. “Begitu juga dengan pencapaian net zero emision di tahun 2060,” ujarnya.

Untuk mendukung agenda penanganan perubahan iklim tersebut, lanjut dia, Indonesia bersama Amerika Serikat telah membentuk Task Force Climate Change di mana OJK menjadi anggota di Working Group 4 terkait Sustainable and Blended Finance for Our Common Future.  

“Tantangan terbesar dalam Working Group 4 tersebut adalah menyediakan pembiayaan berkelanjutan untuk menangani perubahan iklim,” ungkap dia.

Hal tersebut, menurut Wimboh, dikarenakan transisi dari ekonomi konvensional kepada ekonomi berkelanjutan yang berfokus kepada lingkungan membutuhkan biaya sangat besar.

Lihat saja, di Indonesia sendiri, kebutuhan dana penanganan iklim mencapai US$479 miliar atau kisaran Rp6.700 triliun. Angka ini mencapai Rp745 triliun per tahun hingga 2030.

Selain Indonesia, beberapa negara juga telah menyediakan anggaran yang cukup besar di tahun 2022 untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau di antaranya Jepang senilai US$40 miliar dan dan AS sebesar US$36 miliar.

Kebutuhan pembiayaan tersebut tentunya tidak dapat ditanggung hanya dengan APBN. “Dibutuhkan sinergi antara swasta dan Pemerintah serta bantuan organisasi Internasional untuk dapat secara optimal menyokong kebutuhan pembiayaan yang sangat besar tersebut,” ucapnya.

Wimboh mencontohkan, pemerintah telah memperhitungkan dana yang diperlukan untuk membiayai transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Angkanya mencapai US$5,7 miliar atau berkisar Rp81,6 triliun.

“Biaya transisi tersebut juga terkait dengan perubahan pada industri hilir yang harus mengubah proses pengolahannya sebagaimana prinsip ekonomi hijau,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button