News

Soal Pelarangan Salat Id di Sukabumi, Muhammadiyah: Ini Keyakinan, Bukan Makar

Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti angkat suara terkait beredarnya surat Wali Kota Sukabumi yang menolak permintaan izin umat muslim Muhammadiyah Kota Sukabumi untuk menggunakan Lapangan Merdeka sebagai tempat pelaksanaan Salat Idul Fitri. Alasan penolakan dikaitkan dengan menunggu Keputusan Kementerian Agama mengenai penetapan 1 Syawal 1444 H.

“Setelah Kota Pekalongan, sekarang Kota Sukabumi? Setelah itu mana lagi?” ungkap Abdul Mu’ti melalui akun twitter resminya @Abe_Mukti yang sudah diizinkan inilah.com kutip, Senin (17/4/2023).

Mu’ti menyatakan bahwa pelarangan penggunaan fasilitas publik untuk Salat Idul Fitri yang berbeda dengan pemerintah adalah ekses dari kebijakan pemerintah terkait awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Ia menegaskan bahwa dalam sistem negara Pancasila, pemerintah tidak memiliki kewenangan mengatur wilayah ibadah seperti hal tersebut.

“Fasilitas publik seperti lapangan dan fasilitas lainnya adalah wilayah terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan pemakaian, bukan karena perbedaan paham agama dengan pemerintah,” jelas Mu’ti.

Menurut Mu’ti, melaksanakan ibadah Idul Fitri di lapangan merupakan keyakinan, bukan kegiatan politik atau makar terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ia meminta Pemerintah Pusat agar tidak membiarkan pemerintah daerah membuat kebijakan yang melanggar konstitusi dan kebebasan berkeyakinan.

“Pemerintah pusat, seharusnya tidak membiarkan pemerintah daerah membuat kebijakan yang bertentangan dengan Konstitusi dan melanggar kebebasan berkeyakinan,” tegasnya.

Setelah Kota Pekalongan, sekarang Sukabumi. Setelah itu mana lagi? pic.twitter.com/PZkoRVkm47

— Abdul Mu’ti (@Abe_Mukti) April 17, 2023

Pecah belah masyarakat

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas turut mengkritisi pemerintah daerah (pemda) yang tak memberikan izin salat idul fitri di lapangan. Ia pun menegaskan pentingnya netralitas pemerintah dalam menangani perbedaan pendapat terkait penentuan waktu Idul Fitri 1 Syawal 1444 H yang disebabkan oleh perbedaan metode Hisab dan Rukyah. Menurut Buya Anwar sapaannya, pemerintah harus berpijak pada UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang menjamin kebebasan beragama dan menjaga hak warganya dalam menjalankan ibadah.

“Jadi posisi pemerintah yang seharusnya bukan membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain atau mendukung yang satu dan tidak mendukung yang lain, karena kalau pemerintah sampai melakukan itu maka berarti pemerintah selain telah menentang konstitusi juga telah menentang Alquran,” ujar Buya Anwar kepada inilah.com, Senin (17/4/2023).

Lebih lanjut Ketua PP Muhammadiyah tersebut mengkritik pemerintah yang telah melakukan rezimintasi pemahaman dan sikap keagamaan sekelompok umat, mengabaikan yang lainnya, sehingga banyak bupati, wali kota, dan gubernur enggan memberi izin pemakaian masjid dan tanah lapang yang dimiliki oleh negara untuk dipakai sebagai tempat salat Idul Fitri bagi yang mempergunakan Hisab. Menurutnya, sikap pemerintah seperti ini telah melanggar konstitusi dan ikut memecah belah umat.

“Oleh karena itu kalau ada yang mau memakai fasilitas negara seperti masjid dan tanah lapang untuk salat Idul Fitri, maka pemerintah harus berlaku arif bijaksana dengan mempersilahkan umat Islam untuk mempergunakan masjid dan tanah lapang yang dimiliki oleh negara tersebut,” katanya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button