Soft Power 5.0 dan Perang Algoritmik


Sejak mengikuti saran istri untuk menonton serial drama Korea terbaru, When Life Gives You Tangerines, katalog Netflix saya tiba-tiba penuh dengan rekomendasi drama dan film Korea Selatan lainnya. Di Instagram dan TikTok pun, potongan-potongan video drakor langsung membanjiri lini masa saya. Seolah mereka tahu dan mendengar dengan persis apa yang sedang saya gandrungi belakangan ini.

Sebagian besar dari tayangan itu sebenarnya sudah saya tonton, terutama saat masa lockdown pandemi. Tapi saya sadar, semua itu bukan kebetulan. Korea Selatan sedang memainkan strategi besar: soft power 5.0 di era algorithmic warfare. Mereka bukan sekadar memproduksi hiburan, melainkan sedang membangun hegemoni budaya global yang dikendalikan melalui algoritma, kecerdasan buatan (AI), dan identitas digital.

Budaya Sebagai Strategi Nasional

Semua drama Korea yang tersaji di layar kita adalah jendela nilai-nilai bangsa Korea. Squid Game dan Itaewon Class menyuarakan perjuangan kelas dan daya tahan hidup. Reply 1988 menggambarkan hangatnya keluarga dan komunitas. Sementara Pachinko, Hotel del Luna, dan Crash Landing on You menampilkan harmoni antara modernitas dan tradisi. Semua itu adalah narasi yang mengusung satu pesan: Korea Selatan adalah bangsa yang modern tapi santun, maju tapi berakar budaya, keren tanpa kehilangan tradisi.

Tak berhenti di layar, Korean Wave atau Hallyu menembus dunia lewat K-Pop, kuliner, skincare, hingga mode hidup. BTS dan Blackpink bukan sekadar idola musik, mereka adalah duta global yang membawa identitas Korea ke setiap panggung. Hasilnya nyata: diplomasi budaya ini menyumbang 5–6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Korea yang mencapai USD 1,72 triliun.

Apa yang mereka lakukan bukan sekadar promosi kebudayaan, melainkan implementasi soft power modern: kekuatan naratif, bukan koersif. Bukan tank atau rudal, melainkan drama, musik, dan TikTok. Dunia hari ini tidak ditentukan oleh siapa yang memiliki senjata terkuat, melainkan siapa yang bisa menguasai persepsi, engagement, dan likeness publik global melalui algoritma.

Gramsci dan Senjata Budaya

Teori klasik cultural hegemony yang dikemukakan Antonio Gramsci kini terasa sangat relevan. Siapa yang mengontrol budaya, mengontrol makna. Siapa yang mengontrol makna, mengontrol arah sejarah. Korea Selatan menyadari hal ini dengan sangat baik. Mereka membangun narasi tandingan terhadap dominasi budaya Barat dan menanamkannya ke dalam kesadaran dunia, pelan tapi pasti.

Lewat narasi-narasi itu, Korea Selatan menciptakan kekuatan baru di era algorithmic warfare—perang konten dan persepsi di dunia digital. Di sinilah soft power 5.0 bekerja. Bukan hanya menampilkan budaya, tetapi menyesuaikannya dengan sistem algoritmik yang mengatur apa yang kita lihat, pikirkan, dan rasakan.

Berselancar di YouTube, Instagram, TikTok, atau Netflix hari ini, kita bisa melihat bahwa daya saing suatu bangsa kini lebih ditentukan oleh siapa yang punya cerita paling kuat, bukan sekadar produk paling murah. Algorithm seeks originality, dan Korea Selatan menjawabnya dengan kekhasan budaya yang tak tertandingi: dari kimchi hingga soju, dari Samsung hingga Hyundai.

Indonesia Harus Bergerak

Indonesia bisa mengikuti langkah Korea Selatan—bukan dengan meniru, tetapi dengan mengadaptasi dan menginspirasi. Kita punya kekayaan budaya yang jauh lebih kompleks: ratusan etnis, bahasa, kuliner, musik, tarian, cerita rakyat, dan kepercayaan lokal. Namun potensi ini belum dijahit dalam satu narasi nasional yang kohesif, apalagi dalam strategi budaya yang sistematis dan terstruktur.

Menuju Indonesia Emas 2045, kita tidak hanya butuh grand narrative tentang masa depan, tetapi juga grand strategy kebudayaan. Inilah momen bagi Indonesia untuk membangun ulang DNA kebangsaannya melalui budaya. Dampaknya akan terasa, bukan hanya pada diplomasi dan citra, tapi juga pada ekonomi kreatif, ekspor budaya, hingga ketahanan nasional.

Langkah Strategis

Pertama, perkuat institusi kebudayaan. Kementerian Kebudayaan (jika perlu dipisahkan dari pendidikan) harus menjadi think tank budaya yang memiliki otoritas untuk merumuskan kebijakan naratif nasional, bekerja sama dengan Kemenparekraf, Kemenlu, hingga Kemendag. Jika koordinasi antarlembaga terlalu rumit, perlu dibentuk task force khusus soft power.

Kedua, sejahterakan pelaku seni dan budaya. Bangun ekosistem kreatif nasional dari hulu hingga hilir: mulai dari pelatihan, jaminan sosial, perlindungan hak cipta, hingga investasi digital dan teknologi. Barangkali perlu dibuat cultural endowment fund, semacam LPDP untuk seniman dan pekerja budaya.

Ketiga, ubah semua KBRI menjadi cultural hub. Promosi budaya Indonesia harus menjadi tugas strategis dalam politik luar negeri: festival, residensi, diplomasi kuliner, musik, mode, dan bahasa harus jadi andalan dalam soft diplomacy. Dari situ, nation branding akan tumbuh secara organik.

Keempat, siapkan budaya Indonesia untuk beradaptasi dalam medan algoritmik. Budaya visual, narasi ringkas, konten pendek—semuanya harus dilatih dan diarahkan agar menembus ruang digital. Algoritma tidak bisa dilawan, tapi bisa dimenangkan dengan kreativitas. Dan AI harus kita rayakan, bukan ditolak, asal hak cipta dan kekayaan intelektual tetap dilindungi.

Jangan Terlambat

Hari ini Korea Selatan bisa mengubah kebiasaan, cara makan, hingga selera masyarakat dunia—termasuk istri saya. Usai menonton When Life Gives You Tangerines, ia menyeka air matanya dengan tisu Korea. Pipinya dipoles skincare Korea. TV yang kami tonton adalah produk Korea. Kalau lapar, ia memasak tteokbokki. Kalau berfoto, jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk sonkarak hate—jari hati. Sambil berkata manis, “Saranghae.”

Itulah hegemoni budaya. Jika kita tidak bergerak sekarang, bukan tidak mungkin bangsa ini akan terus jadi pasar, jadi penonton, jadi konsumen budaya asing. Dan nanti, saat kita tersadar, kita hanya bisa bertanya dengan heran: Jinja?