News

Sri Mulyani Janggal, Pakar: RI Darurat Korupsi dan Pencucian Uang

Sejumlah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati terkait megaskandal dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan dinilai janggal. Kondisi ini menguatkan penilaian, Indonesia sebagai negara darurat korupsi dan pencucian uang.

“Indonesia darurat korupsi dan pencucian uang, masuk sampai Kemenkeu dan kementerian lainnya,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Anthony bahkan menilai DPR tidak melakukan tugasnya untuk kepentingan rakyat. “Begitu rusaknya, sehingga perlu cara luar biasa untuk mengubah Indonesia menjadi bersih, adil, taat hukum,” ujarnya.

Darurat korupsi dan TPPU tersebut salah satunya lantaran transaksi mencurigakan dari 467 pegawai Kemenkeu (versi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud MD) atau 964 pegawai (versi Sri Mulyani) dengan nilai Rp349 triliun. “Kenapa tiba-tiba menghilang, dan menjadi Rp3,3 triliun saja?” timpal Anthony.

Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan rincian data transaksi janggal Rp349 triliun di Kemenkeu. Data dugaan TPPU tersebut berasal dari periode 2009-2023.

Mahfud membagi transaksi janggal tersebut ke dalam tiga kelompok Laporan Hasil Analisis (LHA). Salah satunya adalah kelompok transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu.

Namun, kata Mahfud, angkanya yakni Rp35,3 triliun berbeda dengan yang sudah disampaikan Sri Mulyani Rp3,3 triliun.

“Sekonyong-konyong, muncul perusahaan raksasa dengan transaksi jumbo. Bahkan ada satu laporan mempunyai transaksi Rp189 triliun,” tuturnya.

Sri Mulyani menyatakan, transaksi mencurigakan jumbo ini diberikan kepada Kemenkeu karena terkait tugas dan fungsi pajak dan bea cukai. “Pertanyaannya, dari mana PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bisa tahu bahwa transaksi mencurigakan perusahaan tersebut terkait pajak dan bea cukai,” ucap Anthony.

Padahal, sambung Anthony, yang bersangkutan belum disidik. “Apakah PPATK sudah berubah menjadi pesulap?” tukasnya.

Pencucian uang, sambung Anthony, umumnya berasal dari aktivitas ilegal, apakah itu narkoba, judi, korupsi, atau lainnya. “Semua ini umumnya melibatkan perorangan. Bukan perusahaan,” ujarnya.

Sedangkan perusahaan, kata dia, umumnya dijadikan wadah penampung untuk tempat pencucian uang. Tetapi, ini selalu melibatkan perorangan sebagai sumber dana.

“Sangat janggal kalau tiba-tiba ada perusahaan dengan transaksi mencurigakan sebesar jumbo tetapi tidak melibatkan perorangan. Apakah rakyat Indonesia dianggap sebodoh itu?” imbuh Anthony seraya mempertanyakan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button