Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan penambahan dan pengelolaan utang dilakukan secara berhati-hati dan terukur.
“Pembiayaan yang terus dijaga hati-hati dan terukur dengan terus memperhatikan outlook defisit APBN dan likuiditas pemerintah serta dinamika pasar keuangan yang terus meningkat dan kesenjangan antara biaya utang dengan risiko utang,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (24/1/2025).
Sebagaimana diketahui, dengan rancangan defisit APBN 2025 senilai Rp616,19 triliun membutuhkan pembiayaan utang sebesar Rp775,87 triliun, dan pembiayaan non utang Rp159,7 triliun sebagai faktor pengurangnya.
Dari Rp775,8 triliun utang itu, yang berasal dari penerbitan dari SBN sebesar Rp642,5 triliun sementara pinjaman Rp133,3 triliun.
Total penerbitan SBN itu cenderung lebih rendah dibandingkan target penerbitan SBN pada 2024 sebesar Rp666,4 triliun. Sedangkan untuk pinjaman neto yang sebesar Rp 133,3 triliun, naik dari target 2024 senilai Rp 18,4 triliun.
Pinjaman itu terdiri dari Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) sebesar Rp11,77 triliun, yang digunakan untuk pembayaran cicilan pokok sebesar Rp6,6 miliar, dan yang digunakan untuk APBN 2025 hanya senilai Rp5,17 triliun.
Lalu, Pinjaman Luar Negeri (Neto) Rp 128,13 triliun. Terdiri dari Pinjaman Tunai Rp 80 triliun, Pinjaman Kegiatan Rp125,52 triliun untuk kementerian/lembaga (K/L) pusat, Rp1,59 triliun untuk kegiatan yang diteruskan dalam bentuk hibah, dan Pinjaman ke BUMN/Pemda Rp9,3 triliun. Total ini dikurangi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp88,36 triliun.