News

Prabowo Minta BPKP Audit Proyek Satelit Kemhan

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan).

“Kami sudah minta BPKP untuk melakukan audit,” kata Prabowo usai Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan Tahun 2022, di Kantor Kemhan, Jakarta, Kamis (20/1/2022).

Prabowo menambahkan, internal Kemhan juga sedang melakukan audit internal terkait proyek tersebut.

“Masalah satelit ini masih diproses,” ujar Prabowo.

Awal Mula Masalah

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Dugaan pelanggaran itu terjadi pada tahun 2015. Ketika itu Kementerian Pertahanan dipimpin oleh Ryamizard Ryacudu.

“Tentang adanya dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara atau berpotensi menyebabkan kerugian negara. Karena oleh pengadilan ini kemudian diwajibkan membayar uang yang sangat besar. Padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum. Yaitu Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, sudah lama, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu padahal anggarannya belum ada,” kata Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (13/1/2022).

Mahfud menjelaskan, kontrak itu berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan Satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 sampai saat ini. Singkatnya, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.
Negara Digugat

Negara Ganti Rugi Ratusan Miliar

Akhirnya Avanti dan Navayo pun menggugat pemerintah Indonesia. Mahfud menyebut sejauh ini negara wajib membayar kepada 2 perusahaan itu dengan nilai ratusan miliar.

“Kemudian Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” papar Mahfud.

“Nah, selain dengan Avanti, juga pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi. Nilainya sampai sekarang itu 20.901.209 dolar (USD) kepada Navayo, harus bayar menurut arbitrase. Ini yang 20 juta ini nilainya Rp 304 (miliar),” tambahnya.

Uang rakyat tak berhenti terkuras, negara masih berpotensi ditagih perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan yaitu Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Persoalan ini juga tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button